Senin, 08 Februari 2010

Kurikulum Berbasis Multikultural

Mujtahid*

A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia menganut sebuah prinsip falsafah yang majemuk, yaitu bhineka tunggal ika. Prinsip ini mengandung makna dan nilai yang sangat dalam serta luas bagi pengembangan kerukunan dan keutuhan hidup. Kalimat bhineka tunggal ika sebagai pemersatu atas keragaman budaya, bahasa, suku, etnis, dan agama. Perumusan gagasan bhineka tunggal ika oleh founding fathers kita dulu diupayakan agar perjalanan bangsa ini ke depan dapat menuai keharmonisan atas keberbedaan yang ada di tubuh bangsa ini.
Prinsip ke-bhineka-an ini didasari oleh pemikiran mengenai keragaman bahasa, tradisi dan budaya serta agama Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Kultur ini pula yang mewarnai sikap bangsa yang toleran dan sadar akan pluralitas semenjak dahulu. Alhasil, penduduk Indonesia mudah diterima di berbagai bangsa dan kalangan di dunia.
Ada tiga alasan mengapa pendidikan berfalsafah bhineka tunggal ika itu penting dipikirkan dalam sebuah negara yang sedemikian majemuk, yang akhir-akhir ini banyak pakar pendidikan menyebutnya dengan istilah multikultural. Upaya untuk membangun pemahaman ke-bhineka-an dalam ke-ika-an dibutuhkan percermatan yang utuh.
Pertama, sendi equality. Secara kebahasaan equality berasal dari kata equal yang berarti sama. Term equality juga dapat difahami sebagai persamaan. Adapun yang dimaksud equality dalam pendidikan adalah kesejajaran atau perlakuan merata yang diterima setiap peserta didik dalam memperoleh pendidikan, tanpa memandang status ekonomi dan strata sosial.
Dalam UUD 1945 pasal 31 diungkapkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran’. Pasal ini merupakan implementasi dari penghargaan para perancang negeri ini dalam pembangunan bidang pendidikan yang selaras dengan kondisi masyarakat yang plural, baik secara stratifikasi sosial, agama, dan suku.
Kedua, sendi pluralitas. Kondisi masyarakat nusantara yang terdiri dari keragaman (pluralitas) agama, suku dan budaya mendorong perlunya ditanamkan pemahaman yang inklusif dalam memahami perbedaan. Dengan ditanamkannya pemahaman pluralisme diharapkan setiap anak bangsa faham bahwa perbedaan ada bukan untuk saling menghantam antara satu agama dengan agama lainnya, bukan sebagai ajang penjajahan suku mayoritas terhadap minoritas, dan bukan pula untuk merendahkan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Dengan adanya perbedaan itu harus difahami sebagai sarana saling menghargai dan saling melengkapi (mutual respect).
Pluralistas adalah nafas dari ke-bhineka-an. Dan kehidupan yang bhineka tidak dapat tercermin tanpa adanya pemahaman keberagaman. Dan dalam konteks Indonesia yang selama ini tersulut api eskalasi pertentangan etnis dan agama, tepat jika kita mulai menggelorakan semangat pendidikan multikultural. Karena lembaga pendidikan (informal, formal dan nonformal) dinilai sangat efektif dalam melakukan transformasi nilai.
Dalam praksis pendidikan, kurikulum hendaknya diarahkan untuk membina pemahaman yang inklusif terhadap perbedaan. Sehingga dari pemahaman siswa pada keragaman dalam lingkungan masyarakat dapat mendorong keselarasan dan tumbuh relasi sosial yang dinamis.
Ketiga, menegakkan toleransi. Sebuah aktualisasi dari pluralitas yang dalam istilah lokalnya dikenal dengan tepa selira. Apabila pemahaman tentang keberagaman (pluralitas) telah terpatri pada setiap individu, maka bersemailah sikap toleran dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat akan hidup harmonis dalam ke-bhineka-an dan membangun bangsa dengan ke-ika-an.
Pemerintah telah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan merupakan pilar utama membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan. Untuk mengurangi ketimpangan antara kualitas out put pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dan ketimpangan kualitas pendidikan antara desa dan kota, serta antara penduduk kaya dan miskin.
Disamping itu, muncul dua problem yang terkait dengan persoalan di atas, yaitu pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial, dan pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik dengan apa yang disebut “the dead knowledge”. Sebuah pengetahuan yang terlalu bersifat tex-bookish sehingga bagaikan telah tercabut dari akar sumbernya maupun aplikasinya.[1]
Untuk itulah upaya pembaharuan pendidikan, khususnya kurikulum dan tenaga pengajarnya harus ditingkatkan kualitasnya agar proses pencerdesan generasi anak bangsa ini ke depan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya masing-masing tanpa mengalami gangguan diskriminatif sedikitpun.

Konsep Multikultural
Secara sederhana, multikultural berarti “keberagaman budaya”.[2] Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikultural sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[3] terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.
Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).[4]
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.
Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:[5] kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.[6]
Kurikulum Multikultural
Secara generik, kurikulum multikultur memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep kurikulum multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma kurikulum multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Kurikulum multikultural harus menawarkan kontens (isi materi) yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Kurikulum multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.[7]
Kurikulum yang multi-kultur mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan kurikulum multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Untuk membuat kurikulum pada jenjang SLTP yang siswanya beragam suku bangsa, maka dibutuhkan kesadaran akan kebinekaan yang dimiliki para siswa tersebut. Langkah yang dilakukan sebagai berikut:
Memilih kreteria bahan yang signifikan, relevan (cocok) dengan keberadaan mereka yang berbeda suku bangsa itu.
Mendorong agar tujuan dari kurikulum diarahkan untuk saling menguatkan “keberbedaan” mereka dengan cara mengenalkan corak khas masing-masing suku tersebut kepada semua siswa, misalnya tentang jenis bahasa, adat, budayanya, seni dan seterusnya.
Secara teknis, kurikulum tersebut di atas dapat diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran yang dapat dimasuki nilai-nilai pengenalan multikultur tersebut.
Untuk mendukung hal di atas, Hilda Taba[8] memberikan kreteria berikut agar kurikulum yang diajarkan di sekolah tepat sasaran.
Kurikulum menyajikan bahan yang sesui dengan kebutuhan dan minat murid. Kebutuhan ini dapat ditafsirkan bahwa perbedaan suku tersebut menjadi bahan yang perlu dipikirkan. Sedangkan minat murid, artinya memberikan kesenangan bahwa apa yang dipelajari berhubungan dengan kondisi yang ada disekitar dirinya.
Kurikulum dikemas dengan mempertimbangkan prinsip keseimbangan antara keluasan dan kedalaman bahan. Dalam pembuatan kurikulum, meski dipusatkan pada bidang-bidang tertentu tetap harus membuka kemungkinan untuk memahami bidang-bidang yang lain.
Kurikulum mempertimbangkan relevansi dengan kenyataan sosial dan kultural agar anak didik lebih mampu memahami dunia tempat ia hidup, serta perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi.
Pokok pikiran Hilda tersebut sangat menghargai bagaimana multikultur dapat dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah. Kurikulum harus didesain sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas guna meningkatkan pemahaman tentang kemajemukan suku, ras, budaya dan agama nusantara.
Dalam praktik pembelajarannya, SLTP Laboratorium dikemas dengan cara menyajikan bentuk kurikulum integratif yang sesuai dengan kemajemukan siswa yang ada. Siswa diajak saling mengenal ragam budaya, bahasa, adat-istiadat, ras, serta bila perlu agamanya sekalian.
Dengan cara demikian, selain isi tujuan materi tersampaikan juga terjalin sikap saling toleransi yang tinggi antar siswa. Mereka perlu dipupuk dengan cara saling mengenalkan multi-kultur yang ada. Dengan cara itu diharapkan muncul ”kesadaran moral” untuk memahami keberadaan mereka masing-masing.

Guru Sekolah Laboratorium bersifat Multikultur
Untuk mendukung pengelolaan sekolah laboratorium multikultur, peran sentral guru sangat dibutuhkan. Guru menjadi kunci utama dalam proses mendidik, membimbing dan melatih para siswa yang beragam tersebut. Karena itu, menurut hemat penulis, guru yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Guru yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas serta punya ketrampilan pedagogik/mengajar yang sesuai dengan kebutuhan sekolah laboratorium SLTP.
Guru yang memiliki sikap terbuka dan tidak diskriminatif terhadap salah satu suku atau komunitas yang ada. Hal ini penting karena untuk menjadi ”percontohan” seorang guru harus netral yang bisa mengayomi di atas kemajemukan siswa tersebut.
Guru yang memiliki jiwa inovasi (pembaharu). Jiwa inovasi diperlukan, karena upaya sekolah Laboratorium difungsikan untuk menjadi miniatur kehidupan masyarakat siswa yang sesungguhnya. Guru mengerti akan perubahan-perubahan sosial ekonomi serta politik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang guru yang tidak pernah kehabisan ide/gagasan dan tidak pernah puas tentang kondisi yang ada.
Guru yang memiliki jiwa kreatif. Yaitu guru yang suka membuat terobosan baru yang bermanfaat bagi pengembangan sekolah laboratorium SLTP sebagai ladang atau tempat ”penelitian” bagi akademisi yang akan disumbangkan kepada masyarakat luas. Dengan cara yang kreatif, maka dapat dihasilkan model-model baru produk SLTP Lab; seperti model kurikulum, model pembelajaran, pola manajemen, serta penciptaan lingkungan sekolah.
Guru yang mampu melakukan penelitian. Untuk kepentingan guru, sekolah, dan masyakat luas, penelitian seyogyanya menjadi ”ciri khas” sekolah laboratorium SLTP guna mengembangkan model-model pembelajaran multikultur. Misalnya guru meneliti dari aspek bahasa, adat istiadat, budaya, serta perilaku mereka yang tampak sehari-hari dalam berinteraksi disekolah.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum multikultur adalah keniscayaan yang harus dikembangkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang menganut falsafat bhineka tunggal ika. Dengan munculnya konsep kurikulum multikultur diharapkan membuka cara pandang baru terhadap model pembelajaran yang relevan dengan kenyataan sosial yang ada.
Kurikulum multikultural didesain dengan cara menawarkan kontens (isi materi) yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap serta dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama

Peran sentral guru dalam sekolah laboratorium yang bersifat multikultur dapat dilihat dari beberapa kreteria, yaitu guru yang mempunyai wawasan kebangsaan yang luas, memiliki jiwa terbuka dan tidak diskriminatif, memiliki jiwa visioner, kreatif dan mampu melaksanakan penelitian.
Daftar Rujukan

Banks, J. 1993, Multicultural Eeducation: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Jay. Gregory. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
Johar, 2003. Pendidikan Strategik Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI
Lash, Scott dan Mike Featherstone (ed.), 2002. Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication.
Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development, Theory and Practice, New York:Harcourt, Brace & World, Ins.
Taylor. Charles. 1994. politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation. Princenton: Princenton University Press.
Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.



[1] Johar, 2003. Pendidikan Strategik Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI
[2] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), 2002. Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication, hlm. 2-6.
[3] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.
[4] Ibid, hlm. 3-4.
[5] H.A.R. Tilaar, 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. hlm. 83.
[6] Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
[7] Banks, J 1993, Multicultural Eeducation: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
[8] Hilda Taba, 1962. Curriculum Development, Theory and Practice, New York:Harcourt, Brace & World, Ins., hlm. 267-307.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar