Jumat, 19 Februari 2010

Dinamika Imperium Mughal: Sistem dan Kebijakan Keagamaan Di Mughal

Oleh: Mujtahid*

Abstrak
Secara historis, dunia Islam abad pertengahan dikesankan sebagai abad kemunduran dan taqlid. Jika hal itu benar, dalam dimensi dan wacana manakah kemundurun itu terjadi? Apakah sama sekali tidak ada dinamika intelektual, politik, arsitektur atau keagamaan yang masih berkembang ? Tulisan ini hendak mengakaji ke arah sana dengan mengangkat salah satu sejarah dinamika imperium yang muncul di abad pertengahan, yang memfokuskan pada imperium Mughal di India. Untuk melihat fakta sejarah yang sebenarnya, akan dipaparkan dalam tulisan ini melalui kerangka pandang sejarah sosial Islam.

Pendahuluan
Imperium besar Muslim di Anak Benua India ini didirikan oleh Babur (1483-1530). Dari garis ayahnya, ia keturunan Timur Lenk, dan dari ibunya, ia keturunan Jengis Khan. Karena tidak berhasil menghidupkan kembali kejayaan Timur Lenk di Asia Tengah, ia beralih ke India, dan di sini ia membentuk imperium Mughal pada tahun 1526.
Imperium Mughal mencapai titik puncaknya di bawah empat raja: Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1657), Syah Jahan (1627-1657), dan Aurangzib (1658-1707). Kekuasaan Mughal meliputi seluruh India kecuali selatan jauh. Setelah Aurangzib wafat, kekuasaan Mughal menyusut dengan cepat; provinsi-provinsi menjadi negara-negara merdeka. Menjelang pertengahan abad ke-18, kekuatannya sudah berakhir. Aurangzib diturunkan oleh Inggris pada 1858 M.
Akbar mengembangkan sistem pemerintahan dan kebijakan yang menjadi sandaran kekuasaan Mughal. Dalam pemerintahannya, dia tidak saja merekrut anggota suku Turani yang datang bersama Babur, tetapi juga orang-orang Persia, Muslim India, dan Rajput Hindu. Para pejabat ini diberi manshab –pangkat militer yang dinyatakan dalam angka- yang menunjukkan gaji dan tugas mereka. Tugas ini dipenuhi dengan menggunakan pajak yang mereka terima dari dana tanah yang tidak diwariskan dan dapat dialihkan (jagirs). Akbar mengembangkan metode penghitungan pajak yang didasarkan atas data terperinci tentang hasil panen lahan, produktivitas, dan fluktuasi harga yang menghasilkan pendapatan maksimum bagi petani dengan dampak minimum. Pajak dikumpulkan oleh zamindar, sebagian besar beragama Hindu, yang kemudian mengambil bagiannya sendiri.
Akbar mengintegrasikan kaum non-Islam ke dalam kerajaan, dari tingkat pemerintahan terendah sampai perkawinannya sendiri dengan putri Rajput. Untuk itulah, dia menerapkan kebijakan toleransi beragama, menghapus, antara lain, jizyah yang dibebankan terhadap non-Muslim. Sejauh menyangkut kebijakan pemerintahan dan keagamaan Akbar berlangsung dengan baik. Tetapi, pada masa kepemimpinan Aurangzib, ada beberapa perubahan kebijakan yang semula berjalan secara mapan. Karena berhadapan dengan oposisi Hindu dan Sikh yang kian membesar, ia mulai mengganti orang-orang non-Muslim di pemerintahan dengan orang Muslim. Di bawah tekanan ulama ortodoks, ia memerintahkan agar jizyah diberlakukan kembali dan Syari`at harus diikuti. Peperangan terus-menerus dan meluasnya [wewenang] kaum birokrat mengakibatkan jagir mengalami kelumpuhan.
Imperium Mughal berdiri berdampingan dengan imperium Shafawiyah dan Usmaniyah sebagai salah satu dari tiga kekaisaran “bubuk mesiu” (gun-powder empires), yang menunjukkan sebagian capaian tertinggi peradaban Islam. Dalam keyakinan beragama, imperium ini merupakan arena –berlawanan dengan kebijakan Mughal tentang pembaruan agama dan penafsiran liberal tentang ajaran sufi Ibn `Arabi yang kemudian berlaku- tempat Ahmad Sirhindi menekankan kepatuhan mutlak pada Syari`at dan sunnah sebagai jalan perwujudan sufi, memusatkan kembali perhatian pada transendensi Allah, dan menyadari perlunya manusia dibimbing oleh wahyu; pengembangan ini dilaksanakan oleh tarekat Naqsabandiyah hampir di seluruh Asia tengah dan Barat. Dengan demikian, imperium ini menandai suatu fase ketika India tidak lagi semata-mata menjadi penerima gagasan keislaman, tetapi mengambil perannya sebagai kontributor isi utama peradaban Islam modern secara keseluruhan (Esposito, 2001: 82-83)

Sketsa Awal: Imperium Mughal
Di antara ketiga kerajaan besar abad pertengahan, selain Shafawiyah dan Usmaniyah, Mughal termasuk imperium termuda dan mengalami kemajuan yang cukup cepat. Imperium Mughal berada di sebuah kota yang berkawasan di Asia Tengah. Islam diperkenalkan di anak benua India dalam sebuah bentuk peradaban yang telah berkembang yang diwarnai dengan budaya pertanian (agrikultural), urbanisasi, dan keagamaan yang terorganisir secara mapan (Lapidus, 1999:671).
Mughal bukanlah imperium Muslim pertama yang berpusat di Delhi-India, sebab sebelumnya sebagian di daerah ini telah dikuasai oleh dinasti Umayah pada masa al-Walid di bawah pimpinan Muhammad Ibn Qasim. Seperti diterangkan oleh Mahmudunnasir (1981:163), pada fase disintegrasi, dinasti Ghaznawi melakukan ekspansi kekuasaan di India dipimpin Sultan Mahmud tahun 1020 M, menaklukkan kerajaan Hindu, dan mengislamkan sebagian masyarakatnya. Setelah dinasti Ghaznawi hancur, muncul dinasti Khalji (1296-1316) dan Tughlug (1320-1412) (Nasution, 1988:82).
Imperium Mughal didirikan Zahiruddin Babur (1483-1530), ia bertekad menaklukkan Samarqand, sebuah kota terpenting di Asia Tengah. Semula ia kesulitan, tetapi setelah mendapat dukungan dari sultan Ismail I, ia dapat mewujudkan cita-citanya itu pada 1494 M. Tak lama kemudian, Kabul (ibu kota Afghanistan) juga dikuasai dan pada akhirnya ia melanjutkan ekspansi ke India (Yatim, 1996: 147).
Sebelum di bawah imperium Mughal, India pernah mengalami rezim yang sangat berpengaruh di kawasan Asia. Seperti pada masa pemerintahan `Ala` al-Din Khalji (1296-1316), kekuasaannya sampai Gujarat, Rajasthan, Deccan, dan sebagian wilayah India selatan. Rezim Khalji berusaha memperkuat administrasi negara agraria. Setelah runtuh, rezim ini digantikan oleh Muhammad Tughluq (1320-1413). Tughluq berusaha menyeimbangkan pengaruh politik dari sebagian besar Muslim dengan memperkuat dukungan dari kalangan imigran tentara Turki. Ia termasuk orang pertama yang mengangkat warga non-Muslim dalam tugas kemiliteran dan tugas-tugas administratif pemerintahan, terlibat di dalam perayaan lokal, dan mengizinkan pembangunan kuil-kuil Hindu. Dalam paham keagamaan, Tughluq pro-Sunni, yang terkadang menerapkan kebijakan dinastinya dengan pertimbangan Sunni.
Tughluq mengalami disintegrasi akibat serangkaian pemberontakan para gubernur, perlawanan lokal di Deccan, dan pembentukan beberapa kerajaan Hindu yang independen. Pada awal abad ke-16, pergolakan atas Kesultanan Hindu mendorong pada intervensi Babur (seorang keturunan Lenk), seorang tentara penjelajah dan penguasa lokal Farghana (Lapidus, 1999: 676).
Ketika memasuki India, Babur harus menyelesaikan tantangan yang tidak terlalu berat, karena kekuasaan India di bawah pimpinan Ibrahim Lodi sedang mengalami krisis kepercayaan, separatisme, dan kekacauan nasional. Akhirnya paman Ibrahim (Alam Khan) dengan Daulat Khan, mengirim utusan ke Kabul minta bantuan Babur untuk menjatuhkan Ibrahim Lodi. Babur dapat menguasai Punjab dengan ibu kota Lahore. Setelah Punjab berada dalam kekuasaaanya, Babur berinisiatif untuk menguasai Delhi. Pada tanggal 21 April 1526 antara Babur dengan Ibrahim Lodi bertemu di medan perang yang terletak di Panipat. Ibrahim bersama ribuan tentaranya terbunuh di medan perang. Dengan demikian, berdirilah imperium Mughal di India.
Setelah kerajaan Mughal berdiri, raja-raja Hindu melakukan reaksi, termasuk adik Ibrahim Lodi (Mahmud) yang menjadi sultan di Afghanistan. Pada 1530 Babur meninggal, lalu kekuasaan dilanjutkan oleh anak sulungnya bernama Humayun. Pada masa Humayun, kekuasaan sering dilanda konflik, tidak berjalan aman, sering diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan, bahkan sebagian ada pemisahan wilayah (disintegrasi bangsa), seperti Bahadur Shah (penguasa Gujarat) pisah dari Delhi. Dalam beberapa pertempuran, Humayun mengalami kekalahan, bahkan sempat melarikan diri sampai ke Persia dan Kandahar. Sekitar 15 tahun ia berkelana, setelah itu kembali ke Delhi pada 1555. Namun tidak lama kemudian, pada 1556 ia meninggal, sebab terjatuh dari tangga perpustakaannya. Pada masa kepemimpinan Humayun, kekuasaan hanya sebatas nominal –tidak menunjukkan kemajuan dan perubahan positif- bagi negeri India.
Selanjutnya, kekuasaan digantikan putranya bernama Akbar. Ia masih berusia 14 tahun. Karena dirasa masih muda, sementara waktu kekuasaan Mughal diserahkan kepada Bairam Khan, seorang yang berpaham Syi’i. Ketika Bairam Khan diberi kekuasaan, ia mulai mendapat pengaruh dan terlampau memaksakan kepentingan Syi’ah. Tetapi Akbar segera mengerti dan mengambil sebuah tindakan yakni menyingkirkannya, dan ia dapat menyelesaikannya dengan baik.

Reformasi Kekuasaan: Universalisme Agama
Setelah kehancuran kesultanan Delhi, Imperium Mughal berdiri di bawah pimpinan Akbar berusaha membentuk sebuah kultur Islam yang didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa India, dan puncak dari pergumulan antara identitas Persi-Indian dan Identitas Islam bagi negara dan masyarakat (Lapidus, 1999: 694).
Mulai dari awal sampai akhir kepemimpinan Akbar, imperium Mughal mengambil sebuah pengalaman dari kesultanan Delhi sebelumnya, ekspansi Muslim ke wilayah-wilayah anak benua yang luas ini dapat dilakukan karena ditunjang oleh sekelompok kecil aristrokasi militer dan kepaduan ideologi dan kulturalnya.
Berkat pengalaman-pengalaman masa lalu, Akbar berusaha Untuk menghapuskan perpecahan, menjaga solidaritas antar Muslim, dan untuk mengintegrasikan raja-raja Hindu ke dalam jajaran elit pemerintahan. Akbar termasuk salah seorang yang beridentitas Muslim dan kosmopolitan, yang di atasnya dibangun bahasa Persia dan India, kepustakaan dan seni, semua membentuk peradaban Islam India yang baru (Lapidus, 1999:677-678).
Berbeda dengan sistem kesultanan sebelumnya, imperium Mughal di bawah pemerintahan Akbar mengembangkan sistem yang bersifat terbuka, dan mengehendaki keterlibatan politik dengan raja-raja Hindu lokal. Keinginan Akbar ini terkabul dengan mengintegrasikan dari berbagai unsur agama, budaya, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, ketika masa pemerintahan Tughlug, bibit-bibit toleransi, kebijakan terbuka telah terbangun, sebagai sebuah kehidupan ketatanegaraan yang bersifat universal. Di sana, dilakukan bentuk adopsi motif-motif Hindu ke dalam arsitektur Muslim sebagai lambang kebijaksanaan Muslim terhadap otoritas politik Hindu. Sintesa antara Islam dan berbagai kultur lokal seperti terlihat di Deccan, Bajipur, dan Golconda.
Usaha Akbar dalam membangun imperium Mughal dimulai dengan menyelesaikan beberapa sisa-sisa konflik dari keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Meskipun Akbar harus mengambil jalan penyelesaian dengan peperangan, seperti melawan Himu, penguasa Gwalior dan Agra. Perang tersebut terkenal dengan sebutan perang Panipat II pada 1556. Selanjutnya, Akbar membentuk sistem kekuasaan militeristik. Seorang sultan adalah penguasa penuh yang memiliki wewenang otororiter. Pemerintah daerah dipegang seorang sipah salar (kepala komandan), sub-distrik dipegang seorang faudjar (komandan). Dengan gaya kepemimpinan militeristik ini, semua pejabat pemerintahan diwajibkan mengikuti latihan kemiliteran. Ia juga menerapkan sikap toleransi universal. Rakyat dipandang sama, tidak dibeda-bedakan, atas dasar perbedaan etnis, suku maupun agama.
Pemerintahan Mughal dijalankan oleh sebuah elit militer dan politik yang pada umumnya terdiri dari pembesar-pembesar Afghan, Iran, Turki, dan Muslim asli India. Dalam pemerintahan Mughal terdapat 20% warga Hindu, yang mereka juga menjabat diberbagai area jabatan pemerintahan. Warga Hindu yang masuk dalam jajaran pemerintahan kebanyakan berasal dari Rajput dan Marathas. Di samping itu, mereka juga banyak terlibat sebagai pembesar-pembesar militer, pejabat administratif, pejabat keuangan, pedagang, dan pemilik tanah. Pola hidup mereka, pada umumnya hampir tidak jauh beda dengan kultur Persia Muslim (Lapidus, 1999: 695).
Para elit penguasa mendapat dukungan yang luar biasa dari beberapa kelompok dengan loyalitas penuh. Kelompok itu misalnya biradari, jati, atau qawm yang terlebih dahulu melalui ikatan perkawinan. Imperium Mughal di bawah pimpinan Akbar ini memang benar-benar menerapkan sikap toleransi yang sangat tinggi kepada warganya. Kaum Muslim dan non-Muslim mendapat proporsi masing-masing di berbagai area jabatan pemerintahan. Dengan pemberlakuan sikap toleransi ini, maka terjadi hubungan klien sebagai pendukung pemerintahan Mughal.
Sistem pemerintahan Mughal diorganisasikan dengan membentuk sistem mansabdar. Yakni sebuah sistem ganda yang memiliki dua kedudukan. Kedudukan sebagai zat yang menyatakan posisinya dalam sistem hirarki dan sebagai sawar yang menyatakan jumlah tentara yang harus dikerahkannya ke medan peperangan. Mereka digaji secara tunai atau dikasih sebidang tanah yang dinamakan Jagir (pelimpahan beberapa penghasilan di India, sebagai pengganti pembayaran gaji), atau juga disebut iqta`. Jagir tersebut diberikan kepada pejabat-pejabat militer kaisar, penguasa lokal, Rajput, dan kepala-kepala suku. Sekitar 7/8 tanah wajib pajak di imperium Mughal didistribusikan kepada para pejabat militer dan sisanya 1/8 diserahkan sebagai tanah pribadi sang penguasa (Lapidus, 1999:696)
Dalam kepemimpinan Akbar, sistem perpajakan diberlakukan secara merata, meliputi propinsi Multan, Lahore, Delhi, Agra, Oudh, dan Allahabad, berlangsung selama abad 17. Perpajakan dikelola dengan sistem zabt. Sejumlah pembayaran dibebankan pada setiap unit tanah dan harus dibayar secara tunai. Hasil perpajakan diserahkan kepada jagirdar, dengan dibantu oleh elit lokal yang mewakili pemerintahan pusat.
Atas pengawasan zamindar para pemilik tanah menyetorkan hasil pajaknya ke mansabdar. Namun demikian, otoritas penuh tetap dari raja. Meski zamindar sudah dianggap lapisan bawah, namun di bawahnya ada lagi satuan pemimpin, yakni muqaddam atau petel. Muqaddam bertanggung jawab kepada atasannya terhadap setoran pajak yang ada dikampung-kampung supaya dapat berjalan secara aman.
Sebuah sistem baru yang disusun Akbar mengenai kebijakan keagamaan dan kultural adalah menarik simpati ulama` Muslim dengan menghibahkan sejumlah madrasah dan perpustakaan. Di samping itu, ia mendukung terekat Chistiyah yang mentolerir beberapa bentuk sintesa antara Hinduisme dan Islam dan melancarkan sebuah bentuk pemujaan yang dinamakan Din Illahi, atau agama ketuhanan. Salah satu karya Abul Fazl ‘Allami yang berjudul “Akbar Name”, merupakan ekspresi terbaik tentang kehebatan pemerintahannya. Sebagian isi dari buku itu menyatakan bahwa penguasa dipandang sebagai seorang raja filosof, pelindung rakyatnya tanpa memandang agama mereka, dan sebagai pembimbing spiritual yang membawakan perdamain, serta menyebarkan bentuk-bentuk kebajikan di seluruh penjuru wilayahnya (Lapidus, 1999: 701).
Pada periode ini, sebagian besar ilmuan Muslim mengabdikan diri kepada negara secara suka rela. Tidak jauh berbeda dengan kerajaan Delhi, imperium Mughal mengembangkan sistem administrasi keagamaan biokratik kesultanan. Kekuasaan peradilan sepenuhnya diserahkan kepada qadhi. Sadr propensial mengepalai para hakim, muhtasib, muballigh, imam shalat, mu`azzin, dan administrator keuangan tingkat lokal. Ia juga bertanggung jawab atas pengangkatan mufti dan atas hubungan antara pemerintah dan ulama.
Pemerintah menyediakan subsidi untuk para ulama dan terkadang memberi kepada masyarakat miskin dengan menghadiahkan kekayaan tanah, tanah wakaf disumbangkan untuk menambah pendapatan bagi tempat-tempat keramat, makam dan madrasah. Pemerintah juga seringkali memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh agama dan mengeluarkan belanja dari dana bantuan shadaqah. Sadr bertangung jawab terhadap kegiatan darma dan pemberian makan orang miskin.
Setelah pemerintahan Akbar berakhir, penguasa selanjutnya diserahkan kepada putranya yang bernama Nuruddin Muhammad Jahangir Padshah Ghazi (1605-1628 M). Di masa kepemimpinannya, kekuasaan mulai diwarnai dengan insiden kecil oleh beberapa daerah yang tidak mau mengakui supermasi kaisar Jahangir. Tetapi Jahangir dapat menyelesaikan dengan baik, meski ia harus mengambil jalur penumpasan seperti yang pernah dilakukan ayahnya. Selanjutnya, kekuasaan Jahangir masih mampu berkembang, khususnya perluasan daerah.
Jahangir pernah mencapai penaklukan daerah yang luar biasa, misalnya penaklukan Kangra. Benteng Kangra terletak di bukit di sebelah Timur laut Punjab. Benteng ini telh lama menentang kekuasaan Akbar, dan Jahangir mendudukinya setelah 14 bulan mengepungnya. Akan tetapi, penaklukan ini menjadi tidak kekal, dan orang-orang pegunungan yang suka berperang itu terus berjuang hingga kematian Jahangir (Mahmudunnasir, 1988:362-365).
Setelah Jahangir meninggal, kekuasaan selanjutnya di teruskan oleh Shah Jahan (1628-1658 M). Di akhir kekalahan Jahangir melawan Malik Ambar di Deccan, Shah Jahan banyak dibantu mertuanya, Asaf Khan. Berbagai upaya dan langkah-langkah strategis telah ditempuh Asaf Khan guna menyelamatkan menantunya, Shah Jahan.
Kepemimpinan Shah Jahan sebagai pengisi tahta sementara yang dipermaklumkan sebagai kaisar. Setelah naik tahta, gejolak pemerintahan mulai terombang-ambing oleh beberapa daerah yang tidak sepakat pengangkatan Shah Jahan. Perang perebutan tahta semakin meluas di mana-mana. Pada tahun 1622 M disintegrasi kekuasaan mulai terjadi di Kandahar yang dimotori oleh Shah Abbas II.
Peperangan juga pernah terjadi dengan bangsa Portugis, karena semula bangsa itu diberi keleluasaan hubungan dengan Mughal. Peperangan ini terjadi ketika Jahan tahu bahwa anak-anak warga Hughli Bengala banyak di culik bangsa Portugis untuk dibaptis masuk agama Kristen. Apalagi orang-orang Portugis tidak segan-segan melakukan perampokan.
Suhu kepemimpinan Shah Jaham mulai menurun dengan sangat drastis. Kekalahan demi kekalahan selalu dialami. Akhirnya sampai pada pada titik kulminasi bagi Shah Jahan yang ditandai dengan perebutan tahta yang tak berujung. Dalam bulan Desember 1657 M Shah Jahan menderita sakit keras, dan semua anak laki-laki segera terlibat dalam perang sesama saudara untuk merebutkan tahta (Mahmudunnasir, 1988:365-369).
Setelah berakhir kekuasaan Shah Jahan, kemudian digantikan Aurangzib (1658-1707 M). Ia dinobatkan menjadi kaisar dalam bulan Mei 1659 M, dengan mendapat gelar Abul Muzaffar Mohiuddin Mohammad Aurangzib Alamgir Padadshah Ghazi. Di tengah suasana yang tidak menentu, Aurangzib melakukan perubahan-perubahan untuk meredam pertikaian yang hampir tidak pernah berhenti. Aurangzib berusaha mengatasi berbagai persoalan dengan caranya sendiri (Mahmudunnasir, 1988: 369-370).
Puncak kesuksesan Aurangzib adalah penguasaan daerah-daerah yang sebelumnya tidak sempat ditaklukkan. Ia merebut Bengal Timur, memperluas ke daerah Deccan dan menentramkan daerah perbatasan di barat laut.
Penyelamatan imperium Mughal oleh Aurangzib tidak berjalan dengan kekal, justru dalam batas-batas tertentu upaya yang dilakukan Aurangzib menimbulkan reaksi negatif dari kelompok yang diperlakukan dengan kebijakan sepihak. Misalnya kaum non-Muslim dibatas atau bahkan dilarang memasuki di area jabatan kepemerintahan. Pemberlakuan pajak bagi non-Muslim wajib dan jika mereka tidak menunaikannya diperangi dengan paksa. Ia adalah orang pertama dalam sejarah imperium Mughal, setelah Akbar yang mengakhiri konsiliasi Hindu digantikan dengan kebijakan supermasi Islam (Lapidus, 1999: 711).

Tarekat di Mughal
Pada periode Mughal, pengaruh tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah menggantikan pengaruh tarekat Suhrawardiyah dan Chistiyah. Pengikut tarekat Naqsabandiyah mengembangkan sebuah disiplin spiritual yang mengarah pada penglihatan (Vision) terhadap Allah, tetapi mereka juga bersikeras akan pentingnya keterlibatan aktif dalam berbagai urusan duniawi. Sejumlah Syeikh dari tarekat Naqsabandiyah berusaha terus-menerus mewujudkan kesatuan di antara kaum Muslim dengan mengklaim diri sebagai ahli waris seluruh tradisi sufi (Lapidus, 1999:705).
Sebelum pemerintahan Akbar, tarekat Shatariyah diperkenalkan ke India oleh Abdullah Shatar (w. 1485), yang berkunjung ke lembah Gangga berpakian seperti raja dengan sejumlah pengikut dalam seragam militer, dengan membawa bendera dan disertai dengan menabuh tambur untuk mempropagandakan keyakinannya. Pengikutnya memandang bahwa sebagai wujud yang berhubungan dengan para wali, Nabi, dan Tuhan, sebagai seorang yang memiliki kekuatan duniawi dan kekuatan spiritual, membebaskan diri dengan dunia dari segala norma hukum, norma sosial yang umum.
Tarekat Naqsabandiyah pada abad ke-12 menjelaskan prinsip keagamaan dan sosial mendapatkan dukungan dari tarekat ini. Mirza Mazhar (1700-1781), pendiri cabang tarekat Mujaddadiyah, berasal dari keluarga tentara dan administrator dan memelihara kehidupan sufi untuk menghilangkan konflik politik dan untuk mengendalikan dorongan nafsu dalam dirinya.
Pengganti Mirza Mazhar adalah Shah Gulam Ali (1753-1824), yang menekankan peranan sosial dan politik seorang Syeikh Naqsabandiyah, mengorganisasikan khanaqah, mengirimkan murid-muridnya menyusup ke Iran dan Afghanistan, membagi-bagikan shadaqah dan memberikan saran moral dan spiritual kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ia memanfaatkan pengaruh moralnya terhadap tokoh-tokoh politik apa pun bentuknya (Lapidus, 1999:705).
Sangat berbeda dengan pola sufi di atas, tarekat sufi menekankan para wali berpendapat bahwa Syari`ah hanyalah merupakan langkah awal untuk menuju haqiqat, sedangkan kesadaran terhadap Tuhan hanya awal untuk menuju latihan-latihan asketik dan pandangan batiniah. Sejumlah tarekat, seperti Chistiyah biasanya dibentuk berdasarkan pandangan religius pribadi sang guru pendiri dan kebaktian pribadi dari para muridnya.
Bahkan sebagaimana yang terjadi pada masa-masa silam, kharisma para wali dianggap tersimpan di kuburan mereka. Kemudian keturunan mereka bertugas mengelola makam keramat mereka dan sebagai pengatur sejumlah tarekat yang bertebaran di sekitar makam mereka. Pirzadas, keturunan dan pengelola makan keramat seorang wali, memimpin berbagai perayaan dalam rangka memperingati hari kelahiran dan kematian sang wali, menyediakan dapur umum, memimpin do’a massal dan menawarkan berbagai azimat, juga menyampaikan saran-saran sosial dan spiritual.
Rezim Mughal menghadiahkan sejumlah kekayaan berupa tanah kepada kaum sufi, sebuah praktek untuk melegitimasi pihak pemberi (pemerintah) dan juga pihak penerima (sufi) dan memungkinkan Mughal mencapuri dalam perselisihan suksesi kepemimpinan atas makam suci tersebut. Mereka mengganti pirzadas dengan pribadi saleh yang lebih peka terhadap apa yang menjadi kehendak otoritas politik (Lapidus, 1999:706).
Pada abad ke-16, pengaruh Syi’isme juga sangat besar. Golcanda dan Kashmir diperintah oleh penguasa Syi’i. Komunitas Syi’i India tidak hanya terbatas sekte Syi’i duabelas, tetapi juga sekte Nizariyah dan Bohras. Pengikut sekte Nizari berasal dari sebuah percabangan dari kalangan Fathimiyah. Mereka adalah kelompok “Assasin” abad ke-12 di Iran; misi mereka berkembang di India pada akhir abad ke-12 atau awal ke-13 di Sind dan Gujarat. Semula komunitas Nizariyah di India mengkui supremasi Imam di Iran. Meskipun mereka pada hakikatnya merupakan kelompok yang otonom, tetapi pada abad ke-16 gerakan ini mengalami perpecahan, hanya beberapa warga Nizariyah yang mempertahankan hubungan tersebut. Akhirnya imamah dipindahkan dari Iran ke India oleh Aga Khan I, Hasan Ali Shah, yang pindah ke Bombay pada tahun 1845 M.
Cabang Bohra juga berasal dari sebuah perpecahan yang mengantarkan pada perkembangan Nizariyah. Dengan menghilangnya imam mereka, al-Musta`li, pada 1133, kepemimpinan komunitas tersebut, diambil alih oleh da`i al-mutlaq. Jabatan da`i berada pada sebuah hirarki yang mencakup beberapa misionari lainnya, termasuk di dalamnya jabatan yang lebih tinggi hujjah, natiq, dan imam. Ketika imam tiada, dai berada pada fungsi tertinggi dalam hal sosial. Ia berhak menyampaikan pengajaran kepada umat, mengatasi perselisihan internal, dan menunjuk penggantinya sesuai dengan penunjukan ketuhanan (nasb). Ia bekerja melalui beberapa agen (wali) yang disebut `amil dan syeikh yang sederajat dengan `ulama (Lapidus, 1999:707).
Bohra dari cabang sekte Syi’ah Ismailiyah merupakan sekte yang pertama kali berkembang di Yaman dan warga Bohra agaknya datang ke Gujarat pada awal abad ke-13. Sebuah deputi yang dinamakan wali berkuasa di India sampai tahun 1539 ketika itu diangkat dai India yang pertama. Sepanjang perjalanan sejarah komunitas Bohra, terdapat beberapa peristiwa kekacauan besar. Pada tahun 1840, bersama dengan kematian dari Rajput yang terakhir, jabatan da`i diputuskan berdasarkan hasil musyawarah. Bohra abad ke19 cenderung memandang mereka sebagai figur administratif daripada sebagai guru spiritual, dan kepemimpinan mereka ditentang oleh pihak `ulama.

Muslim Syari’ah Minded
Di imperium Mughal, terdapat sebuah kelompok Islam yang menekankan pada kepatuhan syari`ah. Kelompok ini pada gilirannya mendapat julukan Muslim syari’ah minded. Dalam ide pemikirannya, mereka ingin memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam oleh negara dan penyerahan perkara warga Hindu kepada pemerintahan Muslim dengan diskriminasi pajak dan sejumlah pembatasan lainnya. Kelompok Muslim syari’ah minded memahami masyarakat Muslim sebagai sebuah garis nasab dan garis kelas yang tidak linier (terputus). Mereka mendefinisikan Muslim berdasarkan keyakinan individual terhadap Islam yang melampaui seluruh ikatan sosial dan memandang manusia sederajat dan saling bersaudara dalam agama.
Tokoh yang mewakili kelompok Muslim ini adalah Ahmad Sirhindi (1564-1624). Seorang sufi agung asal India yang gagasannya membentuk fase kedua atau mujaddidi dalam terekat Naqsabandiyah. Titik tekan ajaran Sirhindi adalah kepatuhan syari`ah dan sunnah sebagai sarana untuk mencapai realitas spiritual telah banyak diterima oleh golongan Naqsabandiyah. Ia sebagai wakil juru bicara India atas sudut pandang syari’ah. Bahkan ia satu-satunya tokoh Muslim sekaligus pemimpin tarekat yang berani mengkritik kepemimpinan Akbar. Sikap Akbar yang terbuka, dianggap bertentangan dengan ide keagamaan syari’ah. Sirhindi mengkampanyekan ide-idenya kepada masyarakat Muslim melalui jalur tarekat Naqsabandiyah. Ia menegaskan bahwa ketaatan terhadap ajaran syari’ah sebagai dasar pencapaian makna hakikinya, dan memodifikasi doktrin ibn `Arabi tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan landasan metafisika ajaran sinkritisme agama menjadi doktrin wahdat al-syhuhud (kesatuan pandangan).
Sirhindi termasuk orang pertama yang tidak sependapat dengan ajaran Chistiyah. Ia mengkritik adanya praktik keislaman sufi dan Hindu seperti pemujaan wali, penyembelihan binatang qurban, dan sejumlah perayaan keagamaan. Ia menghendaki adanya negara Islam. Bahkan ia mengatakan “sudah menjadi kewajiban Muslim untuk menundukkan non-Muslim”. Karena itu, ia menganjurkan para penguasa dan kalangan bangsawan untuk memberlakukan pajak kepala terhadap non-Muslim, mengizinkan penyembelihan sapi, membebaskan warga non-Muslim dari jabatan politik, dan memberlakukan syari’ah dalam segala bidang (Lapidus, 1999:708-709).
Penerus ajaran Sirhindi adalah Syah Wali Allah (1702-1763). Dibandingkan dengan pemikiran Sirhindi, Syah Wali Allah sedikit agak moderat. Meskipun dalam beberapa hal ia terkesan sama, tetapi ia banyak mengelaborasi pemikiran Sirhindi dengan menggunakan jalur berfikir yang lebih bersifat dinamis-kreatif. Ia termasuk orang yang berjasa besar bagi umat Islam di India dengan upayanya melalui penerjemahan al-Qur`an. Ia menerjemahkan al-Qur`an ke dalam dua bahasa, yaitu bahasa Urdu dan bahasa Persia. Gagasan ini dilatarbelakangi bahwa salah satu sebab dari sekian persoalan yang dihadapi umat Islam India adalah lemahnya perhatian dan pemahaman kepada al-Qur`an.
Syah Wali Allah menekankan adanya argumen atau ijtihad sebagai jalan untuk mengadapi hukum Islam terhadap kondisi lokal. Ia termasuk orang yang menyadari akan adanya pluralisme. Bahwa di India berkembang sebuah naluri identitas Muslim yang bersifat universal. Karena itu, ia berpendapat bahwa hubungan antara penguasa Mughal dengan kehidupan keagamaan Muslim dapat terjadi dengan melalui pluralisme ini.
Sebagai seorang `ulama reformis-minded, ia mewakili cita Islam universalitas yang seringkali bersikap kritis terhadap pemerintahan Mughal atas dasar kultur kosmopolitan dan kultur imperial yang dikembangkannya, atas dasar elit Hindu terlibat di dalamnya, dan karena sikap loyalitas patrimonial terhadapnya.

Kemajuan Mughal
Beberapa kemajuan yang dicapai imperium Mughal misalnya, bidang ekonomi. Sebagian besar sumber keuangan negara terletak pada hasil bumi yakni pertanian, pertambangan dan selebihnya perdagangan. Dari sektor pertanian pernah sampai ekspor ke Eropa. Pengembangan pertanian memang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Akbar. Menurut Moreland, dalam Yatim (1998:150) pemerintah berhubungan langsung dengan petani. Kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian di negeri itu. Hasil pertanian Mughal yang terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.
Masih menurut Moreland, dalam bidang seni juga sempat berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra guyuban penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia. Pada masa Akbar, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan karyanya Akbar Name dan Aini Akbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan pemimpinnya.
Dalam bidang arsitektur juga sempat nampak. Pada masa Akbar pernah dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syekh Jehan dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, masjid Raya di Delhi dan istana indah di Lahore.

Catatan Akhir
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di antara ketiga kerajaan besar abad pertengahan, Mughal termasuk kerajaan yang memiliki formasi ketatanegaraan yang cukup unik. Kebijakan universal (tanpa diskriminasi) benar-benar diterapkan di Mughal. Dengan tidak memandang sebelah pihak, Mughal dapat mengalami kemajuan yang pesat. Meskipun pada akhirnya, imperium Mughal harus terjungkal, karena di satu sisi, Aurangzib menerapkan kebijakan yang kurang akomodatif terhadap warga non-Muslim, dan di sisi lain, kekuasaan Mughal tengah mengdapai imperium asing dan mengdapi lemah politik internal.
Dengan demikian, hasil kajian sejarah imperium Mughal ini dapat dijelaskan bahwa sikap kepemimpinan yang terbuka, toleran, berada dibawah pimpinan Akbar, dengan memberlakukan kebijakan lintas sektoral. Ia memiliki profil kepemimpinan yang berpola militeristik, Ia menerapkan toleransi universal, warga tidak dibeda-bedakan satu sama lain lantaran sentimen kelompok, agama mapun suku.
Di Mughal juga terdapat aliran –aliran tarekat yang unik. Ada tarekat yang “sinkretik”, seperti Chistiyah, yakni terekat yang menggabungkan dari beberapa unsur budaya dan agama. Ada tarekat yang “puritan” seperti Naqsabandiyah, suatu tarekat yang menekankan pada ajaran syari’ah. Termasuk di dalamnya terdapat kelompok Muslim Syari’at Minded yang diwakili oleh Sirhindi sebagai seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah yang kemudian sebagain ide-ide pemikirannya dilanjutkan oleh Syah Wali Allah. Bermacam-macamnya bentuk tarekat ini berhubungan karena Mughal merupakan kerajaan yang dominan terhadap asimilasi, baik segi budaya maupun keagamaan.
Kemajuan Mughal terlihat dari sisi ekonomi, seni, budaya dan sejumlah arsitektur. Dari sektor pertanian, Mughal pernah sampai ekspor hasil pertaniannya ke Eropa Dalam bidang seni misalnya, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan karyanya Akbar Name dan Aini Akbari memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan pemimpinnya. Dari segi kemajuan arsitektur, pernah dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan masjid-masjid yang indah, bahkan ada yang berlapisan mutiara.
Melemahnya imperium Mughal dimulai dari penguasa Jahangir (1605-1628 M), Shah Jahan (1628-1658 M), kemudian runtuh di bawah kepemimpinan Aurangzib (1658-1707 M). Salah satu penyebab kemunduran ini adalah Aurangzib banyak mengubah kebijakan yang sebelumnya telah ditetapkan Akbar. Sementara sebab lain yakni adanya dorongan dari pemerintah Inggris yang semakin kuat sehingga pemerintahan Aurangzib tidak mampu lagi mempertahankannya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang cenderung mempraktekkan syari’ah dengan keras. Pemberlakuan pajak kepala bagi warga non-Muslim. Membebaskan non-muslim dari elit pemerintahan dan mengangkat semuanya dari kalangan Muslim.
Perubahan situasi politik mendorong kepada serangkaian peperangan antara sejumlah penguasa yang lemah sangat mengancam efektivitas pemerintahan Mughal dan membuka kesempatan terjadinya sejumlah pemberontakan internal dan bagi invasi asing. Pada awal abad ke-18 beberapa daerah dari wilayah imperium Mughal menjadi negara-negara independen di bawah kepemimpinan mansabdar yang selanjutnya menjadi nawwab.
Di beberapa daerah India lainnya, terbentuk sejumlah rezim yang di bawah kekuasaan raja-raja Hindu. Para pembesar Hindu merebut kembali kekuasaan atas Rajhastan. Di Punjab, beberapa kelompok keagamaan dan etnis seperti kelompok Sikh dan Jat mendirikan rezim lokal. Gerakan Maratha, yang dibentuk berdasarkan perlawanan kaum petani terhadap sistem perpajakan, berdasarkan revivalisme Hindu, dan beberapa bahasa daerah, dan yang dipimpin oleh Shah Shahji dan putranya bernama Shivaji, menumbangkan otoritas Mughal (Lapidus, 1999:714).
Selain itu, perusahaan-perusahaan Inggris mulai masuk ke India. Sejak tahun 1600 Inggris-India telah menjalin usaha perdagangan. Sejumlah pabrik Inggris didirikan di Surat pada 1612, di Madras pada tahun 1640, di Bombay pada tahun 1674, dan di Calcutta pada tahun 1690. Pada peperangan abad ke-18, Inggris memenangkan persaingan dengan kekuatan Perancis. ***

Daftar Istilah
Mansabdar : Pejabat elit yang ada di jajaran pusat pemerintahan dan sekaligus memiliki wewenang sebagai sawar.
Sawar : orang yang menyatakan jumlah tentara yang harus dikerahkan ke medan perang atau pentempuran.
Jagir, iqtha`, timar : pemberian sebidang tanah atau gaji secara tunai
Zamindar : kaum bangsawan lokal atau pemimpin lokal yang berhak atas bagian tertentu dari penghasilan tanah, namun bukan merupakan hak pemilikan tanah.
Rajput : penguasa Hindu
Chistiyah : paham dalam sufi (terekat) yang memperbolehkan beberapa bentuk sintesa antara Hinduisme dan Islam.
Muqaddam/patel : pejabat lokal yang memimpin sebuah perkampungan petani dan bertanggungjawab untuk mengurusi setoran penghasilan ke atasnya.
Khanaqah, : sebuah bangunan untuk kegiatan para sufi, biasanya seorang Syeikh bertempat tinggal, menyampaikan pengajaran kepada muridnya, menyelenggarakan peribadatan sufi di bangunnan ini. Selain dipakai dalam pengetian khanaqah, hal biasanya dipakai juga dengan istilah zawiyah, ribath dan tekke.


DAFTAR PUSTAKA
Brockelmann, Carl. 1982. History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul.
Hodgson, Marshal G.S. 1974. The Venture of Islam. Vol. II-III. Chicago: Chicago University Press.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Vol. II-III Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mahmudunnasir, Syed. 1988. Islam; Konsepsi dan sejarahnya [terj]. Bandung: Rosdakarya.
Nasution, Harun. 1985. Islam di Tinjau dari Beberapa Aspeknya. Jilid I, Cetakan V, Jakarta: UI Press.
Esposito, John L., 2001, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid IV, Bandung: Mizan.
Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Jembatan.
Yatim, Badri. 1996, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

*) Mujtahid, dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

1 komentar: