Sabtu, 20 Februari 2010

Agama dan Pembentukan Masyarakat Madani

Oleh: Mujtahid*
Abstract:
Beside as a faith, religion is the absolute and universal sources of spirit and value. As a spirit and value, religion could be used as the ethic frames for develop of the power morality and civil society. Most Moslem scholars said that religion is the ethic frame to solve the social problems. This article tends to discuss a bout power morality and civil society in the sight of religious values. Since as a value laded, religion must could be understand as the life-principles, include as a power and social system. Reflection which rise from religious society is the shaping of power legality and civil society.
Keywords:
Agama, masyarakat madani, kekuasaan, profetik

A. Pendahuluan
Secara teologis, agama di samping menjadi keyakinan, juga memerankan dirinya sebagai sumber nilai yang mutlak dan universal. Sebagai sebuah nilai, agama menjadi kerangka etis dalam membangun moralitas kekuasaan dan masyarakat madani. Agama diyakini sebagai risalah dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara moralitas kekuasaan dan masyarakat madani merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik beratkan pada persoalan manusia dan legitemasinya pun diperoleh dari sesamanya.
Persoalan agama, moralitas kekuasaan dan masyarakat madani adalah persoalan manusia dan kemanusiaan. Hanya saja, letak perbedaannya yaitu agama merupakan respons manusia terhadap Tuhannya, sedangkan kekuasaan dan masyarakat madani merupakan respons dan tatakrama manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks pergumulan dengan sesamanya.[1]
Sebagai makhluk sosial yang beragama, manusia diharapkan bisa bertindak netral dan bersikap objektif. Sebagai agamawan, seharusnya tidak membiarkan dirinya berperilaku secara destruktif. Tetapi sebaliknya, sebagai agamawan harus menunjukkan citranya sebagai pelaku kekuasaan yang memiliki kesadaran moral dan etis yang lahir dari spirit keagamaan.
Persoalan agama, tidak dapat dipisahkan dari persoalan kekuasaan dan kemasyarakatan. Kerena kekuasaan dan masyarakat merupakan bagian entitas dari agama. Dilihat dari sudut sosiologis, agama dapat berperan sebagai alat integratif. Namun dalam sementara waktu, kadang-kadang ia menjadi media disintegratif. Karena itu, formulasi agama sebaiknya dipahami sebagai kerangka nilai, bukan menjadi narasi teks ataupun simbol yang kaku dan serampangan. Sehingga kehadiran agama mampu menjadi kerangka moral menuju ketahanan dan ketenangan psikologis manusia.
Agama sebagai sumber nilai diharapkan menjadi inspirasi bagi pelaku kekuasaan untuk selalu menegakkan keadilan, keterbukaan dan kebebasan menuju cita-cita masyarakat madani. Agama menjadi kekuatan moralitas (moral force) dalam kaitannya menciptakan kekuasaan bersih (power clear), politik adi luhung (high politic), masyarakat sipil (civil society) dan budaya bernegara (civic culture).
B. Agama; Sumber Nilai
Sebagai sebuah keyakinan, agama merupakan salah satu sumber nilai yang berlaku dalam pranata kehidupan manusia. Nilai agama adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui Rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, adil, bijaksana, imam, yang diabadikan dalam wahyu (kitab suci).
Agama merupakan sumber yang pertama dan utama bagi para pemeluknya. Dari agama, mereka menyebarkan nilai-nilai untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[2] Umumnya, nilai agama sulit mengalami perubahan, namun secara ektrinsik, tidak terutup kemungkinan agama dapat dipahami dan interpretasikan sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu, selama tidak mengubah nilai-nilai intrinsiknya. Karena wahyu adalah kandungan makna yang tidak semuanya bersifat muhkan (jelas), melainkan juga ada yang bersifat mubham (belum jelas). Sehingga masih memerlukan kerja ijtihad sebagai upaya untuk menggali makna yang lebih konstektual, historis, dan konstruktif sesuai dengan semangat nilai agama dan sekaligus menjadi agent perubahan supaya lebih memiliki makna yang historis-empiris.
Di samping agama, sumber nilai juga lahir dari dalam diri manusia, yang biasanya disebut dengan nilai insani. Berbeda dengan nilai agama, nilai insani tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai seperti ini cenderung bersifat dinamis dan berubah-ubah serta kebenarannya relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Nilai insani cenderung menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Akhirnya, nilai insani lebih mengarah pada bentuk-bentuk tradisionalisme, primordialisme, sekterianisme, dan lebih-lebih sebagai penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Inilah kemudian menyebabkan adanya kontradiksi antara kepercayaan yang diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia.
Oleh karena itu, nilai yang perlu dibutuhkan untuk membangun kehidupan harus tetap bersumber pada nilai-nilai yang sungguh-sungguh merupakan suatu kebenaran universal. Namun pada kenyataanya, nilai tumbuh dan berkembang mendayung di atas nilai agama pada satu sisi, dan muncul dari tradisi-tradisi kemanusiaan pada sisi yang lain. Bertolak dari kedua sumber tersebut, agaknya kita harus memunculkan sebuah konsep konfergensi sebagai upaya untuk mengkompromikan dari kedua sumber tersebut. Sehingga hasilnya bisa diharapkan sesuai dengan keinginan manuasi pada umumnya.
Islam dalam memandang nilai, bukan langsung memberikan justifikasi baik menolak ataupun menerima. Tetapi sikap Islam dalam hal ini lebih bersifat apresiatif dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Pertama, memelihara unsur-unsur nilai atau norma yang sudah mapan dan positif. Kedua, menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan tetapi negatif. Ketiga, menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan dianggap positif. Keempat, bersifat menerima (receptive), memilih (selective), mencerna (digestive), menggabung-gabungkan dalam satu sistem (assimilative), dan menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai pada umumnya. Kelima, bersifat rekonstruktif penyucian nilai, agar sesuai dan sejalan dengan nilai agama sendiri. Dengan demikain, akan terwujud hubungan yang ideal antara nilai agama dan nilai masyarakat.[3]
Hubungan antara nilai agama dengan nilai insani harus dipadukan secara utuh, yang kemudian pada akhirnya melahirkan nilai etis-religius. Barangkali inilah konsep ideal yang bisa diharapkan menjadi landasan dalam membangun moralitas kekuasaan dan masyarakat madani. Kerena tanpa dukungan nilai etis-religius upaya untuk menegakkan moralitas kekuasaan dan masyarakat madani adalah angan-angan kosong (nihilisme) belaka. Sehingga tetap harus berdasar pada kerangka etis-religius tersebut.
C. Agama dalam Realitas Sosial
Sebagian besar kalangan Islam menyetujui pendapat H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetepi ia merupakan peradaban yang lengkap.[4] Tegasnya, dari statemen ini adalah hampir semua kelompok umat Islam sepakat dan mendukung sebuah perpaduan (integritas) antara agama dan urusan dunia merupakan satu entitas yang utuh. Sehingga antara yang profan dan sakral tidak ada perbedaan yang mencolok.
Meskipun dalam hal-hal tertentu umat Islam menolak pembatasan agama dalam arti sempit, namun --masih menurut Gibb-- suatu pembatasan dalam bidang agama, akan memberikan dampak yang positif, asalkan berangkat dari satu anggapan bahwa unsur agama dalam masyarakat sangat berhubungan erat dengan unsur-unsur lainnya. Analisa yang dikemukakan Gibb, merupakan salah satu yang menunjukkan terhadap Islam modern.
Analisa yang dijelaskan oleh Gibb tersebut sesungguhnya telah mengilustrasikan bahwa agama merupakan dasar untuk perkembangan lain dalam dunia modern. Namun yang menjadi persoalan adalah kondisi masyarakat dan kebudayaannya belum bisa dianggap seratus persen memiliki kandungan nilai agama. Lalu timbullah pertanyaan, apakah sebagian orang Islam bersikap seperti dalam kandungan ajarannya? Sebab, Islam sebagai satu peradaban yang komplit nampaknya masih merupakan cita-cita dan belum medarat menuju pada realita yang konkrit.
Seperti halnya M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia.
Pandangan yang hampir senada juga dilontarkan oleh Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat atara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial, termasuk wilayah politik. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi dan pandangan hidup (way of life). Bahkan Islam tidak akan pernah terpisah dari persoalan-persoalan politik serta kemasyarakatan.[5] Atas dasar inilah, maka kita tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia bahwa Islam telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang dihidupkan kembali.
Namun pada sisi yang lain, berkat kejayaan tersebut kemudian umat Islam kehilangan semangat dan elan vitalnya. Lebih-lebih ketika Barat mulai menyerang peradaban Timur. Sehingga seolah-olah Islam dibikin tertidur pulas, dan hanya bisa tercengan melihat kemajuan Barat. Kegagalan ini bukan berarti harus menyalahkan agama. Tetapi kesalahannya itu bisa ditelusuri mulai dari wilayah lahir sampai wilayah batin. Mulai dari sistem sosial sampai pada pemahaman umat terhadap teks ajaran agamanya. Boleh jadi, atas penelusuran tersebut ditemukan sebuah pemahaman umat terhadap agama yang mulai menurun dan kabur, sehingga hal ini mengakibatkan kehilangan orientasi dan cita-cita gerakannya.
Realitas tersebut, kemudian memberikan asumsi dasar bahwa ternyata umat Islam yang secara kuantitas besar jumlahnya, tetapi dalam tradisi peradabannya relatif sangat kecil (little tradition). Dalam wacana perpolitikan misalnya, umat Islam belum pernah tampil sebagai kekuatan yang dapat diandalkan. Kelompok Islam cenderung mengurung diri dan berkutat pada tataran teologis yang membosankan itu. Dalam pandangan Clifford Gerrtz, bahwa dalam tubuh umat Islam masih terjadi pertentangan peradaban antara Islam santri (modern), dengan Islam abangan (tradisional). Meskipun penelitian ini menunjuk pada studi kawasan. Kondisi pertentangan inilah yang kemudian membuat Islam mengalami kehilangan arah perjuangannya. Justru kadang-kadang umat Islam semakin terkotak-kotak dalam perkembangan politik selama beberapa dekade terakhir ini.
Indonesia misalnya, sejarah ini agaknya terulang terus menerus selama berkembangnya perpolitikan. Umat Islam banyak kehilangan peran strategisnya dalam percaturan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga perubahan-perubahan yang semestinya terjadi di tubuh umat Islam, malah berakibat buruk dalam kehidupannya sendiri. Resistensi demikian ini kemudian melahirkan semacam pesimistik dan bersikap ambigu yang berlarut-larut. Arah aktivitas gerakannya kurang jelas serta malah mempersempit ruang geraknya sendiri.
Karena itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid diperlukan pandangan terhadap agama yang mencapai al-hanifiat al-samhah, yakni pandangan yang tidak lagi terkotak dalam wujud komunalisme atau bentuk yang cenderung mengurung diri pada struktural tertentu. Pemahaman keagamaan semacan ini, seseorang akan dengan sendirinya terpanggil untuk berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia. Dan salah satu agenda kegiatan besar yang nampak pada tercapainya cita-cita universal itu adalah penciptaan keadilan dan kermanusiaan. Ajaran demikian, berarti menitik beratkan pada inklusifitas yang memperjuangkan agenda-agenda universal tersebut di atas.[6]

D. Relasi Agama dan Kekuasaan
Menelaah tentang agama dan kekuasaan, sebenarnya hampir sama dengan mengkaji masalah agama dan negara. Secara diametral, keduanya berbeda hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan peringatan (basyiran wa nadhira), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa (coecion). Hubungan antara kekuasaan dan agama adalah hubungan simbiosis-fungsionalism.
Agama mendorong terbentuknya kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas kekuasaan juga ikut memperkokoh jiwa keagamaan. Karena itu, tidak heran kalau tokoh dari Pakistan, Fazlur Rahman mengatakan bahwa “bila al-Quran berbicara tentang puasa hanya satu ayat saja, hampir sepertiga al-Qur’an diperuntukkan bagi pembangunan mesin kekuasaan yang efektif, demi melindungi kepentingan-kepentingan dan daerah kekuasaan.[7] Dengan ungkapan lain, agama memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya.
Dari anggapan di atas, bahwa kekuasaan sama sekali tidak lepas dari sorotan wahyu, sebagai cita-cita moral dan nilai universal. Dengan demikian, sebagian besar penulis muslim menyatakan bahwa memisahkan agama dari wawasan kekuasaan adalah tidak memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.[8]
Mengakaji hubungan agama dan kekuasaan, agaknya kita harus merujuk pada akar etimologis. Islam sebagai agama itu berarti berbicara tentang dien (agama) dan dulah (negara). Pernyataan ini hampir diikuti oleh penulis Muslim, seperti Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya Nidham al- Hukmi fii al- Islam, telah berkali-kali menegaskan bahwa Islam adalah din dan daulah. Pendapat tersebut diilhami oleh tokoh seperti J. Schact, CA. Nlimo, dan H.A.R Gibb.[9]
Kalau memang demikian, berarti agama dan kekuasaan membutuhkan “penolong” guna menyalamatkan eksistensi kedua-duanya. Di sinilah letak hubungan yang sangat sinergis dalam merefleksikan fungsinya. Tanpa ada hubungan yang sinergis, baik agama maupun kekuasaan tidak akan bisa berkembang secara dinamis. Lalu bagimanakah perjalanan antar keduanya tersebut?
Sebagai kandungan nilai, agama harus dapat dipahami sebagai prinsip kehidupan termasuk di dalamnya kekuasaan. Salah satu refleksi yang tercermin dari masyarakat agama adalah terwujudnya bentuk kekuasaan egaliter dalam berpolitik. Prinsip kekuasaan dalam perspektif agama tidak pernah mengenal perioritas kesukuan, ras, golongan apalagi keturunan. Semuanya dalam satu kesatuan di hadapan sistem kekuasaan.

E. Semangat Profetik
Dinamika perkembangan sejarah umat Islam pada masa kenabian adalah contoh yang patut diperhitungkan. Meskipun dalam beberapa hal, terkesan sangat sulit dijamah, bukan tidak mungkin kita dapat menarik dari segi moral dan semangat profetik tersebut dalam segala dimensinya.
Semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang mengada-ada. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat.[10] Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.
Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.[11]
Dari pengakuan para tokoh non-muslim sekalipun di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad telah melakukan transformasi besar-besaran terhadap tatanan kemasyarakatan. Seorang yang notabene-nya atheis, secara jujur telah memberikan sanjungan dan pengakuan historis terhadap keberhasilan Muhammad dalam melakukan konstruk budaya, mengapa kita sebagai pengikutnya tidak meneladani semangat yang telah dicontohkannya itu. Kejujuran historis kenabian tidak hanya diakui oleh umat Islam, namun juga dapat pengakuan dari non Islam.

F. Nilai Agama; Basic Tegaknya Masyarakat Madani
Sebagaimana dalam paparan pendahuluan, bahwa agama di samping sebagai sebuah keyakinan, ia juga menjadi sumber nilai. Sebagai sumber nilai, agama dapat ditempatkan menjadi kekuatan sebagai konstruk budaya dan perubahan yang pada gilirannya akan membentuk tatanan kemasyarakatan yang ideal.
Nuansa masyarakat yang tercermin dari nilai etis-religius merupakan bangunan masyarakat keadaban. Hal ini menggambarkan bahwa cita-cita dan tugas suci kenabian adalah membentuk masyarakat beradab. Tugas ini ditempuh dalam waktu berpuluh-puluh tahun lamanya. Bagi Nabi, cita-cita membentuk masyarakat adab adalah bagian integral dalam menjalankan risalah agama.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, keyakinan beragama memiliki impilikasi nilai dalam kehidupan. Nilai itu misalnya, berbuat adil, karena seperti dalam pandangan al- Qur’an, bahwa menegakkan keadilan adalah mendekati konsep taqwa. “sebagai sebuah sistem sosial yang adil merupakan kelanjutan logis saja dari keinsyafan ketuhanan”.[12]
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid memberikan elaborasi bahwa nilai agama bisa ditransformasikan ke dalam ideom-ideom politik modern, seperti pengertian adil, dalam kitab suci juga terkait erat dengan sikap seimbang dan menengahi dalam semangat moderasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan), sebagai sikap seimbang antara dua ekterminitas serta realistis dalam memahami tabiat dan kemungkinan kemanusiaan.
Secara tegas, paparan yang dikemukakan Nurcholis Madjid tersebut mengingatkan kepada kita bahwa dalam masyarakat yang majemuk (plural), sikap wasath merupakan alternatif sebagai penyelesaian problema perpolitikan dan kemasyarakatan. Karena itu, sebagai kelompok umat yang beragama, maka mereka diharapkan sebagai “mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antara kelompok”.[13]
Dengan pandangan demikian, sebagai makhluk sosial yang beriman tidaklah mungkin mendukung sistem tiranik, sebab setiap tirani bertentangan dengan pandangan hidup yang hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap terbuka kepada sesama manusia, dalam kedalaman jiwa saling menghargai. Namun tidak terlepas dari sikap kritis, adalah indikasi adaya petuntuk dari Tuhan.
Jadi, sikap kritis yang mendasari keterbukaan merupakan salah satu konsekuensi keyakinan agama, karena hal itu merupakan kelanjutan dari sikap pemutlakan yang hanya kepada Tuhan, dan penisbian kepada segala sesuatu selain Tuhan.
Konsep inilah yang oleh Nurcholis Madjid, dikatakan bahwa secara teologis, keterkaitan organik antara nilai-nilai iman dengan demokrasi kemasyarakatan adalah pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (yang sering diterjemahkannya sebagai “kehendak bersama” bahkan suatu “kontrak sosial”). Nilai–nilai keimanan mengajarkan bahwa segala hal yang menyangkut sesama manusia, diselesaikan melalui musyawarah-partisipatif (jalan kompromi), suatu proses timbal balik (reciproed) antar para pesertanya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Sehingga masyarakat beriman adalah masyarakat musyawarah, yakni sebagai media untuk menyelasaikan persoalan umat.
Sebagai msyarakat musyawarah, upaya yang harus diciptakan sebagai mendukungnya adalah membangun sistem keterbukaan (inklusifitas) di tengah-tengah kelompok sosial. Tanpa dukungan ini, masyarakat madani tidak akan memperoleh ketenangan, melainkan rasa kecurigaan, syak dan cenderung apologetik. Serta rentannya sikap sekterianisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya mungkin datang dari kelompoknya sendiri, dengan cara menolak kebenaran yang datang dari kelompok lain. Akhirnya, yang terjadi adalah kebenaran tunggal, kebenaran kelompok yang sangat parsial itu.
Melalui nilai agama, kita diajarkan untuk saling bertukar pedapat, gagasan, ide dan dengan sendirinya menghormati kemungkinan perbedaan. Dinamika keterbukaan itu juga dengan sendirinya mengundang kebebasan. Sementara logika kebebasan adalah tanggung jawab. Seorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang tersebut secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya.
Kaitannya dengan tersedianya ruang kebebasannya ini, dijelaskan oleh Bradley yang kemudian dikutip Benn dan Peter, bahwa kebebasan melibatkan beberapa persyaratan. Pertama, kelangsungan identitas perorangan. Artinya tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang yang bersangkutan. Dengan tetap komitman melaksanakan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kehidupan, yang mencerminkan kebebasan nurani.
Kedua, seseorang disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksanaan didefinisikan oleh Bradley sebagai “dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani atau ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak terkait sebagai konsekuensi kemauan makhluk itu. Dengan perkataan lain, pemaksaan adalah dihasilkannya suatu tindakan yang bententangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.
Ketiga, orang disebut bebas dan bertanggung jawab jika ia berakal. Yakni ia mengetahui keadaan khusus perkara yang dihadapi. Jika ia melakukannya karena ia tidak mengerti, maka ia tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.
Keempat, orang yang besangkutan haruslah seorang pelaku moral (moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu, seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung jawab atas tindakannya.[14]
Kendatipun kebebasan dibuka seluas-luasnya, bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai, norma ataupun budaya kemasyarakatan. Sebab, nilai kemasyarakatan harus tetap dijaga sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dengan kaidah-kaidah hukum maupun nilai-nilai budaya. Tanpa penjagaan seperti itu, maka tidak tertutup kemungkinan bisa merusak sendi-sendi bangunan kemasyarakatan.
Seperti yang dikatakan Robert N. Bellah bahwa melakukan filterisasi nilai dan budaya akan memungkinkan terbentuknya nasionalism partisipasif-egaliter.[15] Yaitu tetap menjunjung tinggi nilai dan prinsip kebebasan diharapkan terbukanya kritik dan sumbangan pemikiran dari luar. Melalui cara ini berarti meletakkan dasar-dasar hubungan dalam masyarakat benar-benar partisipasif-egaliter.

G. Penutup
Agama sebagai sumber nilai, dapat meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagai cacatan akhir dari tulisan ini perlu digaris bawahi bahwa; Pertama, agama sebagai sumber inspirasi moral dan etika kekuasaan dalam kaitannya membangun dalam kehidupan berpolitik. Kedua, agama sebagai kekuatan pembebas dari segala sikap tirani dan budaya yang membelunggu masyarakat. Ketiga, agama sebagai kerangka nilai mampu menjadi alat pengontrol kekuasaan guna menopang terbentuknya masyarakat madani.
Dengan demikian, supaya agama tidak hanya berhenti dalam bentuk vebal, maka agama dipahami sebagai kerangka nilai, sehingga diharapkan mampu memberikan kerangka moral dan cita-cita masyarakat yang ideal. Dari ketiga cacatan di atas bahwa agama menginginkan terbentuknya moralitas kekuasaan dan masyarakat madani. Adapun nilai itu misalnya, keadilan, kebenaran universal, persaudaraan dan hubungan yang dialogis dalam tata kehidupan yang kompleks dan majemuk.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, et al., 1999, Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru, Yogyakarta: Aditya Media.
Baso, Ahmad, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah.
Gellener, Ernest, 1981, Muslim Society, Combridge University Press.
Hidayat, Komaruddin, 1998., Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, Jakarta: Paramadina
Madjid, Nurcholish, 1999., Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina.
-----------, 1998, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta, Paramadina.
Ma’arif, M., Syafi’i, 1996, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta; Gema Insani Press.
Malik, Dedy Jamaluddin & Idy Subandy, 1998, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik, Bandung; Zaman Wacana Mulia
Saifuddin, Endang, 1982, Agama dan Kebudayaan, Surabaya; Bina Ilmu.
Soelaeman M.I, 1988, Manusia-Religi Pendidikan, Jakarta: Dirjen PTPPLPTK.
Gibb, Whither Islam, London, 1932
Natsir, M. 1954. Capita Selecta, Jakarta: Bulan bintang.

[1] Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, Paramadina, Jakarta: 1998. hal. 9.
[2] Soelaeman M.I, Manusia-Religi Pendidikan, Dirjen PTPPLPTK, Jakarta, 1988, hal. 161.
[3] Saifuddin, Endang, Agama dan Kebudayaan, Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hal. 73.
[4] Gibb, Whither Islam, London, 1932. hal. 12. seperti yang dikutip M. Natsir, Capita Selecta, I., hal. 3 & 102.
[5] Gellener, Ernest, Muslim Society, Combridge Uviversity Press, 1981, h. 1.
[6] Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta, Paramadina, 1998, h. xlv-xlvi
[7] Rahman, Fazlur, dalam John J. Donohue and John Elposito (eds), Islam in Transition: Muslim Perspective, Oxford University Press, New York, Oxford, 1982, h. 268
[8] Maarif, M., Syafi’i, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insani Press, Jakarta, 1996, h. 181.
[9] Ibid., h.182.
[10] Hidayat, Op. Cit., h. 100.
[11] Ibid., h. 101.
[12] Rahman, Budi Munawar, dalam Pengantar Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999, h. xxx.
[13] Malik, Dedy Jamaluddin & Idy Subandy, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik, Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998, h. 220.
[14]. Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 118-119.
[15] Ibid., h. xxiii.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar