Mujtahid*
KOMITMEN pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan agaknya dapat dibilang serius. Di saat kondisi bangsa yang masih menghadapi krisis multidimensional seperti sekarang ini, konsistensi pemerintah tetap berupaya untuk melakukan pembenahan (improvisasi) terhadap sistem pendidikan nasional. Salah satu upaya itu adalah pemerintah memberikan peluang selebar-lebarnya bagi institusi sekolah untuk mengembangkan sikap otonomnya dan memperkokoh basis manajemennya.
Sampai saat ini, permasalahan umum yang menjadi kendala utama bagi penyelenggaraan sekolah adalah persoalan manajemen. Sehingga persoalan ini termasuk bagian dari masalah yang peka dan rawan. Karena itu, muncullah sebuah pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberikan keluasan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Gagasan tersebut pada akhirnya disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based management (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika.
Menurut E. Mulyasa (2003), bahwa MBS adalah paradigma baru pengembangan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat sekitarnya dengan tekanan pada peningkatan mutu terpadu atau total quality management (TQM). Untuk kepentingan tersebut, MBS merupakan kebijakan strategis dalam implementasi pendidikan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah, serta ditindaklanjuti oleh setiap tingkatan manajemen diatasnya sampai tingkat pusat.
Dalam manajemen pendidikan modern, disadari ataupun tidak, hakikat segala sesuatu yang tergelar di dunia ini perlu diatur. Pengaturan dimaksud mengarah kepada usaha kelancaran, keteraturan, kedinamisan dan ketertiban suatu usaha sehingga berjalan secara efektif dan efesien. Charles A. Beard, pernah berkata (seperti yang dikutip oleh Albert Lepawzley dalam bukunya “Administration”-dikutip kembali Siagian) bahwa “tidak ada satu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi atau manajemen.”
Dengan demikian, mendalami tentang manajemen sekolah secara luas diharapkan terdapat keluasan horizon pemahaman terhadap aktivitas di dalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa manajemen pendidikan modern mendudukkan faktor manusia dalam puncak hierarkhi, sehingga menjadi faktor yang menentukan. Sejarah manusia dalam berorganisasi menunjukkan bahwa tiadanya peran manusia akan menghancurkan sistem manajemen atau administrasi. Manusialah yang membuat policy, melaksanakan, menata, mengkoordinasikan dan mengevaluasi segala aktivitas pendidikan.
Dalam manajemen pendidikan modern, terutama yang dikembangkan di negara-negara modern (Barat), sejak lama telah menerapkan sistem pendidikan berbasis sekolah (school-based management). Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali dan mengalokasikan, menentukan perioritas, mengendalikan serta mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat (publik) maupun pemerintah.
Kewenangan yang tertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan, di antaranya; kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, guru, dan orangtua, bertujuan memanfaatkan sumber daya lokal, efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.
Tujuan berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro.
Dalam manajemen berbasis sekolah, pemerintah menjamin bahwa semua unsur-unsur pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Mereka (sekolah) tidak perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi, tentang pengembangan mutu berbasis sekolah dan berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan tentang aspek-aspek yang terkait.
Dengan demikian, uraian uraian di atas dapat menjadi bahan renungan bagi praktisi pendidikan dalam rangka mengembangkan manajemen sekolah yang inovatif, dinamis, dan kreatif. Sekali lagi, kemajuan dan keunggulan sekolah setidak-tidaknya dapat dipandang dari sudut manajemennya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Minggu, 28 Februari 2010
Sabtu, 27 Februari 2010
Perkembangan Pendidikan Islam dikesankan Lamban
Mujtahid*
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam memang dinilai tidak sepesat kemajuan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Keterlambatan ini, antara lain disebabkan karena kurangnya apresiasi dan kajian penelitian yang memadahi dikalangan pemikir Islam. Kurangnya apresiasi dan penelitian bukanlah disebabkan terbatasnya bahan atau objek studi, melainkan disebabkan oleh adanya perhatian yang cenderung berlebihan terhadap kajian dan konsentrasi ilmu-ilmu keislaman lainnya, misalnya ilmu tafsir, ilmu kalam, fiqh, filsafat Islam, tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa naluri pemikiran keislaman cenderung mengangkat seputar masalah yang mengundang kontroversi. Pasca kenabian umat Islam banyak disibukkan bagaimana melakukan ekspansi kedaerah-daerah sekitar, tapi tak banyak dari mereka yang memperhatikan bagaimana menumbuhkan proses pendidikan bagi komunitas Islam. Selain itu, sejak munculnya paham-paham teologi atau kalam, mazhab-mazhab fiqh, tarekat-terekat dalam tasawuf, hampir dapat dirasakan kelumpuhan yang luar biasa terhadap dinamika pendidikan Islam.
Padahal, sesungguhnya proses pendidikan Islam adalah kegiatan yang paling pertama di lakukan umat Islam. Sejak Nabi masih hidup sampai sesudah akhir hayatnya ia berpesan bahwa kegiatan pendidikan Islam harus tetap berjalan. Hanya saja, perhatian umat Islam lebih banyak terkuras untuk merespon tentang masalah-masalah yang bersifat aqidah, ubudiyah, fiqh dan sebagian juga ada memperbincangkan tarekat sufi. Hal ini jelas sekali ketika meletusnya skisme (perpecahan) dikalangan umat Islam, dinamika pemikiran bercondong ke arah yang bersifat reaktif.
Secara ilmiah, argumrntasi seperti ini bisa kita temukan alasannya yang kokoh bahwa betapa banyak hasil (karya) penelitian yang mengangkat tentang persoalan-persoalan “krusial” yang telah disebutkan di atas. Sementara objek kajian/penelitian pendidikan Islam masih dipandang sebelah mata. Artinya, respon dikalangan ilmuan Muslim menunjukkan sebuah ekspresi yang kurang menggemberikan. Dengan perhatian yang kurang tersebut, secara tidak langsung berpengaruh terhadap kelangsungan dan perkembangan dunia pendidikan Islam.
Upaya Mengatasi Kelambanan
Bertolak dari fenomena di atas, upaya untuk mengatasi kelambanan terhadap perkembangan pendidikan Islam adalah menanamkan semangat dan keberanian dalam melakukan kajian dan penelitian terhadap sistem pendidikan Islam baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat empirik. Hal ini penting, untuk mempercepat perkembangan sistem pendidikan Islam yang selama ini terabaikan. Selain itu, tuntutan dan perkembangan pendidikan Islam akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Kajian-kajian mengenai pendidikan Islam harus mengangkat isu-isu problematika mutakhir yang relevan dengan tuntutan zaman, serta tak kalan pentingnya harus berusaha menampilkan sebuah gagasan baru yang mampu mengubah persepsi yang negatif itu. Kajian dan penelitian dapat menyangkut seluruh bangunan pemikiran pendidikan.
Pengembangan sistem pendidikan juga harus bersikap inklusif, terbuka dan apresiatif terhadap berbagai macam pemikiran pendidikan. Hal ini penting supaya pendidikan Islam tidak terjebak pada ekstriminitas, atau suatu sikap yang cenderung ekslusif serta kurang ideal. Bila perlu, pengkajian terhadap sistem pendidikan Islam harus dikembangkan dengan pemikiran filosofis, dan menggunakan teori ilmu pendidikan, serta memiliki daya kontekstual. Artinya, pengkajian ini merupakan refleksi perenungan yang menelusuri relung-relung kekurangan yang terdapat pada sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, sikap rekonstruksi harus menjadi kultur pemikiran yang berarti menuntuk keberanian mengubah pola-pola pemikiran lama (tradisionalis, konservatif, regresif dan sejenisnya) dengan pola-pola pemikiran baru (kontekstual, progresif, kreatif, modern dan sejenisnya) secara dinamis.
Selama ini, pola sistem pendidikan Islam biasanya lebih terjerumus pada kajian yang bersifat normatif-teologis an sich. Meski hal ini penting, tetapi tidak menuntut kemungkinan ada kajian lain yang jauh penting. Menurut penulis, di antara kajian sangat penting itu adalah suatu pendekatan multidisipliner yang masuk dalam kerangka pemikiran pendidikan, misalnya; pendekatan filosofis, psikologis, sosiologis, historis, kultural, ekonomi harus menjadi bidang garap yang perioritas. Sebab, fenomena yang terjadi dilapangan praksis, sudah tidak dirahasiakan lagi bahwa pendidikan Islam banyak dijauhi dari publik. Kemungkinan sebabnya adalah kurang adanya relevansi dengan pendekatan-pendekatan tersebut.
Karena itu, menurut penulis sebuah upaya yang sangat efektif untuk mengatasi keterlambanan itu adalah melakukan rekayasa melalui studi-studi penelitian, pengkajian terhadap sistem pendidikan Islam dengan menggunakan pendekatan multidispliner yang ditawarkan di atas. Pengkajian seperti ini, dapat dimulai dari sisi pola managerial, kurikulum, metodologis, sampai pada penciptaan sarana dan suasana kondusif bagi tumbuhnya proses sistem pendidikan Islam.
Menurut penulis, salah satu penggalian dan pengkajian dapat dilakukan melalui penelitian terhadap warisan khazanah pemikiran yang pernah dibangun sembelumnya, dengan catatan dikaji secara kontekstual dan uji falsifikasi. Serta tak kalah pentingnya, pengkajian tersebut harus diselaraskan dengan tuntutan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan perubahan-perubahan sosial yang ada.
Di samping solusi tersebut, perlu adanya pemberdayaan (empowerment) mencakup seluruh aspek yang ada dalam sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan itu misalnya dari segi pola managerialnya, pola komunikatif antara atasan dan bawahan, penyaluran idealisme, aspirasi, kemampuan dedikasi, dan kreatifitas. Perberdayaan membutuhkan partisipasi aktif (involment) dari subjek yang ada dalam sistem pendidikan Islam.
*Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam memang dinilai tidak sepesat kemajuan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Keterlambatan ini, antara lain disebabkan karena kurangnya apresiasi dan kajian penelitian yang memadahi dikalangan pemikir Islam. Kurangnya apresiasi dan penelitian bukanlah disebabkan terbatasnya bahan atau objek studi, melainkan disebabkan oleh adanya perhatian yang cenderung berlebihan terhadap kajian dan konsentrasi ilmu-ilmu keislaman lainnya, misalnya ilmu tafsir, ilmu kalam, fiqh, filsafat Islam, tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa naluri pemikiran keislaman cenderung mengangkat seputar masalah yang mengundang kontroversi. Pasca kenabian umat Islam banyak disibukkan bagaimana melakukan ekspansi kedaerah-daerah sekitar, tapi tak banyak dari mereka yang memperhatikan bagaimana menumbuhkan proses pendidikan bagi komunitas Islam. Selain itu, sejak munculnya paham-paham teologi atau kalam, mazhab-mazhab fiqh, tarekat-terekat dalam tasawuf, hampir dapat dirasakan kelumpuhan yang luar biasa terhadap dinamika pendidikan Islam.
Padahal, sesungguhnya proses pendidikan Islam adalah kegiatan yang paling pertama di lakukan umat Islam. Sejak Nabi masih hidup sampai sesudah akhir hayatnya ia berpesan bahwa kegiatan pendidikan Islam harus tetap berjalan. Hanya saja, perhatian umat Islam lebih banyak terkuras untuk merespon tentang masalah-masalah yang bersifat aqidah, ubudiyah, fiqh dan sebagian juga ada memperbincangkan tarekat sufi. Hal ini jelas sekali ketika meletusnya skisme (perpecahan) dikalangan umat Islam, dinamika pemikiran bercondong ke arah yang bersifat reaktif.
Secara ilmiah, argumrntasi seperti ini bisa kita temukan alasannya yang kokoh bahwa betapa banyak hasil (karya) penelitian yang mengangkat tentang persoalan-persoalan “krusial” yang telah disebutkan di atas. Sementara objek kajian/penelitian pendidikan Islam masih dipandang sebelah mata. Artinya, respon dikalangan ilmuan Muslim menunjukkan sebuah ekspresi yang kurang menggemberikan. Dengan perhatian yang kurang tersebut, secara tidak langsung berpengaruh terhadap kelangsungan dan perkembangan dunia pendidikan Islam.
Upaya Mengatasi Kelambanan
Bertolak dari fenomena di atas, upaya untuk mengatasi kelambanan terhadap perkembangan pendidikan Islam adalah menanamkan semangat dan keberanian dalam melakukan kajian dan penelitian terhadap sistem pendidikan Islam baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat empirik. Hal ini penting, untuk mempercepat perkembangan sistem pendidikan Islam yang selama ini terabaikan. Selain itu, tuntutan dan perkembangan pendidikan Islam akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Kajian-kajian mengenai pendidikan Islam harus mengangkat isu-isu problematika mutakhir yang relevan dengan tuntutan zaman, serta tak kalan pentingnya harus berusaha menampilkan sebuah gagasan baru yang mampu mengubah persepsi yang negatif itu. Kajian dan penelitian dapat menyangkut seluruh bangunan pemikiran pendidikan.
Pengembangan sistem pendidikan juga harus bersikap inklusif, terbuka dan apresiatif terhadap berbagai macam pemikiran pendidikan. Hal ini penting supaya pendidikan Islam tidak terjebak pada ekstriminitas, atau suatu sikap yang cenderung ekslusif serta kurang ideal. Bila perlu, pengkajian terhadap sistem pendidikan Islam harus dikembangkan dengan pemikiran filosofis, dan menggunakan teori ilmu pendidikan, serta memiliki daya kontekstual. Artinya, pengkajian ini merupakan refleksi perenungan yang menelusuri relung-relung kekurangan yang terdapat pada sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, sikap rekonstruksi harus menjadi kultur pemikiran yang berarti menuntuk keberanian mengubah pola-pola pemikiran lama (tradisionalis, konservatif, regresif dan sejenisnya) dengan pola-pola pemikiran baru (kontekstual, progresif, kreatif, modern dan sejenisnya) secara dinamis.
Selama ini, pola sistem pendidikan Islam biasanya lebih terjerumus pada kajian yang bersifat normatif-teologis an sich. Meski hal ini penting, tetapi tidak menuntut kemungkinan ada kajian lain yang jauh penting. Menurut penulis, di antara kajian sangat penting itu adalah suatu pendekatan multidisipliner yang masuk dalam kerangka pemikiran pendidikan, misalnya; pendekatan filosofis, psikologis, sosiologis, historis, kultural, ekonomi harus menjadi bidang garap yang perioritas. Sebab, fenomena yang terjadi dilapangan praksis, sudah tidak dirahasiakan lagi bahwa pendidikan Islam banyak dijauhi dari publik. Kemungkinan sebabnya adalah kurang adanya relevansi dengan pendekatan-pendekatan tersebut.
Karena itu, menurut penulis sebuah upaya yang sangat efektif untuk mengatasi keterlambanan itu adalah melakukan rekayasa melalui studi-studi penelitian, pengkajian terhadap sistem pendidikan Islam dengan menggunakan pendekatan multidispliner yang ditawarkan di atas. Pengkajian seperti ini, dapat dimulai dari sisi pola managerial, kurikulum, metodologis, sampai pada penciptaan sarana dan suasana kondusif bagi tumbuhnya proses sistem pendidikan Islam.
Menurut penulis, salah satu penggalian dan pengkajian dapat dilakukan melalui penelitian terhadap warisan khazanah pemikiran yang pernah dibangun sembelumnya, dengan catatan dikaji secara kontekstual dan uji falsifikasi. Serta tak kalah pentingnya, pengkajian tersebut harus diselaraskan dengan tuntutan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan perubahan-perubahan sosial yang ada.
Di samping solusi tersebut, perlu adanya pemberdayaan (empowerment) mencakup seluruh aspek yang ada dalam sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan itu misalnya dari segi pola managerialnya, pola komunikatif antara atasan dan bawahan, penyaluran idealisme, aspirasi, kemampuan dedikasi, dan kreatifitas. Perberdayaan membutuhkan partisipasi aktif (involment) dari subjek yang ada dalam sistem pendidikan Islam.
*Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Jumat, 26 Februari 2010
Reimprovisasi Kurikulum PAI
Mujtahid
Pendahuluan
Pembenahan kurikulum (curriculum improvement) merupakan keharusan yang esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan. Seiring dengan orientasi perubahan kebijakan pendidikan nasional, khususnya masalah kurikulum, improvisasi harusnya perlu mendapat respons yang positif dari berbagai kalangan, baik praktisi maupun konseptor pendidikan.
Ralph W Tyler yang dianggap sebagai pencetus pengembangan kurikulum menjelaskan akan pentingnya memikirkan hal-hal fondamental apakah yang harus dibenahi dalam kurikulum. Untuk sampai pada tataran operasional, Tyler menyampaikan empat pertanyaan yang harus dijawab agar proses pembenahan kurikulum itu dapat melahirkan rumusan yang berkualitas dan bermanfaat. Pertanyaan itu mencakup empat hal, yaitu (1) Tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah? (2) Pengalaman pendidikan apakah yang dapat diberikan agar tujuan tersebut tercapai? (3) Bagaimana pengalaman tersebut dapat diorganisasikan secara efektif? (4) bagaimana menetapkan menentukan apakah tujuan tersebut telah dicapai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah landasan untuk membenahi mutu kurikulum yang menjanjikan masa depan anak didik. Selama ini kurikulum yang telah kita gunakan barangkali sudah bagus, akan tetapi sasaran, orientasi dan strateginya yang keliru. Sehingga mutu pembelajaran tidak banyak melahirkan nuansa pengalaman empiris terhadap peserta didik di luar sekolah.
Tantangan inilah yang harus dibenahi agar dinamika pendidikan masa mendatang mengalami kemajuan dan perubahan berarti. Upaya pemerintah dalam memberikan perhatian secara moril dan materiil tidaklah cukup bila para pelaku atau praktisi pendidikan tidak sadar diri untuk ikut membenahi kekurangan-kekurangan yang tanpak dihadapinya.
Pembahasan makalah ini akan memfokuskan pada dua hal, yaitu (1) pendekatan-pendekatan apakah yang harus digunakan untuk menerapkan kurikulum PAI di Sekolah Dasar dan Menengah? (2) Bagaimana kreatifitas guru dalam menerapkan kurikulum PAI di Sekolah Dasar dan Menengah? Dengan dua fokus masalah tersebut penulis ingin menyumbangkan gagasan/ide-ide yang semoga relevan dengan kondisi sekolah masing-masing.
Orientasi dari pembahasan ini lebih bersifat eksploratif atas pengalaman (experience) sebagai seorang pendidik yang sekian lama bergelut dengan pembelajaran di sekolah. Pendidik merupakan aktor utama pendidikan dan sekaligus pelaksana kurikulum. Sudah saatnya para pendidik kini berani memunculkan inovasi dan kreasi yang berdasarkan pengalaman pribadi dan didukung dengan ketajamannya dalam melihat persoalan-persoalan di sekolah.
Konsep dan Fungsi Kurikulum
a. Konsep Kurikulum
Dalam berbagai sumber referensi disebutkan bahwa defenisi kurikulum memiliki ragam pengertian. Tetapi, ada sebuah kata kunci bahwa kurikulum yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang sangat erat berkaitan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.[1]
Nurgiyantoro menggarisbawahi bahwa relasi antara pendidikan dan kurikulum adalah relasi tujuan dan isi pendidikan.[2] Karena ada tujuan, maka harus ada alat, sarana untuk mencapainya, dan cara untuk menempuh adalah kurikulum.
Awal sejarahnya, istilah kurikulum biasa dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berari penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh.[3]
Istilah tersebut di atas mengalami perpindahan arti ke dunia pendidikan Sebagai contoh, Nasution mengemukakan bahwa pengertian kurikulum yang sebagaimana tercantum dalam Webter’s Internaional Dictionary; Curriculum: course; a specified fixed course of study , as in a scholl or college, as one leading to a degree.[4]
Dalam kamus tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu pertama sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau Perguruan Tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua, sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.[5]
Kini, kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Di samping itu, kurikulum juga diartikan sebagai rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
Menurut Alice Miel, seperti yang dikutip Nurgiyantoro, menyarikan bahwa kurikulum itu meliputi keadaan sekolah, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan, kecakapan dan sikap orang-orang yang melayani dan dilayani sekolah yaitu anak didik, masyarakat dan para pendidik (pengelola pendidikan). Dengan demikian, pandangan ini mengatakan bahwa kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh sekolah untuk siswa.[6]
Adapun Ahmad Tafsir menguraikan bahwa kurikulum mengandung empat komponen, yaitu tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar, dan evaluasi. Setiap komponen dalam kurikulum tersebut sebenarnya saling terkait, bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kurikulum tersebut.
Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Tujuan itu mula-mula bersifat umum. Dalam operasinya tujuan tersebut harus dibagi menjadi bagian-bagian yang kecil atau khusus.
Komponen isi (materi) dalam proses belajar mengajar harus sesuatu yang relevan dengan tujuan pengajaran. Materi meliputi apa saja yang yang berhubungan dengan tujuan pengajaran.
Komponen proses belajar mengajar melibatkan dua subyek pendidikan, yaitu peserta didik dan guru. Selain itu, proses belajar mengajar juga perlu dibantu dengan media atau sarana lain yang memungkinkan proses tersebut berjalan efektif dan efesien. Pemilihan atau penggunaan metode harus sesuai dengan kondisi serta berjalan secara fleksibelitas. Artinya, metode atau pendekatan dapat berubah-ubah setiap saat agar interaksi proses belajar mengajar tidak monoton dan menjenuhkan.
Komponen evaluasi yaitu untuk mengetahui dari hasil capaian ketiga komponen sebelumnya. Penilaian dapat digunakan untuk menentukan strategi perbaikan pengajaran. Selain itu, komponen evalusi sangat berguna bagi semua pihak untuk melihat sejauhmana keberhasilan interaksi edukatif.[7]
Dari rumusan keempat komponen tersebut, penulis memahami bahwa kurikulum bukan sekedar kumpulan materi saja, atau juga bukan rencana atau rancangan pengajaran, tetapi kurikulum murupakan bagian keseluruhan yang berhubungan dengan interaksi pembelajarn di sekolah. Berikutnya, untuk memahami lebih mendalam, penulis kemukakan di bawah ini tentang fungsi kurikulum.
b. Fungsi Kurikulum
Kurikulum resmi sebenarnya merupakan sesuatu yang diidentifikasikan atau dicita-citakan, karena kurikulum memiliki fungsi yang sangat vital bagi pembentukan ketrampilan, karakter manusia. Menurut Alexander Inglish, seperti yang dikutip oleh Wiryokusumo, bahwa kurikulum itu fungsinya adalah penyesuaian, pengintegrasian, deferensiasi, persiapan, pemilihan dan diagnostik.[8]
Sementara menurut Nurgiyantoro, bahwa kurukulum mempunyai fungsi tiga hal. Pertama, fungsi kurikulum bagi sekolah. Fungsi ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan. Tujuan yang diinginkan mulai dari tujuan nasional sampai instruksional dan kurikulum dijadikan pedoman unuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Misalnya, macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan, metode pengajaran, media pengajaran, serta termasuk srategi pelaksanaannya baik yang fisik maupun non fisik.
Kedua, kurikulum dapat mengontrol dan memelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Sehingga tidak terjadi pengulangan kegiatan pengajaran sebelumnya. Fungsi lain adalah kurikulum juga dapat menyiapkan tenaga pengajar, dengan cara mengetahui kurikulum pada tingkat dibawahnya. Misalnya, mahasiswa harus mengerti kurikulum SMTA dan SMTP.
Ketiga, kurikulum dimaksudkan untuk menyiapkan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja. Sehingga kurikulum mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat. Karena itu, lulusan sekolah paling tidak dapat memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan (vokasional) di satu sisi, dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya (akademis) di sisi lain.[9]
Masih mengenai fungsi kurikulum, pendapat yang hampir senada dengan Nurgiatoro juga diungkapkan oleh Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto. Mereka menambahkan, selain apa yang telah dijelaskan Nurgiyantoro, bahwa fungsi kurikulum itu sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan (belajar-mengajar) pada suatu sekolah.[10] Sebagai alat atau sarana yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum suatu sekolah berisi uraian tentang jenis-jenis program apa yang diselenggarakan di sekolah tersebut. Hal ini berarti bahwa fungsi kurikulum menyangkut setiap jenis program, pengoperasional atau pelaku yang bertanggungjawab, serta media atau fasilitas yang mendukungnya.
Kurikulum Pendidikan Islam PAI
a. Mengenal Kurikulum PAI
Dengan mengacu pada pengertian sebelumnya, bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi/pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran Islam.
Sesuai dengan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2 ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar.[11] Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi rohani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata “PAI” atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia. Secara umum mengenai hal tersebut dapat penulis jelaskan dengan singkat.
b. Tujuan
Rumusan tujuan berkenaan dengan apa yang hendak dicapai. Menurut Muhammad Munir, seperti yang dikutip Abdul Majid,[12] menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
1. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu (QS. 5:3). Di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
2. Tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah “Di antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirah dan peliharalah kami dari api neraka”.
3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti yang termaktup dalam Firman-Nya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku”.
c. Metode
Proses belajar mengajar akan efektif bila ditopang dengan metode yang canggih. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa: “Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi” (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa metode yang diperankan guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dari interaksi belajar-mengajar.
Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk meciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Dalam hal ini, guru berperan sebagai penggerak, fasilitator, pembimbing dan seterusnya. Sementara siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing.
Dari literatur pendidikan Barat, seperti yang dikemukakan Ahmad tafsir, bahwa metode pendidikan Islam banyak berangkat dari sumber referensi tersebut. Misalnya dapat ditemukan metode sebagai berikut anatara lain; metode ceramah, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, bermain, resitasi dan lain-lain. Namun, dalam teknis pembelajaran tidak semua metode itu berlaku, atau sebaliknya semua berku dengan cara penggabungan satu metode dengan metode lainnya.[13]
Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Ghafur Muhaimin, dkk., bahwa metode yang digunakan pendidikan agama (Islam) tak jauh berbeda dengan metode yang digunakan pendidikan umum. Memang, hampir tak jauh beda antara keduanya, bahwa proses pendidikan apa pun namanya, kerangka atau aspek domainya yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hanya saja, pendidikan PAI harus berorientasi pada “penyadaran” dalam ketiga aspek di atas. Ketiga aspek tersebut, dalam pembelajaran pendidikan PAI , tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Atas dasar inilah, menurut A. Malik Fadjar, bahwa pendidikan agama Islam adalah proses pendidikan yang mampu menggugah kesadaran peserta didik untuk menjadi pribadi muslim sejati.[14]
Metode yang perlu digukanan, menurut A. Malik Fadjar, haruslah memilihi dua landasan. Pertama, landasan motivasional. Yaitu pemupukan sifat indifidu peserta didik untuk menerima ajaran agamanya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, landasan moral. Yaitu tertanamnya kegamaan peserta didik sehingga perbauatannya selalu diacu oleh isi, jiwa dan semangat akhlak karimah. Selain itu, agar tersususunnya tata nilai (value system) dalam peserta didik yang bersumber dari ajaran yang otentik, sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan.[15]
d. Materi
Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran pokok Islam adalah meliputi masalah aqidah (keimanan), syari’ah (keislaman), dan akhlak (ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan akhlak. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak.
Ketiga kelompok di atas, kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu al-qur’an dan hadits dan ditambah dengan sejarah (tarikh) Islam. Kerangka materi ini akahirnya disederhanakan sesuai dengan tingkatan peserta didik. Selain itu, ditambah ‘materi alat’ seperti bahsa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, saraf, dan balaghah untuk membaca dan memahami kandungan isi kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Manurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip Ahmad tafsir, mengemukakan bahwa merumuskan kurikulum atau materi pendidikan Islam harus mempertimbangkan 5 (lima) prinsip. Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik rohani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran aqidah (keyakinan).
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup, yaitu ilmu fiqh dan akhlak. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung kelezatan ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui.
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas. Kelima, mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu lainnya.[16]
e. Evaluasi
Untuk menentukan hasil atau proses dari sebuah kegiatan dan aktifitas memerlukan apa yang disebut dengan evaluasi. Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataanya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa. Menurut Stufflebeam, seperti yang dikutip Suke Silverius, menyatakan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.[17]
Menurut Wayan Nurkancana & Sumartana, evaluasi ialah suatau tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya.[18]
Evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana, bahwa evalusi berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
b. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya.
c. Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secera keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran.
d. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut.
e. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi untuk menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan hasil evalusi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
f. Untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
g. Untuk menafsirkan apakah peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.[19]
Hasil evaluasi mempunyai makna bagi berbagai pihak. Evaluasi bermakna bagi semua komponen proses pengajaran terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Dari hasil evaluasi ini sangat menentukan langkah serat kebijakan yang akan direncakan berikutnya.
f. Karakteristik Kurikulum PAI
Tiap jenis kurikulum mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi, seperti yang dikutip Abdul Majid,[20] menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagai mana diisyaratkan hadits qudsi sebegai berikut: “hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkan mereka”
b. Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, bauk dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal, maupun sosial.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
d. Memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang ralistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
e. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan manusia.
f. Rancangan kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin masyarakat.
g. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
h. Kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai ole peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang islami, etis dan anggun.
Sedangkan menurut Syaibani, seperti yang dikuti Muhaimin dan Abd Mujib, menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.[21]
Prinsip dan Orientasi Kurikulum PAI
a. Prinsip Kurikulum PAI
Dalam usaha untuk mengefektifkan impelementasi kurikulum pendidikan Agama Islam, perlu ada sebuah prinsip tertentu agar kurikulum tersebut berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh semua pihak, yaitu sekolah itu sendiri, peserta didik, orangtua, dan masyarakat, serta komunitas yang lebih besar lagi. Prinsip dasar yang harus diperhatikan antara lain:
Pertama, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersususun sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khlifah Allah.[22]
Kedua, prinsip Relevansi, yaitu sebuah kesesuaian atau keselarasan pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan dipandang relevan, apabila proses dan hasil yang diperoleh dapat berguna dan fungsional bagi kehidupan peserta didik. Relevansi tersebut sekurang-kurangnya ada tiga hal, yakni relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevansi dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa depan, serta relevansi dengan tuntutan dalam pekerjaan.[23] Dalam konteks Islam, kurikulum tersebut memiliki muatan “rahmatan lil ‘alamin”.
Ketiga, prinsip efesiensi. Sebuah usaha untuk mengelola kegiatan kurikulum agar dapat mendayagunakan tenaga, biaya dan sumber-sumber lain secara cermat dan tepat, sehingga hasilnya memadahi dan memenuhi harapan.
Keempat, prinsip Efektifitas. Setiap kegiatan pasti berhubungan dengan masalah sejauhmana hal-hal yang direncanakan dapat terlaksana secara tepat waktu serta sesuai dengan harapan atau rencana awal.[24] Jadi prinsip ini menginginkan adanya hasil yang maksimal tanpa pemborosan yang sifatnya mubadzir.
Kelima, prinsip fleksibelitas. Implikasi dari prinsin ini adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanpa mengubah tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak saja dilihat dari faktor saja, melainkan juga berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperoleh), metode-metode belajar mengajar yang digunakan, fasilitas-fasilitas yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya.[25] Soetopo dan Wasty menambahkan bahwa prinsip fleksibilitas di sini dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan kesempatan guru untuk mengembangkan sendiri program-program pengajan dengan berpegang teguh pada tujuan dan bahan pengajaran di dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum.[26]
Keenam, prinsip kesinambungan. Istilah kesinambungan dimaksudkan adanya hubungan yang saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan, terutama mengenai bahan pengajaran. Pada tiap tingkat sekolah hingga perguruan tinggi, masing-masing satu dengan yang lain mempunyai hubungan secara hirarkis fungsional. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum hubungan fungsional hirakis tersebut harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan penyusunan program pengajaran.hal itu juga mengingat bahwa tiap lulusan sekolah pada tinggat tertentu, di samping dibekali dengan ketrampilan-ketrampilan untuk terjun praktek di masyarakat, juga dipersiapkan untuk memasuki pendidikan ke jenjang selanjutnya.[27] Intinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal (penjenjangan, tahapan) maupun secara horizontal.
Ketujuh, prinsip objektifitas. Implikasi prinsip ini yaitu adanya kurikulum yang dilakukan melalui tuntunan kebenaran ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emasi dan irasional.
Kedelapan, prinsip integritas. Yaitu upaya agar kurikulum tersebut mampu menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang bisa mengintegrasikan antar fakultas dzikir dan fakultas fikir, serta manusia yang dapat menyeleraskan struktur kehidupan dunia dan struktur kehidupan akhirat. Di sampaing itu, pengupayaan kurikulum tersebut mencetak peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’an dan ilmu-ilmu kauni yang bertujuan mencari rida Allah. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen-komponen kurikulum, tanpa adanya pemenggalan satu sama lainnya.
Kesembilan, prinsip belajar seumur hidup. Yaitu adanya kesadaran dan kemauan setiap manusia untuk selalu membuka diri, mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar tidak harus hanya terikat dalam konteks sekolah atau yang formal saja, melainkan sebuah proses belajar sepanjang hayat dimana pun berada. [28]Prinsip belajar seumur hidup mengandung makna bahwa sekolah bagi anak bukanlah satu-satunya masa untuk belajar. Namun, di luar itu siswa dapat senantiasa belajar secara terus menerus sepanjang hayat. Dengan prinsip ini diharapkan siswa memiliki kecakapan hidup yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zamannya.
b. Orientasi Kurikulum PAI
Sesuai dengan perubahan kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, kurikulum PAI berorientasi pada pencapaian hasil belajar yang berkualitas. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani, bahwa orientasi kurikulum PAI tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya yaitu: 1) aspek tujuan; lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, berupa pengetahuan agama Islam dengan memperhatikan keragaman potensi rohani agar dapat memaksimalkan kompetensi religiusnya.
2) Aspek isi; menekankan pada hal-hal yang bersifat tematik dan menggali sumber-sumber belajar yang bersifat kenyataan di lingkungan siswa. Materi disusun secara sistematis, mudah dipahami, dan terhindar dari pengulangan materi atau tumpang tindih.
3) Aspek tujuan; mentransmisikan nilai-nilai agama Islam ke dalam bentuk kompetensi secara utuh. Kurikulum bertujuan membekali peserta didik memiliki kesadaran baik secara normatif maupun historis empiris.
4) Aspek guru; tenaga pendidik lebih berperan sebagai fasilitator (guru tidak dominan) dan memanfaatkan banyak sumber belajar serta mengadakan kerjasama yang terpadu dengan lingkungan sekitarnya.
5) Aspek siswa; peserta didik lebih ditempatkan sebagai subjek, berperan aktif menggali potensi rohaninya sendiri untuk lebih menyadari fungsi dan kedudukannya sebagai muslim.
6) Aspek penilaian; kegiatan pembelajaran dinilai secara komprehensif, tidak hanya pada satu aspek saja dari suatu materi tetapi juga dengan materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan religiusnya. Hasil penilaian berorientasi untuk melihat perkembangan potensi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai seorang muslim yang ideal.
Dari keenam aspek di atas, kurikulum al Islam berorientasi untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari orientasi tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran PAI, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (2) dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan pesrta didik dalam menjalankan ajaran Islam. (4) dimensi penagalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untukmenggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[29]
Perubahan kurikulum PAI 1994 ke 2004 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih menitik beratkan pencapaian target kompetensi (attainment targets) daripada penguasaan. (b) lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia. (c). memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
Kurikulum 2004 merupakan kurikulum yang memiliki muatan untuk mencoba menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang relevan dengan kondisi suatu masyarakat tertentu. Selain itu, juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum ini lahir sebagai jawaban terhadap berbagai kritikan masyarakat terhadap kurikulum 1994, serta sesuai dengan kebutuhan dan kebutuhan dunia kerja.
KBK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan negara. Selanjutnya, KBK pun diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini, terutama dalam memasuki era globalisasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan.
Telaah Penerapan Kurikulum PAI di Sekolah
1. Pendekatan Penerapan Kurikulum
Untuk mencapai hasil yang maksimal, penerapan kurikulum PAI dapat diterapkan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro yaitu suatu tahapan penerapan kurikulum yang secara umum/luas dan terpadu (integral) berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dari kurikulum pendidikan PAI. Pendekatan makro ini dipilih, karena berupaya menghadirkan proses pembelajaran, khususnya pendidikan PAI dapat memberikan nuansa yang berbeda dan harapan kolektif dari semua pihak. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu;
a. Merancang Program Pengajaran
Kegiatan merancang program pengajaran di mulai sebelum aktivitas proses belajar mengajar berlangsung. Kegiatan ini dirancang oleh Wakasek urusan kurikulum dan dibantu para guru PAI dengan instruksi kepala sekolah. Prakarsa ini diarahkan untuk mengklasifikasikan tugas-tugas yang akan menjadi tuntunan atau agenda utama yang harus dikerjakan dalam proses pengajaran.
Semangat KBK inilah yang membuat Sekolah harus mengkaji ulang apa yang masih menjadi persoalan dan hambatan pengajaran selama ini, khususnya terhadap penerapan kurikulum PAI. Sekolah menghendaki bahwa pembelajaran PAI juga harus benar-benar menjadi andalan dan nilai tambah yang memadahi, lebih-lebih di saat lemahnya nilai-nilai moral di kalangan pelajar saat ini. Dengan asumsi-asumsi merosotnya amoral atau asusila tersebut, pendidikan PAI dirancang dan didesain sebagai alat untuk menyadarkan jati diri peserta didik. Disilah dirasa perlu model-model pengajaran yang menyentuh, dan mudah dipahami bagi peserta didik.
Lebih khusus lagi, sekolah berkomitmen menempatkan materi PAI sebagai pondasi utama terhadap keilmuan dan ketrampilan yang dimiliki setiap lulusan. Keilmuan dan ketrampilan yang tinggi bila tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang kuat, akan mudah tergelincir pada tindakan dzalim dan mafsadat. Dengan pendekatan pengajaran yang tepat, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Islam akan menjadi frame (cara pandang) setiap peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di mana pun mereka berada.
Menyadari akan pentingnya kurikulum PAI tersebut, maka Sekolahmemandang perlu adanya penyederhanaan pokok-pokok materi dan melengkapi dengan model-model dan strategi pengajaran yang lebih mengena pada masing-masing tujuan setiap materi. Di sinilah tampak sekali usaha sekolah dalam mengambil inisiatif baru dan perhatian yang besar terhadap pentingnya pendidikan PAI . Sekolah tidak mau kehilangan daya khasnya yakni pendidikan PAI sebagai nilai tambah yang harus disenangi dan menjadi kebutuhan oleh para siswa.
Dengan membuat kerangka acuan kerja atau job description diharapkan orientasi pembelajaran PAI tepat sesuai sasaran dan tujuannya. Melalui job description inilah selanjutnya ditentukan peranan-peranan yang harus dilaksanakan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Tugas merancang program pengajaran ini langsung ditangani oleh wakil urusan kurikulum dan dibantu para guru PAI yang sudah lama mengajar di Sekolah.
Program pengajaran PAI selain dilakukan dalam kelas, juga dilaksanakan di luar kelas. Pengajaran di kelas lebih menekankan pada materi pokok yang sesuai dengan isi kurikulum, sementara di luar kelas dimaksudkan sebagai pengayaan terhadap materi-materi yang memang harus diselesaikan diluar kelas.
Memahami penerapan kurikulum PAI dari sudut pendekatan makro ini, Sekolah ingin menekankan adanya peningkatan kompetensi kepada siswa dengan memberikan gambaran tentang kontens kurikulum secara komprehensif. Kurikulum PAI memiliki tujuan yang sangat kompleks, karena PAI selain menyangkut pengembangan kemampuan kognitif, juga efektif dan psikomotorik.
Ada hal-hal tertentu dalam pelajaran PAI yang sulit terukur kadar kompetensinya. Misalnya berkenaan dengan keimanan, karena iman itu di dalam hati, tetapi dapat diminimalkan dengan merumuskan tanda-tanda orang beriman dalam bentuk kompetensi. Dengan pendekatan pengajaran diluar kelas tersebut, siswa dapat dilatih dengan mengindentifikasi tanda-tanda orang beriman. Dengan proses pengajaran semacam ini diharapkan oleh sekolah agar siswa memiliki nilai kadar keimananan yang lebih kuat dengan jabaran penerapan kurikulum yang komprehensif.
b. Merumuskan Kembali Tujuan Kurikulum
Tujuan program pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas isi kurikulum. Karena itu, Sekolah memandang perlu melakukan perumusan kembali dari garis-garis besar program pengajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Hal ini sangat terkait dengan kondisi peserta didik (siswa) yang beragam latar belakang dan kemampuannya.
Kegunaan dari perumusan tujuan kurikulum ini adalah memberikan pelayanan kepada peserta didik agar kemampuannya dapat bertambah dari modal kemampuan sebelumnya. Dengan cara ini, diharapkan kurikulum PAI benar-benar membekas dalam diri siswa, dan dapat menjadi bekal yang positif setelah lulus dari sekolah.
Rumusan tujuan kurikulum tersebut menjadi acuan setiap guru dalam membina para siswa. Rumusan tujuan ini diarahkan untuk menitikberatkan pada pencapaian kompetensi, mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan proses pembelajarn. Tujuan untuk merumuskan kembali tujuan kurikulum ini yaitu ingin melahirkan pembelajaran keagamaan yang menjadi life skill (ketrampilan hidup) serta sekaligus way of life (pandangan hidup) para peserta didik.
Rumusan Tujuan kurikulum pendidikan PAI, dimulai dari dasar penanaman keyakinan (aqidah/tauhid), pemahaman ibadah (cara melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji), hingga etika atau akhlak baik menyangkut urusan pribadi maupun sosial.
Keterpaduan tujuan di atas dipahami sebagai kerangka besar yang diemban oleh Sekolahuntuk mencetak lulusan yang kokoh dalam memegang teguh keimanan, rajin beribadah dan saleh dalam mengamalkan ilmunya.
c. Menciptakan Sumber Belajar
Sebagai kelanjutan dari tujuan kurikulum di atas, sumber belajar adalah sesuatu yang mendukung kegiatan belajar mengajar, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam sekolah harus ada Masjid/Mushalla sebagai tempat ibadah, BK sebagai tempat bimbingan dan konsultasi, termasuk persoalan kerohaniaan peserta didik, mading (majalah dinding) sebagai sumber informasi.
Di luar sekolah, misalnya menjalin kerjasama dengan masyarakat, institusi sosial atau lembaga sosial, seperti panti asuhan, rehabilitasi mental, dan lain-lain. Kurikulum PAI memang sangat memerlukan adanya sumber belajar yang memadahi untuk melatih penghayatan dan pengamalannya. Sekolah menyediakan sumber belajar tersebut dimaksudkan agar kegiatan pembelajaran benar-benar memiliki kesan yang mendalam bagi siswa.
Penciptaan sumber belajar dipilih berdasarkan muatan substansial dari kurikulum yang perlu di wujudkan. Usaha sekolah dalam memfasilitasi sumber-sumber tersebut, diharapkan pembelajaran PAI mencapai tujuan yang dapat dirasakan bagi siswa.
Sedangkan pendekatan mikro yaitu suatu tahapan penerapan kurikulum yang secara praktis memperhatikan situasi dan kondisi sumber daya sekolah yang ada. Dengan pendekatan mikro ini dimaksudkan agar tujuan penerapan kurikulum pendidikan PAI di sekolah dapat tercapai secara lebih maksimal. Pendekatan mikro ini lebih dihadapkan pada hal-hal yang bersifat teknis, khususnya materi, guru dan siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian lebih mendalam dan penanganan serius. Adapun langkah-langkah yang ditempuh Sekolahdalam menerapkan kurikulum PAI melalui pendekatan mikro ini yaitu;
a. Menentukan Tujuan Materi
Untuk memudahkan cara mengalisis keberhasilan kegiatan pembelajaran, sekolah mewajibkan para tenaga pendidik membuat tujuan materi. Tujuan materi ini digunakan sebagai kartu kendali setiap guru guna mengukur tingkat pencapain proses belajar-mengajar di kelas maupun di luar kelas.
Tujuan ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kecakapan bagaimana materi yang disampaikan tepat pada sasaran. Sebelum menentukan tujuan materi, terlebih dahulu dilakukan analisis materi dan tingkat kemampuan peserta didik.
b. Mengukur kemampuan awal Siswa dan Solusinya
Pengukuran kemampuan awal terhadap siswa baru bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa sebelum menempuh sistem instruksional baru. Guru juga berkepentingan bahwa dengan mengetahui kondisi kemampuan siswa, supaya sekolah dapat memberi materi yang tepat dan sesuai tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka. Adapun pengukuran kemampuan awal siswa dilakukan dengan menggunakan tes.
Setiap awal tahuan ajaran, bersamaan dengan masa orientasi siswa (MOS) baru, mereka terlebih dahulu diwajibkan mengikuti tes agama. Tes ini untuk mengukur tingkat pemahaman PAI, misalnya tentang praktek shalat, baca al-qur’an dan seputar wawasan keagamaan.
Bagi mereka yang belum lancar dan fasih membaca al-qur’annya, para siswa harus mengikuti kurikulum tambahan, yakni pembinaan baca al-qur’an yang dilakukan sebelum atau sesudah waktu jam pelajaran sekolah.
Dengan adanya pendidikan PAI tambahan seperti ini, berarti kurikulum sebagaimana yang tertera pada Garis-Garis Program Pengajaran (GBPP) perlu ditambah lagi porsi jamnya. Dengan demikian, secara praktis kurikulum PAI memang tidak bisa langsung diberikan kepada siswa begitu saja tanpa melihat background terlebih dahulu.
Selain itu tujuannya ini dilakukan yaitu untuk menentukan sampai dimana tingkat kecakapan siswa sehingga ia mampu dibawa untuk mengikuti materi dan tugas-tugas yang akan diberikan. Bagi sekolah memperhatikan kemampuan tingkat keagamaan adalah wajib. Karena dengan demikian sekolah tidak salah dalam melakukan pembinaan dan pengajarannya.
c. Pembentukan Perfomansi (perilaku)
Pada tahap ini perlu menerjemahkan kebutuhan dan tujuan kedalam perfomansi objektif dengan cukup spesifik dan lengkap untuk menunjukkan kemajuan kearah tujuan. Ada beberapa alasan sekolah dalam menyusun tujuan umum ke dalam tujuan khusus. Pertama, agar dapat mengomunikasikan tingkat perbedaan seseorang. Kedua, untuk menambah kelengkapan/rincian dalam menyusun perencanaan sehingga dimungkinkan terjadinya pengembangan dari bahan dan sistem pengantar. Ketiga, untuk semua tujuan terurai dalam istilah perfomansi (lebih daripada garis besar isi aatu aktivitas guru) yaitu untuk mengukur perbuatan siswa untuk menentukan kapan tujuan itu tercapai. Tujuan merupakan sentral yang penting untuk mendesain proses. Fungsi performansi objektif adalah: memberikan sebuah pengertian untuk menentukan apakah hubungan pembelajaran dengan pencapaian tujuan; memberikan makna, untuk memfokuskan perencanaan pembelajaran diatas menuju keadaan yang tepat/cocok untuk belajar; Sebagai pengantar dalam pengembangan pengukuran kinerja siswa; membantu siswa dalam belajar.
d. Menyusun evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari implmentasi kurikulum. Evaluasi ini dibutuhkan dengan mengacu pada tujuan pokok kurikulum PAI. Ada beberapa manfaat dari evaluasi yaitu pertama, dapat digunakan untuk mengalisis tingkat penjabaran kurikulum. Kedua untuk mengukur apakah ada pengaruh kepada peserta didik yang telah mempelajari materi PAI. Adapun jenis evaluasinya diserahkan kepada guru untuk menunjukkan kebutuhan individu siswa, sesuai dengan tingkat kecakapannya dan tidak tepat jika hanya sekadar sebagai formalitas pembelajaran.
Tujuan lain dari evaluasi adalah untuk mengecek kemajuan hasil belajar siswa, dan untuk mengecek kemungkinan terjadinya salah pengertian siswa sehingga bisa dilakukan perbaikan sebelum dilanjutkan. Sebagai tambahan, pelaksanaan tes memberikan kesimpulan hasil belajar atau pembelajaran unit sehingga dapat digunakan sebagai dokumen kemajuan siswa untuk keluarganya dan sebagai administrasi.
2. Kreatifitas Guru dalam Penerapan Kurikulum PAI
a. Menyusun Pendekatan
Dalam mengpenerapan kan kurikulum pendidikan PAI dan khususnya berkaitan dengan kegiatan pembelajaran PAI, para guru diharuskan menggunakan 6 pendekatan. Pertama, Pendekatan Rasional, yaitu suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada aspek penalaran. Pendekatan ini dapat berbentuk proses berpikir induktif yang dimulai dengan memperkenalkan fakta-fakta, konsep, informasi, atau contoh-contoh yang kemudian ditarik suatu generalisasi (kesimpulan) yang bersifat menyeluruh (umum).
Kedua, pendekatan emosional, yakni upaya menggugah perasaan (emosi) siswa dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. Cara ini digunakan untuk membakar semangat para siswa dalam memahami dan menghayati agama secara militan.
Ketiga, pendekatan pengamalan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan ibadah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah kehidupan. Pendekatan ini digunakan untuk mengasah kepedulian siswa terhadap masalah-masalah sosial-keamanaan.
Keempat, Pendekatan Pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Kelima, pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi manfaatnya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
Keenam, pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru (pendidik), petugas sekolah lainnya, orang tua, serta anggota masyarakat sebagai cermin bagi siswa. Sebagai pelengkap pendekatan di atas, pendekatan keteladanan memberikan pengaruh yang positif terhadap kepribadian siswa. Karena dari segi usia, mereka cenderung melakukan imitasi (peniruan) terhadap apa yang mereka anggap baik.
Selain enam pendekatan di atas, sesuai dengan pembelajaran kurikulum berbasis kompetensi para guru merancang pendekatan dari bersifat teaching menjadi learning. Model pendekatan ini menuntut siswa untuk lebih aktif dalam belajarnya. Siswa belajar “mencari” kemampuan apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan dirinya. Di sini guru berfungsi sebagai motifator dan fasilitator. Guru memberikan dorongan agar siswa mempunyai semangat belajar, jangan sampai siswa lebih banyak disuapi oleh guru.
Perubahan pendekatan teaching menjadi learning dimaksudkan agar pembelajaran lebih kondusif dan bermanfaat untuk membentuk pengalaman siswa. Adapun kiat guru melaksanakan pendekatan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, para guru berusaha menjadikan materi pembelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik. Siswa yang biasanya cenderung malas belajar akhirnya tertarik untuk mengikuti materi pelajaran, bahkan semangat menyimaknya.
Kedua, para guru mengisahkan kepada siswa beberapa tokoh ilmuwan, tentang sedikit kisah hidupnya, mengapa ia menjadi seorang tokoh ilmuwan yang dikagumi umat. Dari sekian tokoh ilmuwan tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat siswa belajar siswa. Pendekatan seperti ini dapat memberikan sugesti positif untuk menyukai bahan pelajaran.
Ketiga, para guru melakukan asosiasi, artinya menghubungkan bahan pelajaran yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Siswa diharapkan mengingat pelajaran itu sesuai dengan pengalaman dirinya. Misalnya dengan mengajukan teka teki berkenaan dengan materi.
Keempat, proses pembelajaran hendaknya mengikuti langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip-prinsip didaktis, antara lain dari mudah ke sulit, dari sederhana ke komplek, dan konkret ke abstrak. Dalam menerangkan hendaknya diikuti dengan ontoh-contoh yang konkret yang dapat membantu pemahaman siswa.
Kelima, menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, rileks dan tidak tegang. Suasana kelas yang menyenangkan akan membantu konsentrasi dalam belajar. Learning will be effective if they get flow, fun, enjoy. Disamping itu guru dalam mengajarnya akan semangat sehingga terhindar dari kehabisan materi. Didalam kelas terjadikomunikasi multi arah yang sangat harmonis. Supaya suasana kelas menyenangkan dan tidak tegang misalnya guru dalam mengajar diselingi dengan humor.
Keenam, Menjadikan guru sebagai media atau siswa dijadikan sebagai model dalam pembelajaran Dalam mengajar guru tidak hanya menggunakan alat yang dibuat sebelumnya, akan tetapi guru dan siswa sekaligus dimanfaatkan sebagai alat peraga. Disini guru mampu melihat kemampuan dasar belajar siswa.
b. Menerapkan Sembilan Prinsip Kurikulum PAI
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran:
1. Berpusat pada Siswa
Siswa adalah makhluk Tuhan yang memiliki fitrah (potensi). Potensi ini sekaligus mempertegas dirinya sebagai makhluk individu dan sosial yang dapat berkembang secara kreatif dan produktif. Setiap siswa memiliki perbedaan minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style). Siswa tertentu mungkin lebih mudah belajar dengan cara mendengar, membaca, atau dengan cara melihat. Tetapi bagi siswa yang lain kadang mudah dengan cara melakukan langsung (learning by doing). Karena itu, para guru sebagai fasilitator mengakomodasi perbedaan tersebut dengan menciptakan kegiatan pembelajaran yang beragam, organisasi kelas yang menarik, materi pembelajaran sesuai kebutuhan, waktu belajar yang tepat, alat belajar yang sesuai, dan cara penilaian pun juga dikompromikan.
Dengan keragaman siswa di atas, para guru mengkategorikan strategi pembelajaran ke dalam empat hal. Pertama, somatic. Pola pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek gerak tubuh atau belajar dengan dengan melakukan. Kedua auditif, adalah cara belajar yang lebih menekankan pada aspek pendengaran. Ketiga visual, yaitu cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penglihatan. Keempat intelektual, yaitu cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penalaran atau logika.
Disisi lain, setiap siswa mempunyai berbagai kecerdasan yang dapat dioptimalkan melalui kegiatan pembelajaran. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan linguistik (kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis), logismatematis (kemampuan menggunakan angka dengan baik dan menggunakn penalaran yang benar), spasial (kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akuratdan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut), kinestetis-jasmani (merupakan kecerdasan fisik dalam menggunakan seluruh anggota tubuhnya untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu), interpersonal (kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta persaan orang lain), intrapersonal (kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut), naturalis (keahlian mengenali dan mengategorikan spesies baik flora fauna di lingkungan sekitar), dan kecerdasan musikal (kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara memersepsi, membedakan, mengubah, dan mengekspresikan.
2. Belajar untuk melakukan/berbuat
Melakukan aktifitas adalah bentuk pernyataan diri siswa. Pada hakekatnya siswa belajar sambil melakukan aktifitas, oleh karena iti siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan sendiri, Siswa akan memperoleh harga diri dan kegembiraan kalau diberi kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil kerjanya. Belajar ditekankan karena setiap siswa hanya belajar 10% dari yang dibaca, 20% persen dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, dan 90% dari yang dikatakan dan dilakukan.
3. Mengembangkan kemampuan sosial
Kegiatan pembelajaran tidak hanya mengoptimalkan kemampuan individual siswa secara internal, melainkan juga mengasah kemampuan siswa untuk membangun dengan pihak lain. Karena itu, kegiatan pembelajaran harus dikondisikan yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dengan siswa lain, interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan masyarakat. Dengan pemahaman ini, guru dapat menerapkan berbagai strategi pembelajran yang memungkinkan siswa terlibat dengan pihak lain, misalnya diskusi, pro-kontra sosiodrama dan sebagainya. Sebagai contoh dalam pembelajaran fiqh, siswa dapat diberi tugas melakukan observasi dan membuat laporan tentang pelaksanaan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal di masyarakat. Hasil pengamatan dan laporan itu kemudian dipresentasikan di kelas untuk dibahas bersama.
4. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
Tolak ukur kepandaian siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memecahkan masalah. Karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi menantang kepada pemecahan masalah agar siswa peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat ditumbuhkan jika siswa dihadapkan pada situasi yang memerlukan pemecahannya. Guru berusaha mendorong siswa untuk melihat masalah, merumuskannya dan berupaya memecahkannya sesuai dengan kemampuan siswa. Prinsip ini diterapkan dalam kegiatan pembelajaran nyata di kelas, sehingga pinta kearah pembelajaran aktif siswa mulai terbuka. Untuk itu, sikap terbuka dan cepat tanggap terhadap gejala sosial, udaya dan lingkungan perlu dipupuk ke arah yang positif.
Dalam pembelajaran fiqh siswa dapat diterjunkan langsung ke masyarakat untuk melakukan pengamatan tentang pelaksanaan ibadah shalat, zakat, haji. Dalam hal kemiskinan, misalnya siswa diminta mengidentifikasi sebab-sebab yang menjadikan orang miskin. Siswa dapat ditugaskan secara individual maupun kelompok. Hasil pengamatan dan identifikasi tersebut ditulis sebagai laporan.
5. Mengembangkan kreativitas siswa
Menyadari bahwa setiap siswa lahir dalam keadaan berbeda (individual difference) dan masing-masing memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Karena itu, kegiatan pembelajaran diciptakan sedemikian rupa sehingga membuat setiap siswa optimal potensinya. Di dalam kegiatan pembelajaran harus dikondisikan agar siswa memiliki kesempatan dan kebebasan dalam mengembangkan diri sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Guru berupaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya sebanyak mungkin. Sebagai contoh, dalam hal pelaksanaan ibadah haji siswa diminta membuat urut-urutan pelaksanaan ibadah haji mulai dari keberagkatan dari Tanah Air Indonesia hingga pulang dari tanah suci dengan menggunakan gambar.
6. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
Agar siswa tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, guru mengaitkan materi yang disampaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini dapat diciptakan dengan pemberian tugas yang mengharuskan siswa berhubungan langsung dengan teknologi. Misalnya, membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio, atau internet. Dalam pembelajaran fiqh, siswa dapat diminta mencari data tentang perbankan syari’ah atau membuat ringkasan tentang kuliah subuh di televisi yang ada kaitannya dengan materi pelajaran, misalnya tentang puasa.
7. Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik
Untuk mewujudkan sebagai warga negara Indonesia yang baik, kegiatan pembelajaran perlu diciptakan untuk mengasah kepekaan jiwa mereka terhadap kecintaan terhadap negara-bangsa. Untuk memenuhi target tujuan ini, para guru membuat sebuah contoh yang terkait dengan budaya atau konteks Indonesia. Sebagai contoh, siswa diminta membaca undang-undang perkawinan mengenai kewajiban suami intri, membuat laporan dan mendiskusikannya dengan teman lain di kelas. Selain itu, siswa juga diajak berdiskusi tentang korupsi, terorisme, kemiskinan, dan lain-lain.
8. Belajar sepanjang hayat
Dalam Islam, menuntut ilmu wajib setiap muslim mulai dari kandungan Ibu hingga liang lahat (maut menjemput). Menuntut ilmu tidak dibatasi oleh usia kronologis tertentu atau terbatas pada jenjang pendidikan formal, akan tetapi dapat dilakukan secara informal. Di mana pun dan kapan pun semangat mencari ilmu harus dijiwai oleh seorang muslim. Untuk itu, para guru mendorong siswa untuk terus mencari ilmu di mana pun berada, tidak hanya dibangku sekolah (pendidikan formal) saja, melainkan juga bisa lewat pengajian-pengajian di masyarakat .
9. Perpaduan kompetensi, kerjasama, dan solidaritas
Siswa perlu berkompetisi, bekerja sama dalam mengembangkan solidaritasnya. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan kesempatan kepada siswa guna mengembangkan semangat berkompetisi yang sehat, bekerja sama dan solidaritas. Untuk menciptakan suasana kompetisi, kerjasama, dan solidaritas, kegiatan pembelajaran dapat dikemas dengan strategi diskusi, kunjungan ke tempat pati asuhan yatim piyatu, atau pembuatan laporan secara berkelompok.
Selain prinsip-prinsip kegiatan pembelajaran, guru memperhatikan prinsip-prinsip dalam motivasi. Kesuksesan kegiatan sangat tergantung pada faktor motivasi. Motivasi merupakan daya yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktifitas. Motivasi menjadi faktor yang sangat dominan dalam pencapaian prestasi belajar siswa. Ada dua jenis motivasi yang diberikan guru, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri siswa (intrinsik) dan motivasi yang diakibatkan oleh rangsangan dari luar diri siswa (ekstrinsik). Motivasi intrinsik dapat ditumbuhkan dengan mendorong rasa ingin tahu mencoba serta sikap mandiri dan ingin maju. Dan motivasi ektrinsik dapat dikembangkan dengan memberikan ganjaran atau hukuman.
c. Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa pada Kurikulum PAI
Untuk menepis anggapan bahwa kurikulum PAI adalah sebagai materi momok, maka para guru harus menitikberatkan PAI sebagai ujung tombak untuk mengukir prestasi lulusan yang didambakan stakeholders. Selain bertujuan untuk mencetak lulusan yang trampil sesuai bidang keahliannya, para siswa diharapkan memiliki wawasan keislaman yang kuat dan komitmen dalam menjalankannya. Tugas pokok seperti inilah yang diinginkan sekolah agar citra ke depan lulusan sekolah mampu menunjukkan nilai plus di tengah-tengah persaingan di masyarakat.
Dengan mengacu pada pengalaman yang bertahun-tahun, para guru harus berupaya memberi motivasi kepada siswanya. Adapun upaya sekolah dalam membangkitkan motivasi belajar PAI yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip motivasi sebagai berikut:
1. Kebermaknaan
Materi PAI dikemas dengan pembelajaran yang menarik siswa. Cara ini untuk menghidupkan motivasi belajar siswa agar materi yang dipelajari berguna atau penting baginya. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan yang ada dalam dirinya, seperti bakat, minat dan pengetahuan yang selama ini dimiliki. Untuk itu, kegiatan pembelajaran perlu melihat kecenderungan ini agar materi yang dipelajari berguna bagi siswa. Sebagai contoh, guru memberikan argumentasi tentang perlunya siswa menjahui minum-minuman keras dengan membuat contoh akibat orang yang melakukan perbuatan tersebut.
2. Pengetahuan dan keterampilan prasyarat
Siswa akan lebih terdorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh jika materi pelajaran yang akan diterima terkait dengan sejumlah pengetahuan yang pernah dimiliki. Paling tidak siswa akan memahami dan menafsirkan materi tersebut berdasarkan kemampuan atau pengetahuan yang ada. Sebagai contoh, siswa akan tertarik mempelajari tentang zakat profesi, jika mereka sudah belajar terlebih dahulu tentang makna zakat dalam Islam dan zakat fitrah.
3. Model
Upaya ini dilakukan untuk meneguhkan kepada siswa terhadap sesuatu model yang baik untuk di tiru. Namum sebelumnya siswa harus menguasai pengetahuan dan ketrampilan baru kemudian mereka diberi contoh untuk dilihat dan ditiru. Siswa akan lebih mempercayai bukti daripada perkataan atau ucapan. Untuk itu, guru berupaya memberi banyak ilustrasi atau contoh riil tentang materi yang disampaikan. Siswa akan memahami praktek orang yang berkhutbah jum’at ketimbang sekedar menghapal tentang cara bagaimana berkhutbah jum’at.
4. Komunikasi terbuka
Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik jika ada komunikasi terbuka antara guru dengan siswa. Agar kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik, guru perlu melihat kondisi siswa, baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran perlu dikondisikan sedemikian rupa yang membuat siswa belajar dengan nyaman, tanpa tekanan, atau monoton. Untuk itu strategi yang diterapkan guru tidak boleh hanya satu yang membuat siswa bosan.
5. Keaslian dan tugas yang menantang
Siswa akan terdorong untuk belajar jika ia diberi materi baru dan berbeda. Kebaruan materi akan mendorong siswa untuk belajar. Selain itu siswa perlu diberi tugas baru yang menantang untuk dipecahkan. Hanya saja tugas tersebut jangan terlalu rendah, sehingga menimbulkan kebosanan, atau terlalu tinggi sehingga membuatnya ragu atau cemas untuk memecahkannya.
Dalam pelajaran fiqih, siswa dapat dimunta untuk membuat laporan tentang prosesi pernikahan menurut Jawa, Sunda, Madura, atau Minang dan mempresentasikannya di kelas.
6. Latihan yang Tepat dan Aktif
Kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik jika materi yang disampaikan kepada siswa sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga membuat siswa terlibat secara fisik dan psikis. Karena itu, guru perlu lebih banyak melibatkan siswa untuk memberikan kesempatan mengungkapkan pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan tertentu. Sebagai contoh, dalam bidang ekonimi, siswa diminta secara berkelompok untuk mencatat kegiatan yang diselenggarakan oleh BAZIS atau Baitul Mal.
7. Penilaian Tugas
Siswa akan memperoleh pencapaian belajar yang efektif jika tugas dibagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang atau lama dengan frekuensi pengulangan yang tinggi. Pemberian tugas terlalu sering akan membuat siswa lelah, sebaliknya pemberian tugas yang terlalu lama akan membuat siswa tidak merasa dinilai hasil belajarnya. Yang perlu diingat adalah bentuk penilaian tidak harus dilakukan dikelas dengan mengerjakan tugas secara tertulis, namun penilaian juga dapat dilakukan dengan melihat aktivitas diluar kelas, sehingga siswa tidak akan melakukan perbuatan yang menjadikannya dinilai jelek oleh guru karena aktivitasnya diluar kelas.
8. Kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan
Siswa akan terdorong untuk terus belajar jika kegiatan pembelajaran diselenggarakan secara nyaman dan menyenangkan sehingga siswa terlibat secara fisik maupun psikis. Untuk itu guru perlu menciptakan kondisi kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kecenderungan siswa.guru perlu memberikan penghargaan bagi siswa yang berprestasi. Penghargaan itu dapat bersifat material, seperti hadiah buku dan pensil, tapi juga bisa berupa non-material, misalnya nilai atau applaus.
9. Keragaman pendekatan
Cara belajar siswa cukup beragam, sehingga cara mengelola kegiatan pembelajaranpun harus mempertimbangkan keragaman ini. Karena itu giru dituntut mengondisikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan keragaman tersebut sehingga strategi pembelajaran yang ditawarkan pun harus beragam agar dapat menampung cara belajar siswa, misalnya ceramah, diskusi, sosiodrama, atau praktik lapangan.
10. Mengembangkan Beragam Kemampuan
Kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik, jika ia dikondisikan untuk mengoptimalkan potensi siswa secara keseluruhan, karena kecerdasan tidak hanya tunggal, tapi majemuk seperti kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan natural, maka dalam proses pembelajarannya, guru perlu mempertimbangkan ragam kecerdasan tersebut.
11. Melibatkan Sebanyak Mungkin Indra
Siswa akan menguasai hasil belajar dengan optimal jika dalam belajarnya menggunakan sebanyak mungkin indra untuk berinteraksidg isis pelajaran. Selain menggunakan strategi pengajaran yang mengasah aspek pendengaran, guru hendaknya juga menggunakan strategi belajar yang mempertajam siswa dari aspek penglihatan atau praktek langsung secara fisik agar materi belajar lebih berkesan dalam diri siswa.
12. Keseimbangan Pengaturan Pengalaman Belajar
Siswa akan menguasai materi pelajaran jika pengalaman belajar diatur sedemikian rupa sehingga ia mempunyai kesempatan untuk membuat suatu refleksi penghayatan dan juga mengungkapkan serta mengevaluasi apa yang dipelajari. Pengalaman belajar hendaknya juga menyediakan proporsi yang seimbang antara peberian informasi dan penyajian terapannya. Dalam pembelajaran fiqih, materi thaharah, shalat, puasa, zakat atau haji, akan lebih mudah diterima jika disampaikan melalui praktek langsung daripada menghafal secara kognitif. Memikirkan ulang apa yang sedang dipikirkan atau apa yang sedang dikerjakan merupakan kegiatan penting dalam memantapkan pemahaman. Proses pikir ulang ini akan berjalan dengan baik jika dikondisikan dengan strategi pembelajaran tertentu, misalnya diskusi. Dalam mata pelajaran fiqih, siswa diminta mengamati dan membuat laporan tentang prosesi pernikahan, mulai dari meminang sampai pelaksanaan walimatul urs-nya. Dalam perekonomian, misalnya siswa dapat diminta mengamati tempat-tempat usaha seperti CV atau Firma yang ada disekitar madrasah untuk dikaitkan dengan materi bentuk-bentuk perekonomian dalam Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan telaah di atas, pada bagian ini penulis ingin menyampaikan kesimpulan. Kesimpulan dari hasil pembahasan dan telaah ini, terdiri dari 2 (dua) butir. Kesemuannya merujuk pada permasalahan dan tujuan penulisan makalah yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan.
1. Penerapan kurikulum PAI dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro, dapat dilihat misalnya merancang program pengajaran untuk mengklasifikasikan tugas-tugas yang akan menjadi tuntunan atau agenda utama yang harus dikerjakan dalam proses pengajaran; merumuskan kembali tujuan kurikulum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik di sekolah agar standar mutu yang diharpkan tercapai; menciptakan sumber belajar sebagai pendukung penerapan kurikulum, pembelajaran PAI diarahkan sebagai materi yang mengarah tercapainya tri kompetensi, yakni pemahaman, penghayatan dan perilaku atau perbuatan yang disemangati ajaran Islam.
Sementara pendekatan mikro sebagai tujuan yang lebih sempit, sekolah dapat menentukan tujuan materi agar sesuai dengan kecakapan dan kemampuan peserta didik; mengukur kemampuan awal siswa dan memberikan solusi/alternatif atas ragamnya kemampuan peserta didik sehingga mereka mendapatkan materi yang sesuai dengan tingkatannya, pembentukan perfomansi (perilaku), artinya tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa mampu dan sesuai dengan kemampuannya; Menyusun evaluasi yang sesuai dengan tingkatan kemampuan para siswa.
2. Upaya-upaya yang harus dilakukan guru dalam menerapkan kurikulum PAI yaitu a). Menyusun pendekatan pembelajaran, seperti pendekatan rasional, emosional, pengalaman, pembiasaan, fungsional, dan keteladanan. b). Menerapkan sembilan prinsip impelementasi kurikulum pendidikan al-Islam, seperti; pembelajaran berpusat pada siswa, belajar untuk berbuat atau melakukan, mengembangkan kemampuan atau kepekaan sikap sosialnya, mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah (problem solving), Mengembangkan kreativitas siswa, Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat, memadukan kompetensi, kerjasama, dan solidaritas, c). Membangkitkan motivasi belajar siswa kurikulum al-Islam, seperti; prinsip kebermaknaan, prinsip pengetahuan dan keterampilan prasyarat, prinsip menjadi model, prinsip komunikasi terbuka, memberi tugas yang menantang, Latihan yang tepat dan aktif, penilaian tugas, menciptakan kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indra, keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.
Catatan Akhir
[1] Nurgiyantoro, Burhan, 1988, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah; Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE. Hlm. 2.
[2] Ibid. hal 2-5.
[3] Nasution. S. 1980. Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars. Hlm. 5.
[4] Ibid. Hlm. 6.
[5] Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya. Hlm.53.
[6] Nurgiyantoro, Op.Cit. Hlm. 15.
[7] Tafsir, Op.Cit. Hlm. 56-57.
[8] Wiryokusumo, Op. Cit. hal8-9.
[9] Nurgiyantoro, Op. Cit. Hlm. 6-9.
[10] Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto, 1986. Pembinaan dan pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara. Hlm. 18-20.
[11] Muhaimin, 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 75.
[12] Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 74.
[13] Tafsir, 1994. Op.Cit. Hlm. 131.
[14] Fadjar, A. Malik, 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembagan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI). Hlm. 157.
[15] Fadjar, 1998. Ibid. Hlm. 159-160.
[16] Tafsir, 1994. Op.Cit. Hlm. 66-67.
[17] Silverius, Suke.1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta: PT Grasindo. Hlm. 4.
[18] Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 1.
[19] Nurkancana, Ibid. 3-6.
[20] Majid, Op.Cit. Hlm. 78-80.
[21] Muhaimin, dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Hal 187-197.
[22] Muhaimin, 1993. Op. Cit. Hlm. 193-194.
[23] Soetopo, Op.Cit. Hlm. 49-50.
[24] Nurgiyanto, 1988. Op.Cit. Hlm. 152-153.
[25] Muhaimin, 1993. Op. Cit. Hlm. 194.
[26] Soetopo, 1986. Op. Cit. Hlm. 53-54.
[27] Nurgiyanto, 1988. Op.Cit. Hlm. 154-156.
[28] Nurgiyanto, 1988. Ibid. Hlm. 157-158.
[29] Muhaimin et.al., 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya . Hlm. 78.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad, 1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung.
Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka cipta.
Depdikbud, 1990. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hamalik, Oemar, 1990. Pengembangan Kurikulum; Dasar-Dasar dan Pengembangannya, Bandung: Bandar maju.
Hamalik, Oemar, 1991. Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Bandung: Trigenda karya.
HAR. Tilaar, 2000. Paradigma Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
Hasibuan dan Moedjino, 1995., Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ismail SM., dkk (ed.), 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarya: Pustaka Pelajar.
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimain, dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimin dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin, 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Penerapan , Bandung: Rosdakarya
Nasution. S. 1980. Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars.
Nurgiyantoro, Burhan, 1988. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah; Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE.
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Roestiyah, 1989. Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara.
Silverius, Suke.1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta: PT Grasindo.
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto, 1986. Pembinaan dan pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara.
Supriadi, Dedi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sutisno, Oteng, 1993. Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritik Untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa.
T. Raka Joni, dkk., Wawasan Kependidikan Guru, Depdikbud, Jakarta, 1984.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. IV. Bandung: Rosdakarya.
Tim IKIP Surabaya, 1987. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, Cet. III, Jakarta: Rajawali Press.
Usa, Muslih, (ed.), 1991. Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wirjosukarto, Amir Hamzah, 1968. Pembaruan Pendidikan & Pengajaran,
Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi. 1988. Dasar-dasar pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tabiyah UIN Maliki Malang
Pendahuluan
Pembenahan kurikulum (curriculum improvement) merupakan keharusan yang esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan. Seiring dengan orientasi perubahan kebijakan pendidikan nasional, khususnya masalah kurikulum, improvisasi harusnya perlu mendapat respons yang positif dari berbagai kalangan, baik praktisi maupun konseptor pendidikan.
Ralph W Tyler yang dianggap sebagai pencetus pengembangan kurikulum menjelaskan akan pentingnya memikirkan hal-hal fondamental apakah yang harus dibenahi dalam kurikulum. Untuk sampai pada tataran operasional, Tyler menyampaikan empat pertanyaan yang harus dijawab agar proses pembenahan kurikulum itu dapat melahirkan rumusan yang berkualitas dan bermanfaat. Pertanyaan itu mencakup empat hal, yaitu (1) Tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah? (2) Pengalaman pendidikan apakah yang dapat diberikan agar tujuan tersebut tercapai? (3) Bagaimana pengalaman tersebut dapat diorganisasikan secara efektif? (4) bagaimana menetapkan menentukan apakah tujuan tersebut telah dicapai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah landasan untuk membenahi mutu kurikulum yang menjanjikan masa depan anak didik. Selama ini kurikulum yang telah kita gunakan barangkali sudah bagus, akan tetapi sasaran, orientasi dan strateginya yang keliru. Sehingga mutu pembelajaran tidak banyak melahirkan nuansa pengalaman empiris terhadap peserta didik di luar sekolah.
Tantangan inilah yang harus dibenahi agar dinamika pendidikan masa mendatang mengalami kemajuan dan perubahan berarti. Upaya pemerintah dalam memberikan perhatian secara moril dan materiil tidaklah cukup bila para pelaku atau praktisi pendidikan tidak sadar diri untuk ikut membenahi kekurangan-kekurangan yang tanpak dihadapinya.
Pembahasan makalah ini akan memfokuskan pada dua hal, yaitu (1) pendekatan-pendekatan apakah yang harus digunakan untuk menerapkan kurikulum PAI di Sekolah Dasar dan Menengah? (2) Bagaimana kreatifitas guru dalam menerapkan kurikulum PAI di Sekolah Dasar dan Menengah? Dengan dua fokus masalah tersebut penulis ingin menyumbangkan gagasan/ide-ide yang semoga relevan dengan kondisi sekolah masing-masing.
Orientasi dari pembahasan ini lebih bersifat eksploratif atas pengalaman (experience) sebagai seorang pendidik yang sekian lama bergelut dengan pembelajaran di sekolah. Pendidik merupakan aktor utama pendidikan dan sekaligus pelaksana kurikulum. Sudah saatnya para pendidik kini berani memunculkan inovasi dan kreasi yang berdasarkan pengalaman pribadi dan didukung dengan ketajamannya dalam melihat persoalan-persoalan di sekolah.
Konsep dan Fungsi Kurikulum
a. Konsep Kurikulum
Dalam berbagai sumber referensi disebutkan bahwa defenisi kurikulum memiliki ragam pengertian. Tetapi, ada sebuah kata kunci bahwa kurikulum yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang sangat erat berkaitan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.[1]
Nurgiyantoro menggarisbawahi bahwa relasi antara pendidikan dan kurikulum adalah relasi tujuan dan isi pendidikan.[2] Karena ada tujuan, maka harus ada alat, sarana untuk mencapainya, dan cara untuk menempuh adalah kurikulum.
Awal sejarahnya, istilah kurikulum biasa dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berari penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh.[3]
Istilah tersebut di atas mengalami perpindahan arti ke dunia pendidikan Sebagai contoh, Nasution mengemukakan bahwa pengertian kurikulum yang sebagaimana tercantum dalam Webter’s Internaional Dictionary; Curriculum: course; a specified fixed course of study , as in a scholl or college, as one leading to a degree.[4]
Dalam kamus tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu pertama sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau Perguruan Tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua, sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.[5]
Kini, kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Di samping itu, kurikulum juga diartikan sebagai rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
Menurut Alice Miel, seperti yang dikutip Nurgiyantoro, menyarikan bahwa kurikulum itu meliputi keadaan sekolah, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan, kecakapan dan sikap orang-orang yang melayani dan dilayani sekolah yaitu anak didik, masyarakat dan para pendidik (pengelola pendidikan). Dengan demikian, pandangan ini mengatakan bahwa kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh sekolah untuk siswa.[6]
Adapun Ahmad Tafsir menguraikan bahwa kurikulum mengandung empat komponen, yaitu tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar, dan evaluasi. Setiap komponen dalam kurikulum tersebut sebenarnya saling terkait, bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kurikulum tersebut.
Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Tujuan itu mula-mula bersifat umum. Dalam operasinya tujuan tersebut harus dibagi menjadi bagian-bagian yang kecil atau khusus.
Komponen isi (materi) dalam proses belajar mengajar harus sesuatu yang relevan dengan tujuan pengajaran. Materi meliputi apa saja yang yang berhubungan dengan tujuan pengajaran.
Komponen proses belajar mengajar melibatkan dua subyek pendidikan, yaitu peserta didik dan guru. Selain itu, proses belajar mengajar juga perlu dibantu dengan media atau sarana lain yang memungkinkan proses tersebut berjalan efektif dan efesien. Pemilihan atau penggunaan metode harus sesuai dengan kondisi serta berjalan secara fleksibelitas. Artinya, metode atau pendekatan dapat berubah-ubah setiap saat agar interaksi proses belajar mengajar tidak monoton dan menjenuhkan.
Komponen evaluasi yaitu untuk mengetahui dari hasil capaian ketiga komponen sebelumnya. Penilaian dapat digunakan untuk menentukan strategi perbaikan pengajaran. Selain itu, komponen evalusi sangat berguna bagi semua pihak untuk melihat sejauhmana keberhasilan interaksi edukatif.[7]
Dari rumusan keempat komponen tersebut, penulis memahami bahwa kurikulum bukan sekedar kumpulan materi saja, atau juga bukan rencana atau rancangan pengajaran, tetapi kurikulum murupakan bagian keseluruhan yang berhubungan dengan interaksi pembelajarn di sekolah. Berikutnya, untuk memahami lebih mendalam, penulis kemukakan di bawah ini tentang fungsi kurikulum.
b. Fungsi Kurikulum
Kurikulum resmi sebenarnya merupakan sesuatu yang diidentifikasikan atau dicita-citakan, karena kurikulum memiliki fungsi yang sangat vital bagi pembentukan ketrampilan, karakter manusia. Menurut Alexander Inglish, seperti yang dikutip oleh Wiryokusumo, bahwa kurikulum itu fungsinya adalah penyesuaian, pengintegrasian, deferensiasi, persiapan, pemilihan dan diagnostik.[8]
Sementara menurut Nurgiyantoro, bahwa kurukulum mempunyai fungsi tiga hal. Pertama, fungsi kurikulum bagi sekolah. Fungsi ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan. Tujuan yang diinginkan mulai dari tujuan nasional sampai instruksional dan kurikulum dijadikan pedoman unuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Misalnya, macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan, metode pengajaran, media pengajaran, serta termasuk srategi pelaksanaannya baik yang fisik maupun non fisik.
Kedua, kurikulum dapat mengontrol dan memelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Sehingga tidak terjadi pengulangan kegiatan pengajaran sebelumnya. Fungsi lain adalah kurikulum juga dapat menyiapkan tenaga pengajar, dengan cara mengetahui kurikulum pada tingkat dibawahnya. Misalnya, mahasiswa harus mengerti kurikulum SMTA dan SMTP.
Ketiga, kurikulum dimaksudkan untuk menyiapkan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja. Sehingga kurikulum mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat. Karena itu, lulusan sekolah paling tidak dapat memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan (vokasional) di satu sisi, dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya (akademis) di sisi lain.[9]
Masih mengenai fungsi kurikulum, pendapat yang hampir senada dengan Nurgiatoro juga diungkapkan oleh Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto. Mereka menambahkan, selain apa yang telah dijelaskan Nurgiyantoro, bahwa fungsi kurikulum itu sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan (belajar-mengajar) pada suatu sekolah.[10] Sebagai alat atau sarana yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum suatu sekolah berisi uraian tentang jenis-jenis program apa yang diselenggarakan di sekolah tersebut. Hal ini berarti bahwa fungsi kurikulum menyangkut setiap jenis program, pengoperasional atau pelaku yang bertanggungjawab, serta media atau fasilitas yang mendukungnya.
Kurikulum Pendidikan Islam PAI
a. Mengenal Kurikulum PAI
Dengan mengacu pada pengertian sebelumnya, bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi/pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran Islam.
Sesuai dengan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2 ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar.[11] Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi rohani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata “PAI” atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia. Secara umum mengenai hal tersebut dapat penulis jelaskan dengan singkat.
b. Tujuan
Rumusan tujuan berkenaan dengan apa yang hendak dicapai. Menurut Muhammad Munir, seperti yang dikutip Abdul Majid,[12] menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
1. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu (QS. 5:3). Di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
2. Tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah “Di antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirah dan peliharalah kami dari api neraka”.
3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti yang termaktup dalam Firman-Nya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku”.
c. Metode
Proses belajar mengajar akan efektif bila ditopang dengan metode yang canggih. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa: “Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi” (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa metode yang diperankan guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dari interaksi belajar-mengajar.
Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk meciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Dalam hal ini, guru berperan sebagai penggerak, fasilitator, pembimbing dan seterusnya. Sementara siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing.
Dari literatur pendidikan Barat, seperti yang dikemukakan Ahmad tafsir, bahwa metode pendidikan Islam banyak berangkat dari sumber referensi tersebut. Misalnya dapat ditemukan metode sebagai berikut anatara lain; metode ceramah, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, bermain, resitasi dan lain-lain. Namun, dalam teknis pembelajaran tidak semua metode itu berlaku, atau sebaliknya semua berku dengan cara penggabungan satu metode dengan metode lainnya.[13]
Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Ghafur Muhaimin, dkk., bahwa metode yang digunakan pendidikan agama (Islam) tak jauh berbeda dengan metode yang digunakan pendidikan umum. Memang, hampir tak jauh beda antara keduanya, bahwa proses pendidikan apa pun namanya, kerangka atau aspek domainya yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hanya saja, pendidikan PAI harus berorientasi pada “penyadaran” dalam ketiga aspek di atas. Ketiga aspek tersebut, dalam pembelajaran pendidikan PAI , tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Atas dasar inilah, menurut A. Malik Fadjar, bahwa pendidikan agama Islam adalah proses pendidikan yang mampu menggugah kesadaran peserta didik untuk menjadi pribadi muslim sejati.[14]
Metode yang perlu digukanan, menurut A. Malik Fadjar, haruslah memilihi dua landasan. Pertama, landasan motivasional. Yaitu pemupukan sifat indifidu peserta didik untuk menerima ajaran agamanya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, landasan moral. Yaitu tertanamnya kegamaan peserta didik sehingga perbauatannya selalu diacu oleh isi, jiwa dan semangat akhlak karimah. Selain itu, agar tersususunnya tata nilai (value system) dalam peserta didik yang bersumber dari ajaran yang otentik, sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan.[15]
d. Materi
Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran pokok Islam adalah meliputi masalah aqidah (keimanan), syari’ah (keislaman), dan akhlak (ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan akhlak. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak.
Ketiga kelompok di atas, kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu al-qur’an dan hadits dan ditambah dengan sejarah (tarikh) Islam. Kerangka materi ini akahirnya disederhanakan sesuai dengan tingkatan peserta didik. Selain itu, ditambah ‘materi alat’ seperti bahsa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, saraf, dan balaghah untuk membaca dan memahami kandungan isi kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Manurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip Ahmad tafsir, mengemukakan bahwa merumuskan kurikulum atau materi pendidikan Islam harus mempertimbangkan 5 (lima) prinsip. Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik rohani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran aqidah (keyakinan).
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup, yaitu ilmu fiqh dan akhlak. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung kelezatan ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui.
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas. Kelima, mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu lainnya.[16]
e. Evaluasi
Untuk menentukan hasil atau proses dari sebuah kegiatan dan aktifitas memerlukan apa yang disebut dengan evaluasi. Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataanya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa. Menurut Stufflebeam, seperti yang dikutip Suke Silverius, menyatakan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.[17]
Menurut Wayan Nurkancana & Sumartana, evaluasi ialah suatau tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya.[18]
Evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana, bahwa evalusi berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
b. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya.
c. Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secera keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran.
d. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut.
e. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi untuk menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan hasil evalusi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
f. Untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
g. Untuk menafsirkan apakah peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.[19]
Hasil evaluasi mempunyai makna bagi berbagai pihak. Evaluasi bermakna bagi semua komponen proses pengajaran terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Dari hasil evaluasi ini sangat menentukan langkah serat kebijakan yang akan direncakan berikutnya.
f. Karakteristik Kurikulum PAI
Tiap jenis kurikulum mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi, seperti yang dikutip Abdul Majid,[20] menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagai mana diisyaratkan hadits qudsi sebegai berikut: “hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkan mereka”
b. Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, bauk dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal, maupun sosial.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
d. Memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang ralistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
e. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan manusia.
f. Rancangan kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin masyarakat.
g. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
h. Kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai ole peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang islami, etis dan anggun.
Sedangkan menurut Syaibani, seperti yang dikuti Muhaimin dan Abd Mujib, menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.[21]
Prinsip dan Orientasi Kurikulum PAI
a. Prinsip Kurikulum PAI
Dalam usaha untuk mengefektifkan impelementasi kurikulum pendidikan Agama Islam, perlu ada sebuah prinsip tertentu agar kurikulum tersebut berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh semua pihak, yaitu sekolah itu sendiri, peserta didik, orangtua, dan masyarakat, serta komunitas yang lebih besar lagi. Prinsip dasar yang harus diperhatikan antara lain:
Pertama, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersususun sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khlifah Allah.[22]
Kedua, prinsip Relevansi, yaitu sebuah kesesuaian atau keselarasan pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan dipandang relevan, apabila proses dan hasil yang diperoleh dapat berguna dan fungsional bagi kehidupan peserta didik. Relevansi tersebut sekurang-kurangnya ada tiga hal, yakni relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevansi dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa depan, serta relevansi dengan tuntutan dalam pekerjaan.[23] Dalam konteks Islam, kurikulum tersebut memiliki muatan “rahmatan lil ‘alamin”.
Ketiga, prinsip efesiensi. Sebuah usaha untuk mengelola kegiatan kurikulum agar dapat mendayagunakan tenaga, biaya dan sumber-sumber lain secara cermat dan tepat, sehingga hasilnya memadahi dan memenuhi harapan.
Keempat, prinsip Efektifitas. Setiap kegiatan pasti berhubungan dengan masalah sejauhmana hal-hal yang direncanakan dapat terlaksana secara tepat waktu serta sesuai dengan harapan atau rencana awal.[24] Jadi prinsip ini menginginkan adanya hasil yang maksimal tanpa pemborosan yang sifatnya mubadzir.
Kelima, prinsip fleksibelitas. Implikasi dari prinsin ini adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanpa mengubah tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak saja dilihat dari faktor saja, melainkan juga berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperoleh), metode-metode belajar mengajar yang digunakan, fasilitas-fasilitas yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya.[25] Soetopo dan Wasty menambahkan bahwa prinsip fleksibilitas di sini dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan kesempatan guru untuk mengembangkan sendiri program-program pengajan dengan berpegang teguh pada tujuan dan bahan pengajaran di dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum.[26]
Keenam, prinsip kesinambungan. Istilah kesinambungan dimaksudkan adanya hubungan yang saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan, terutama mengenai bahan pengajaran. Pada tiap tingkat sekolah hingga perguruan tinggi, masing-masing satu dengan yang lain mempunyai hubungan secara hirarkis fungsional. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum hubungan fungsional hirakis tersebut harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan penyusunan program pengajaran.hal itu juga mengingat bahwa tiap lulusan sekolah pada tinggat tertentu, di samping dibekali dengan ketrampilan-ketrampilan untuk terjun praktek di masyarakat, juga dipersiapkan untuk memasuki pendidikan ke jenjang selanjutnya.[27] Intinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal (penjenjangan, tahapan) maupun secara horizontal.
Ketujuh, prinsip objektifitas. Implikasi prinsip ini yaitu adanya kurikulum yang dilakukan melalui tuntunan kebenaran ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emasi dan irasional.
Kedelapan, prinsip integritas. Yaitu upaya agar kurikulum tersebut mampu menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang bisa mengintegrasikan antar fakultas dzikir dan fakultas fikir, serta manusia yang dapat menyeleraskan struktur kehidupan dunia dan struktur kehidupan akhirat. Di sampaing itu, pengupayaan kurikulum tersebut mencetak peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’an dan ilmu-ilmu kauni yang bertujuan mencari rida Allah. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen-komponen kurikulum, tanpa adanya pemenggalan satu sama lainnya.
Kesembilan, prinsip belajar seumur hidup. Yaitu adanya kesadaran dan kemauan setiap manusia untuk selalu membuka diri, mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar tidak harus hanya terikat dalam konteks sekolah atau yang formal saja, melainkan sebuah proses belajar sepanjang hayat dimana pun berada. [28]Prinsip belajar seumur hidup mengandung makna bahwa sekolah bagi anak bukanlah satu-satunya masa untuk belajar. Namun, di luar itu siswa dapat senantiasa belajar secara terus menerus sepanjang hayat. Dengan prinsip ini diharapkan siswa memiliki kecakapan hidup yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zamannya.
b. Orientasi Kurikulum PAI
Sesuai dengan perubahan kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, kurikulum PAI berorientasi pada pencapaian hasil belajar yang berkualitas. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani, bahwa orientasi kurikulum PAI tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya yaitu: 1) aspek tujuan; lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, berupa pengetahuan agama Islam dengan memperhatikan keragaman potensi rohani agar dapat memaksimalkan kompetensi religiusnya.
2) Aspek isi; menekankan pada hal-hal yang bersifat tematik dan menggali sumber-sumber belajar yang bersifat kenyataan di lingkungan siswa. Materi disusun secara sistematis, mudah dipahami, dan terhindar dari pengulangan materi atau tumpang tindih.
3) Aspek tujuan; mentransmisikan nilai-nilai agama Islam ke dalam bentuk kompetensi secara utuh. Kurikulum bertujuan membekali peserta didik memiliki kesadaran baik secara normatif maupun historis empiris.
4) Aspek guru; tenaga pendidik lebih berperan sebagai fasilitator (guru tidak dominan) dan memanfaatkan banyak sumber belajar serta mengadakan kerjasama yang terpadu dengan lingkungan sekitarnya.
5) Aspek siswa; peserta didik lebih ditempatkan sebagai subjek, berperan aktif menggali potensi rohaninya sendiri untuk lebih menyadari fungsi dan kedudukannya sebagai muslim.
6) Aspek penilaian; kegiatan pembelajaran dinilai secara komprehensif, tidak hanya pada satu aspek saja dari suatu materi tetapi juga dengan materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan religiusnya. Hasil penilaian berorientasi untuk melihat perkembangan potensi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai seorang muslim yang ideal.
Dari keenam aspek di atas, kurikulum al Islam berorientasi untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari orientasi tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran PAI, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (2) dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan pesrta didik dalam menjalankan ajaran Islam. (4) dimensi penagalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untukmenggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[29]
Perubahan kurikulum PAI 1994 ke 2004 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih menitik beratkan pencapaian target kompetensi (attainment targets) daripada penguasaan. (b) lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia. (c). memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
Kurikulum 2004 merupakan kurikulum yang memiliki muatan untuk mencoba menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang relevan dengan kondisi suatu masyarakat tertentu. Selain itu, juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum ini lahir sebagai jawaban terhadap berbagai kritikan masyarakat terhadap kurikulum 1994, serta sesuai dengan kebutuhan dan kebutuhan dunia kerja.
KBK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan negara. Selanjutnya, KBK pun diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini, terutama dalam memasuki era globalisasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan.
Telaah Penerapan Kurikulum PAI di Sekolah
1. Pendekatan Penerapan Kurikulum
Untuk mencapai hasil yang maksimal, penerapan kurikulum PAI dapat diterapkan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro yaitu suatu tahapan penerapan kurikulum yang secara umum/luas dan terpadu (integral) berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dari kurikulum pendidikan PAI. Pendekatan makro ini dipilih, karena berupaya menghadirkan proses pembelajaran, khususnya pendidikan PAI dapat memberikan nuansa yang berbeda dan harapan kolektif dari semua pihak. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu;
a. Merancang Program Pengajaran
Kegiatan merancang program pengajaran di mulai sebelum aktivitas proses belajar mengajar berlangsung. Kegiatan ini dirancang oleh Wakasek urusan kurikulum dan dibantu para guru PAI dengan instruksi kepala sekolah. Prakarsa ini diarahkan untuk mengklasifikasikan tugas-tugas yang akan menjadi tuntunan atau agenda utama yang harus dikerjakan dalam proses pengajaran.
Semangat KBK inilah yang membuat Sekolah harus mengkaji ulang apa yang masih menjadi persoalan dan hambatan pengajaran selama ini, khususnya terhadap penerapan kurikulum PAI. Sekolah menghendaki bahwa pembelajaran PAI juga harus benar-benar menjadi andalan dan nilai tambah yang memadahi, lebih-lebih di saat lemahnya nilai-nilai moral di kalangan pelajar saat ini. Dengan asumsi-asumsi merosotnya amoral atau asusila tersebut, pendidikan PAI dirancang dan didesain sebagai alat untuk menyadarkan jati diri peserta didik. Disilah dirasa perlu model-model pengajaran yang menyentuh, dan mudah dipahami bagi peserta didik.
Lebih khusus lagi, sekolah berkomitmen menempatkan materi PAI sebagai pondasi utama terhadap keilmuan dan ketrampilan yang dimiliki setiap lulusan. Keilmuan dan ketrampilan yang tinggi bila tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang kuat, akan mudah tergelincir pada tindakan dzalim dan mafsadat. Dengan pendekatan pengajaran yang tepat, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Islam akan menjadi frame (cara pandang) setiap peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di mana pun mereka berada.
Menyadari akan pentingnya kurikulum PAI tersebut, maka Sekolahmemandang perlu adanya penyederhanaan pokok-pokok materi dan melengkapi dengan model-model dan strategi pengajaran yang lebih mengena pada masing-masing tujuan setiap materi. Di sinilah tampak sekali usaha sekolah dalam mengambil inisiatif baru dan perhatian yang besar terhadap pentingnya pendidikan PAI . Sekolah tidak mau kehilangan daya khasnya yakni pendidikan PAI sebagai nilai tambah yang harus disenangi dan menjadi kebutuhan oleh para siswa.
Dengan membuat kerangka acuan kerja atau job description diharapkan orientasi pembelajaran PAI tepat sesuai sasaran dan tujuannya. Melalui job description inilah selanjutnya ditentukan peranan-peranan yang harus dilaksanakan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Tugas merancang program pengajaran ini langsung ditangani oleh wakil urusan kurikulum dan dibantu para guru PAI yang sudah lama mengajar di Sekolah.
Program pengajaran PAI selain dilakukan dalam kelas, juga dilaksanakan di luar kelas. Pengajaran di kelas lebih menekankan pada materi pokok yang sesuai dengan isi kurikulum, sementara di luar kelas dimaksudkan sebagai pengayaan terhadap materi-materi yang memang harus diselesaikan diluar kelas.
Memahami penerapan kurikulum PAI dari sudut pendekatan makro ini, Sekolah ingin menekankan adanya peningkatan kompetensi kepada siswa dengan memberikan gambaran tentang kontens kurikulum secara komprehensif. Kurikulum PAI memiliki tujuan yang sangat kompleks, karena PAI selain menyangkut pengembangan kemampuan kognitif, juga efektif dan psikomotorik.
Ada hal-hal tertentu dalam pelajaran PAI yang sulit terukur kadar kompetensinya. Misalnya berkenaan dengan keimanan, karena iman itu di dalam hati, tetapi dapat diminimalkan dengan merumuskan tanda-tanda orang beriman dalam bentuk kompetensi. Dengan pendekatan pengajaran diluar kelas tersebut, siswa dapat dilatih dengan mengindentifikasi tanda-tanda orang beriman. Dengan proses pengajaran semacam ini diharapkan oleh sekolah agar siswa memiliki nilai kadar keimananan yang lebih kuat dengan jabaran penerapan kurikulum yang komprehensif.
b. Merumuskan Kembali Tujuan Kurikulum
Tujuan program pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas isi kurikulum. Karena itu, Sekolah memandang perlu melakukan perumusan kembali dari garis-garis besar program pengajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Hal ini sangat terkait dengan kondisi peserta didik (siswa) yang beragam latar belakang dan kemampuannya.
Kegunaan dari perumusan tujuan kurikulum ini adalah memberikan pelayanan kepada peserta didik agar kemampuannya dapat bertambah dari modal kemampuan sebelumnya. Dengan cara ini, diharapkan kurikulum PAI benar-benar membekas dalam diri siswa, dan dapat menjadi bekal yang positif setelah lulus dari sekolah.
Rumusan tujuan kurikulum tersebut menjadi acuan setiap guru dalam membina para siswa. Rumusan tujuan ini diarahkan untuk menitikberatkan pada pencapaian kompetensi, mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan proses pembelajarn. Tujuan untuk merumuskan kembali tujuan kurikulum ini yaitu ingin melahirkan pembelajaran keagamaan yang menjadi life skill (ketrampilan hidup) serta sekaligus way of life (pandangan hidup) para peserta didik.
Rumusan Tujuan kurikulum pendidikan PAI, dimulai dari dasar penanaman keyakinan (aqidah/tauhid), pemahaman ibadah (cara melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji), hingga etika atau akhlak baik menyangkut urusan pribadi maupun sosial.
Keterpaduan tujuan di atas dipahami sebagai kerangka besar yang diemban oleh Sekolahuntuk mencetak lulusan yang kokoh dalam memegang teguh keimanan, rajin beribadah dan saleh dalam mengamalkan ilmunya.
c. Menciptakan Sumber Belajar
Sebagai kelanjutan dari tujuan kurikulum di atas, sumber belajar adalah sesuatu yang mendukung kegiatan belajar mengajar, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam sekolah harus ada Masjid/Mushalla sebagai tempat ibadah, BK sebagai tempat bimbingan dan konsultasi, termasuk persoalan kerohaniaan peserta didik, mading (majalah dinding) sebagai sumber informasi.
Di luar sekolah, misalnya menjalin kerjasama dengan masyarakat, institusi sosial atau lembaga sosial, seperti panti asuhan, rehabilitasi mental, dan lain-lain. Kurikulum PAI memang sangat memerlukan adanya sumber belajar yang memadahi untuk melatih penghayatan dan pengamalannya. Sekolah menyediakan sumber belajar tersebut dimaksudkan agar kegiatan pembelajaran benar-benar memiliki kesan yang mendalam bagi siswa.
Penciptaan sumber belajar dipilih berdasarkan muatan substansial dari kurikulum yang perlu di wujudkan. Usaha sekolah dalam memfasilitasi sumber-sumber tersebut, diharapkan pembelajaran PAI mencapai tujuan yang dapat dirasakan bagi siswa.
Sedangkan pendekatan mikro yaitu suatu tahapan penerapan kurikulum yang secara praktis memperhatikan situasi dan kondisi sumber daya sekolah yang ada. Dengan pendekatan mikro ini dimaksudkan agar tujuan penerapan kurikulum pendidikan PAI di sekolah dapat tercapai secara lebih maksimal. Pendekatan mikro ini lebih dihadapkan pada hal-hal yang bersifat teknis, khususnya materi, guru dan siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian lebih mendalam dan penanganan serius. Adapun langkah-langkah yang ditempuh Sekolahdalam menerapkan kurikulum PAI melalui pendekatan mikro ini yaitu;
a. Menentukan Tujuan Materi
Untuk memudahkan cara mengalisis keberhasilan kegiatan pembelajaran, sekolah mewajibkan para tenaga pendidik membuat tujuan materi. Tujuan materi ini digunakan sebagai kartu kendali setiap guru guna mengukur tingkat pencapain proses belajar-mengajar di kelas maupun di luar kelas.
Tujuan ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kecakapan bagaimana materi yang disampaikan tepat pada sasaran. Sebelum menentukan tujuan materi, terlebih dahulu dilakukan analisis materi dan tingkat kemampuan peserta didik.
b. Mengukur kemampuan awal Siswa dan Solusinya
Pengukuran kemampuan awal terhadap siswa baru bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa sebelum menempuh sistem instruksional baru. Guru juga berkepentingan bahwa dengan mengetahui kondisi kemampuan siswa, supaya sekolah dapat memberi materi yang tepat dan sesuai tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka. Adapun pengukuran kemampuan awal siswa dilakukan dengan menggunakan tes.
Setiap awal tahuan ajaran, bersamaan dengan masa orientasi siswa (MOS) baru, mereka terlebih dahulu diwajibkan mengikuti tes agama. Tes ini untuk mengukur tingkat pemahaman PAI, misalnya tentang praktek shalat, baca al-qur’an dan seputar wawasan keagamaan.
Bagi mereka yang belum lancar dan fasih membaca al-qur’annya, para siswa harus mengikuti kurikulum tambahan, yakni pembinaan baca al-qur’an yang dilakukan sebelum atau sesudah waktu jam pelajaran sekolah.
Dengan adanya pendidikan PAI tambahan seperti ini, berarti kurikulum sebagaimana yang tertera pada Garis-Garis Program Pengajaran (GBPP) perlu ditambah lagi porsi jamnya. Dengan demikian, secara praktis kurikulum PAI memang tidak bisa langsung diberikan kepada siswa begitu saja tanpa melihat background terlebih dahulu.
Selain itu tujuannya ini dilakukan yaitu untuk menentukan sampai dimana tingkat kecakapan siswa sehingga ia mampu dibawa untuk mengikuti materi dan tugas-tugas yang akan diberikan. Bagi sekolah memperhatikan kemampuan tingkat keagamaan adalah wajib. Karena dengan demikian sekolah tidak salah dalam melakukan pembinaan dan pengajarannya.
c. Pembentukan Perfomansi (perilaku)
Pada tahap ini perlu menerjemahkan kebutuhan dan tujuan kedalam perfomansi objektif dengan cukup spesifik dan lengkap untuk menunjukkan kemajuan kearah tujuan. Ada beberapa alasan sekolah dalam menyusun tujuan umum ke dalam tujuan khusus. Pertama, agar dapat mengomunikasikan tingkat perbedaan seseorang. Kedua, untuk menambah kelengkapan/rincian dalam menyusun perencanaan sehingga dimungkinkan terjadinya pengembangan dari bahan dan sistem pengantar. Ketiga, untuk semua tujuan terurai dalam istilah perfomansi (lebih daripada garis besar isi aatu aktivitas guru) yaitu untuk mengukur perbuatan siswa untuk menentukan kapan tujuan itu tercapai. Tujuan merupakan sentral yang penting untuk mendesain proses. Fungsi performansi objektif adalah: memberikan sebuah pengertian untuk menentukan apakah hubungan pembelajaran dengan pencapaian tujuan; memberikan makna, untuk memfokuskan perencanaan pembelajaran diatas menuju keadaan yang tepat/cocok untuk belajar; Sebagai pengantar dalam pengembangan pengukuran kinerja siswa; membantu siswa dalam belajar.
d. Menyusun evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari implmentasi kurikulum. Evaluasi ini dibutuhkan dengan mengacu pada tujuan pokok kurikulum PAI. Ada beberapa manfaat dari evaluasi yaitu pertama, dapat digunakan untuk mengalisis tingkat penjabaran kurikulum. Kedua untuk mengukur apakah ada pengaruh kepada peserta didik yang telah mempelajari materi PAI. Adapun jenis evaluasinya diserahkan kepada guru untuk menunjukkan kebutuhan individu siswa, sesuai dengan tingkat kecakapannya dan tidak tepat jika hanya sekadar sebagai formalitas pembelajaran.
Tujuan lain dari evaluasi adalah untuk mengecek kemajuan hasil belajar siswa, dan untuk mengecek kemungkinan terjadinya salah pengertian siswa sehingga bisa dilakukan perbaikan sebelum dilanjutkan. Sebagai tambahan, pelaksanaan tes memberikan kesimpulan hasil belajar atau pembelajaran unit sehingga dapat digunakan sebagai dokumen kemajuan siswa untuk keluarganya dan sebagai administrasi.
2. Kreatifitas Guru dalam Penerapan Kurikulum PAI
a. Menyusun Pendekatan
Dalam mengpenerapan kan kurikulum pendidikan PAI dan khususnya berkaitan dengan kegiatan pembelajaran PAI, para guru diharuskan menggunakan 6 pendekatan. Pertama, Pendekatan Rasional, yaitu suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada aspek penalaran. Pendekatan ini dapat berbentuk proses berpikir induktif yang dimulai dengan memperkenalkan fakta-fakta, konsep, informasi, atau contoh-contoh yang kemudian ditarik suatu generalisasi (kesimpulan) yang bersifat menyeluruh (umum).
Kedua, pendekatan emosional, yakni upaya menggugah perasaan (emosi) siswa dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. Cara ini digunakan untuk membakar semangat para siswa dalam memahami dan menghayati agama secara militan.
Ketiga, pendekatan pengamalan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan ibadah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah kehidupan. Pendekatan ini digunakan untuk mengasah kepedulian siswa terhadap masalah-masalah sosial-keamanaan.
Keempat, Pendekatan Pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Kelima, pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi manfaatnya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
Keenam, pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru (pendidik), petugas sekolah lainnya, orang tua, serta anggota masyarakat sebagai cermin bagi siswa. Sebagai pelengkap pendekatan di atas, pendekatan keteladanan memberikan pengaruh yang positif terhadap kepribadian siswa. Karena dari segi usia, mereka cenderung melakukan imitasi (peniruan) terhadap apa yang mereka anggap baik.
Selain enam pendekatan di atas, sesuai dengan pembelajaran kurikulum berbasis kompetensi para guru merancang pendekatan dari bersifat teaching menjadi learning. Model pendekatan ini menuntut siswa untuk lebih aktif dalam belajarnya. Siswa belajar “mencari” kemampuan apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan dirinya. Di sini guru berfungsi sebagai motifator dan fasilitator. Guru memberikan dorongan agar siswa mempunyai semangat belajar, jangan sampai siswa lebih banyak disuapi oleh guru.
Perubahan pendekatan teaching menjadi learning dimaksudkan agar pembelajaran lebih kondusif dan bermanfaat untuk membentuk pengalaman siswa. Adapun kiat guru melaksanakan pendekatan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, para guru berusaha menjadikan materi pembelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik. Siswa yang biasanya cenderung malas belajar akhirnya tertarik untuk mengikuti materi pelajaran, bahkan semangat menyimaknya.
Kedua, para guru mengisahkan kepada siswa beberapa tokoh ilmuwan, tentang sedikit kisah hidupnya, mengapa ia menjadi seorang tokoh ilmuwan yang dikagumi umat. Dari sekian tokoh ilmuwan tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat siswa belajar siswa. Pendekatan seperti ini dapat memberikan sugesti positif untuk menyukai bahan pelajaran.
Ketiga, para guru melakukan asosiasi, artinya menghubungkan bahan pelajaran yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Siswa diharapkan mengingat pelajaran itu sesuai dengan pengalaman dirinya. Misalnya dengan mengajukan teka teki berkenaan dengan materi.
Keempat, proses pembelajaran hendaknya mengikuti langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip-prinsip didaktis, antara lain dari mudah ke sulit, dari sederhana ke komplek, dan konkret ke abstrak. Dalam menerangkan hendaknya diikuti dengan ontoh-contoh yang konkret yang dapat membantu pemahaman siswa.
Kelima, menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, rileks dan tidak tegang. Suasana kelas yang menyenangkan akan membantu konsentrasi dalam belajar. Learning will be effective if they get flow, fun, enjoy. Disamping itu guru dalam mengajarnya akan semangat sehingga terhindar dari kehabisan materi. Didalam kelas terjadikomunikasi multi arah yang sangat harmonis. Supaya suasana kelas menyenangkan dan tidak tegang misalnya guru dalam mengajar diselingi dengan humor.
Keenam, Menjadikan guru sebagai media atau siswa dijadikan sebagai model dalam pembelajaran Dalam mengajar guru tidak hanya menggunakan alat yang dibuat sebelumnya, akan tetapi guru dan siswa sekaligus dimanfaatkan sebagai alat peraga. Disini guru mampu melihat kemampuan dasar belajar siswa.
b. Menerapkan Sembilan Prinsip Kurikulum PAI
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran:
1. Berpusat pada Siswa
Siswa adalah makhluk Tuhan yang memiliki fitrah (potensi). Potensi ini sekaligus mempertegas dirinya sebagai makhluk individu dan sosial yang dapat berkembang secara kreatif dan produktif. Setiap siswa memiliki perbedaan minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style). Siswa tertentu mungkin lebih mudah belajar dengan cara mendengar, membaca, atau dengan cara melihat. Tetapi bagi siswa yang lain kadang mudah dengan cara melakukan langsung (learning by doing). Karena itu, para guru sebagai fasilitator mengakomodasi perbedaan tersebut dengan menciptakan kegiatan pembelajaran yang beragam, organisasi kelas yang menarik, materi pembelajaran sesuai kebutuhan, waktu belajar yang tepat, alat belajar yang sesuai, dan cara penilaian pun juga dikompromikan.
Dengan keragaman siswa di atas, para guru mengkategorikan strategi pembelajaran ke dalam empat hal. Pertama, somatic. Pola pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek gerak tubuh atau belajar dengan dengan melakukan. Kedua auditif, adalah cara belajar yang lebih menekankan pada aspek pendengaran. Ketiga visual, yaitu cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penglihatan. Keempat intelektual, yaitu cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penalaran atau logika.
Disisi lain, setiap siswa mempunyai berbagai kecerdasan yang dapat dioptimalkan melalui kegiatan pembelajaran. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan linguistik (kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis), logismatematis (kemampuan menggunakan angka dengan baik dan menggunakn penalaran yang benar), spasial (kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akuratdan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut), kinestetis-jasmani (merupakan kecerdasan fisik dalam menggunakan seluruh anggota tubuhnya untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu), interpersonal (kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta persaan orang lain), intrapersonal (kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut), naturalis (keahlian mengenali dan mengategorikan spesies baik flora fauna di lingkungan sekitar), dan kecerdasan musikal (kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara memersepsi, membedakan, mengubah, dan mengekspresikan.
2. Belajar untuk melakukan/berbuat
Melakukan aktifitas adalah bentuk pernyataan diri siswa. Pada hakekatnya siswa belajar sambil melakukan aktifitas, oleh karena iti siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan sendiri, Siswa akan memperoleh harga diri dan kegembiraan kalau diberi kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil kerjanya. Belajar ditekankan karena setiap siswa hanya belajar 10% dari yang dibaca, 20% persen dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, dan 90% dari yang dikatakan dan dilakukan.
3. Mengembangkan kemampuan sosial
Kegiatan pembelajaran tidak hanya mengoptimalkan kemampuan individual siswa secara internal, melainkan juga mengasah kemampuan siswa untuk membangun dengan pihak lain. Karena itu, kegiatan pembelajaran harus dikondisikan yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dengan siswa lain, interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan masyarakat. Dengan pemahaman ini, guru dapat menerapkan berbagai strategi pembelajran yang memungkinkan siswa terlibat dengan pihak lain, misalnya diskusi, pro-kontra sosiodrama dan sebagainya. Sebagai contoh dalam pembelajaran fiqh, siswa dapat diberi tugas melakukan observasi dan membuat laporan tentang pelaksanaan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal di masyarakat. Hasil pengamatan dan laporan itu kemudian dipresentasikan di kelas untuk dibahas bersama.
4. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
Tolak ukur kepandaian siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memecahkan masalah. Karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi menantang kepada pemecahan masalah agar siswa peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat ditumbuhkan jika siswa dihadapkan pada situasi yang memerlukan pemecahannya. Guru berusaha mendorong siswa untuk melihat masalah, merumuskannya dan berupaya memecahkannya sesuai dengan kemampuan siswa. Prinsip ini diterapkan dalam kegiatan pembelajaran nyata di kelas, sehingga pinta kearah pembelajaran aktif siswa mulai terbuka. Untuk itu, sikap terbuka dan cepat tanggap terhadap gejala sosial, udaya dan lingkungan perlu dipupuk ke arah yang positif.
Dalam pembelajaran fiqh siswa dapat diterjunkan langsung ke masyarakat untuk melakukan pengamatan tentang pelaksanaan ibadah shalat, zakat, haji. Dalam hal kemiskinan, misalnya siswa diminta mengidentifikasi sebab-sebab yang menjadikan orang miskin. Siswa dapat ditugaskan secara individual maupun kelompok. Hasil pengamatan dan identifikasi tersebut ditulis sebagai laporan.
5. Mengembangkan kreativitas siswa
Menyadari bahwa setiap siswa lahir dalam keadaan berbeda (individual difference) dan masing-masing memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Karena itu, kegiatan pembelajaran diciptakan sedemikian rupa sehingga membuat setiap siswa optimal potensinya. Di dalam kegiatan pembelajaran harus dikondisikan agar siswa memiliki kesempatan dan kebebasan dalam mengembangkan diri sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Guru berupaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya sebanyak mungkin. Sebagai contoh, dalam hal pelaksanaan ibadah haji siswa diminta membuat urut-urutan pelaksanaan ibadah haji mulai dari keberagkatan dari Tanah Air Indonesia hingga pulang dari tanah suci dengan menggunakan gambar.
6. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
Agar siswa tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, guru mengaitkan materi yang disampaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini dapat diciptakan dengan pemberian tugas yang mengharuskan siswa berhubungan langsung dengan teknologi. Misalnya, membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio, atau internet. Dalam pembelajaran fiqh, siswa dapat diminta mencari data tentang perbankan syari’ah atau membuat ringkasan tentang kuliah subuh di televisi yang ada kaitannya dengan materi pelajaran, misalnya tentang puasa.
7. Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik
Untuk mewujudkan sebagai warga negara Indonesia yang baik, kegiatan pembelajaran perlu diciptakan untuk mengasah kepekaan jiwa mereka terhadap kecintaan terhadap negara-bangsa. Untuk memenuhi target tujuan ini, para guru membuat sebuah contoh yang terkait dengan budaya atau konteks Indonesia. Sebagai contoh, siswa diminta membaca undang-undang perkawinan mengenai kewajiban suami intri, membuat laporan dan mendiskusikannya dengan teman lain di kelas. Selain itu, siswa juga diajak berdiskusi tentang korupsi, terorisme, kemiskinan, dan lain-lain.
8. Belajar sepanjang hayat
Dalam Islam, menuntut ilmu wajib setiap muslim mulai dari kandungan Ibu hingga liang lahat (maut menjemput). Menuntut ilmu tidak dibatasi oleh usia kronologis tertentu atau terbatas pada jenjang pendidikan formal, akan tetapi dapat dilakukan secara informal. Di mana pun dan kapan pun semangat mencari ilmu harus dijiwai oleh seorang muslim. Untuk itu, para guru mendorong siswa untuk terus mencari ilmu di mana pun berada, tidak hanya dibangku sekolah (pendidikan formal) saja, melainkan juga bisa lewat pengajian-pengajian di masyarakat .
9. Perpaduan kompetensi, kerjasama, dan solidaritas
Siswa perlu berkompetisi, bekerja sama dalam mengembangkan solidaritasnya. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan kesempatan kepada siswa guna mengembangkan semangat berkompetisi yang sehat, bekerja sama dan solidaritas. Untuk menciptakan suasana kompetisi, kerjasama, dan solidaritas, kegiatan pembelajaran dapat dikemas dengan strategi diskusi, kunjungan ke tempat pati asuhan yatim piyatu, atau pembuatan laporan secara berkelompok.
Selain prinsip-prinsip kegiatan pembelajaran, guru memperhatikan prinsip-prinsip dalam motivasi. Kesuksesan kegiatan sangat tergantung pada faktor motivasi. Motivasi merupakan daya yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktifitas. Motivasi menjadi faktor yang sangat dominan dalam pencapaian prestasi belajar siswa. Ada dua jenis motivasi yang diberikan guru, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri siswa (intrinsik) dan motivasi yang diakibatkan oleh rangsangan dari luar diri siswa (ekstrinsik). Motivasi intrinsik dapat ditumbuhkan dengan mendorong rasa ingin tahu mencoba serta sikap mandiri dan ingin maju. Dan motivasi ektrinsik dapat dikembangkan dengan memberikan ganjaran atau hukuman.
c. Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa pada Kurikulum PAI
Untuk menepis anggapan bahwa kurikulum PAI adalah sebagai materi momok, maka para guru harus menitikberatkan PAI sebagai ujung tombak untuk mengukir prestasi lulusan yang didambakan stakeholders. Selain bertujuan untuk mencetak lulusan yang trampil sesuai bidang keahliannya, para siswa diharapkan memiliki wawasan keislaman yang kuat dan komitmen dalam menjalankannya. Tugas pokok seperti inilah yang diinginkan sekolah agar citra ke depan lulusan sekolah mampu menunjukkan nilai plus di tengah-tengah persaingan di masyarakat.
Dengan mengacu pada pengalaman yang bertahun-tahun, para guru harus berupaya memberi motivasi kepada siswanya. Adapun upaya sekolah dalam membangkitkan motivasi belajar PAI yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip motivasi sebagai berikut:
1. Kebermaknaan
Materi PAI dikemas dengan pembelajaran yang menarik siswa. Cara ini untuk menghidupkan motivasi belajar siswa agar materi yang dipelajari berguna atau penting baginya. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan yang ada dalam dirinya, seperti bakat, minat dan pengetahuan yang selama ini dimiliki. Untuk itu, kegiatan pembelajaran perlu melihat kecenderungan ini agar materi yang dipelajari berguna bagi siswa. Sebagai contoh, guru memberikan argumentasi tentang perlunya siswa menjahui minum-minuman keras dengan membuat contoh akibat orang yang melakukan perbuatan tersebut.
2. Pengetahuan dan keterampilan prasyarat
Siswa akan lebih terdorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh jika materi pelajaran yang akan diterima terkait dengan sejumlah pengetahuan yang pernah dimiliki. Paling tidak siswa akan memahami dan menafsirkan materi tersebut berdasarkan kemampuan atau pengetahuan yang ada. Sebagai contoh, siswa akan tertarik mempelajari tentang zakat profesi, jika mereka sudah belajar terlebih dahulu tentang makna zakat dalam Islam dan zakat fitrah.
3. Model
Upaya ini dilakukan untuk meneguhkan kepada siswa terhadap sesuatu model yang baik untuk di tiru. Namum sebelumnya siswa harus menguasai pengetahuan dan ketrampilan baru kemudian mereka diberi contoh untuk dilihat dan ditiru. Siswa akan lebih mempercayai bukti daripada perkataan atau ucapan. Untuk itu, guru berupaya memberi banyak ilustrasi atau contoh riil tentang materi yang disampaikan. Siswa akan memahami praktek orang yang berkhutbah jum’at ketimbang sekedar menghapal tentang cara bagaimana berkhutbah jum’at.
4. Komunikasi terbuka
Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik jika ada komunikasi terbuka antara guru dengan siswa. Agar kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik, guru perlu melihat kondisi siswa, baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran perlu dikondisikan sedemikian rupa yang membuat siswa belajar dengan nyaman, tanpa tekanan, atau monoton. Untuk itu strategi yang diterapkan guru tidak boleh hanya satu yang membuat siswa bosan.
5. Keaslian dan tugas yang menantang
Siswa akan terdorong untuk belajar jika ia diberi materi baru dan berbeda. Kebaruan materi akan mendorong siswa untuk belajar. Selain itu siswa perlu diberi tugas baru yang menantang untuk dipecahkan. Hanya saja tugas tersebut jangan terlalu rendah, sehingga menimbulkan kebosanan, atau terlalu tinggi sehingga membuatnya ragu atau cemas untuk memecahkannya.
Dalam pelajaran fiqih, siswa dapat dimunta untuk membuat laporan tentang prosesi pernikahan menurut Jawa, Sunda, Madura, atau Minang dan mempresentasikannya di kelas.
6. Latihan yang Tepat dan Aktif
Kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik jika materi yang disampaikan kepada siswa sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga membuat siswa terlibat secara fisik dan psikis. Karena itu, guru perlu lebih banyak melibatkan siswa untuk memberikan kesempatan mengungkapkan pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan tertentu. Sebagai contoh, dalam bidang ekonimi, siswa diminta secara berkelompok untuk mencatat kegiatan yang diselenggarakan oleh BAZIS atau Baitul Mal.
7. Penilaian Tugas
Siswa akan memperoleh pencapaian belajar yang efektif jika tugas dibagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang atau lama dengan frekuensi pengulangan yang tinggi. Pemberian tugas terlalu sering akan membuat siswa lelah, sebaliknya pemberian tugas yang terlalu lama akan membuat siswa tidak merasa dinilai hasil belajarnya. Yang perlu diingat adalah bentuk penilaian tidak harus dilakukan dikelas dengan mengerjakan tugas secara tertulis, namun penilaian juga dapat dilakukan dengan melihat aktivitas diluar kelas, sehingga siswa tidak akan melakukan perbuatan yang menjadikannya dinilai jelek oleh guru karena aktivitasnya diluar kelas.
8. Kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan
Siswa akan terdorong untuk terus belajar jika kegiatan pembelajaran diselenggarakan secara nyaman dan menyenangkan sehingga siswa terlibat secara fisik maupun psikis. Untuk itu guru perlu menciptakan kondisi kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kecenderungan siswa.guru perlu memberikan penghargaan bagi siswa yang berprestasi. Penghargaan itu dapat bersifat material, seperti hadiah buku dan pensil, tapi juga bisa berupa non-material, misalnya nilai atau applaus.
9. Keragaman pendekatan
Cara belajar siswa cukup beragam, sehingga cara mengelola kegiatan pembelajaranpun harus mempertimbangkan keragaman ini. Karena itu giru dituntut mengondisikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan keragaman tersebut sehingga strategi pembelajaran yang ditawarkan pun harus beragam agar dapat menampung cara belajar siswa, misalnya ceramah, diskusi, sosiodrama, atau praktik lapangan.
10. Mengembangkan Beragam Kemampuan
Kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik, jika ia dikondisikan untuk mengoptimalkan potensi siswa secara keseluruhan, karena kecerdasan tidak hanya tunggal, tapi majemuk seperti kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan natural, maka dalam proses pembelajarannya, guru perlu mempertimbangkan ragam kecerdasan tersebut.
11. Melibatkan Sebanyak Mungkin Indra
Siswa akan menguasai hasil belajar dengan optimal jika dalam belajarnya menggunakan sebanyak mungkin indra untuk berinteraksidg isis pelajaran. Selain menggunakan strategi pengajaran yang mengasah aspek pendengaran, guru hendaknya juga menggunakan strategi belajar yang mempertajam siswa dari aspek penglihatan atau praktek langsung secara fisik agar materi belajar lebih berkesan dalam diri siswa.
12. Keseimbangan Pengaturan Pengalaman Belajar
Siswa akan menguasai materi pelajaran jika pengalaman belajar diatur sedemikian rupa sehingga ia mempunyai kesempatan untuk membuat suatu refleksi penghayatan dan juga mengungkapkan serta mengevaluasi apa yang dipelajari. Pengalaman belajar hendaknya juga menyediakan proporsi yang seimbang antara peberian informasi dan penyajian terapannya. Dalam pembelajaran fiqih, materi thaharah, shalat, puasa, zakat atau haji, akan lebih mudah diterima jika disampaikan melalui praktek langsung daripada menghafal secara kognitif. Memikirkan ulang apa yang sedang dipikirkan atau apa yang sedang dikerjakan merupakan kegiatan penting dalam memantapkan pemahaman. Proses pikir ulang ini akan berjalan dengan baik jika dikondisikan dengan strategi pembelajaran tertentu, misalnya diskusi. Dalam mata pelajaran fiqih, siswa diminta mengamati dan membuat laporan tentang prosesi pernikahan, mulai dari meminang sampai pelaksanaan walimatul urs-nya. Dalam perekonomian, misalnya siswa dapat diminta mengamati tempat-tempat usaha seperti CV atau Firma yang ada disekitar madrasah untuk dikaitkan dengan materi bentuk-bentuk perekonomian dalam Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan telaah di atas, pada bagian ini penulis ingin menyampaikan kesimpulan. Kesimpulan dari hasil pembahasan dan telaah ini, terdiri dari 2 (dua) butir. Kesemuannya merujuk pada permasalahan dan tujuan penulisan makalah yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan.
1. Penerapan kurikulum PAI dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro, dapat dilihat misalnya merancang program pengajaran untuk mengklasifikasikan tugas-tugas yang akan menjadi tuntunan atau agenda utama yang harus dikerjakan dalam proses pengajaran; merumuskan kembali tujuan kurikulum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik di sekolah agar standar mutu yang diharpkan tercapai; menciptakan sumber belajar sebagai pendukung penerapan kurikulum, pembelajaran PAI diarahkan sebagai materi yang mengarah tercapainya tri kompetensi, yakni pemahaman, penghayatan dan perilaku atau perbuatan yang disemangati ajaran Islam.
Sementara pendekatan mikro sebagai tujuan yang lebih sempit, sekolah dapat menentukan tujuan materi agar sesuai dengan kecakapan dan kemampuan peserta didik; mengukur kemampuan awal siswa dan memberikan solusi/alternatif atas ragamnya kemampuan peserta didik sehingga mereka mendapatkan materi yang sesuai dengan tingkatannya, pembentukan perfomansi (perilaku), artinya tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa mampu dan sesuai dengan kemampuannya; Menyusun evaluasi yang sesuai dengan tingkatan kemampuan para siswa.
2. Upaya-upaya yang harus dilakukan guru dalam menerapkan kurikulum PAI yaitu a). Menyusun pendekatan pembelajaran, seperti pendekatan rasional, emosional, pengalaman, pembiasaan, fungsional, dan keteladanan. b). Menerapkan sembilan prinsip impelementasi kurikulum pendidikan al-Islam, seperti; pembelajaran berpusat pada siswa, belajar untuk berbuat atau melakukan, mengembangkan kemampuan atau kepekaan sikap sosialnya, mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah (problem solving), Mengembangkan kreativitas siswa, Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat, memadukan kompetensi, kerjasama, dan solidaritas, c). Membangkitkan motivasi belajar siswa kurikulum al-Islam, seperti; prinsip kebermaknaan, prinsip pengetahuan dan keterampilan prasyarat, prinsip menjadi model, prinsip komunikasi terbuka, memberi tugas yang menantang, Latihan yang tepat dan aktif, penilaian tugas, menciptakan kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indra, keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.
Catatan Akhir
[1] Nurgiyantoro, Burhan, 1988, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah; Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE. Hlm. 2.
[2] Ibid. hal 2-5.
[3] Nasution. S. 1980. Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars. Hlm. 5.
[4] Ibid. Hlm. 6.
[5] Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya. Hlm.53.
[6] Nurgiyantoro, Op.Cit. Hlm. 15.
[7] Tafsir, Op.Cit. Hlm. 56-57.
[8] Wiryokusumo, Op. Cit. hal8-9.
[9] Nurgiyantoro, Op. Cit. Hlm. 6-9.
[10] Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto, 1986. Pembinaan dan pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara. Hlm. 18-20.
[11] Muhaimin, 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 75.
[12] Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 74.
[13] Tafsir, 1994. Op.Cit. Hlm. 131.
[14] Fadjar, A. Malik, 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembagan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI). Hlm. 157.
[15] Fadjar, 1998. Ibid. Hlm. 159-160.
[16] Tafsir, 1994. Op.Cit. Hlm. 66-67.
[17] Silverius, Suke.1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta: PT Grasindo. Hlm. 4.
[18] Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 1.
[19] Nurkancana, Ibid. 3-6.
[20] Majid, Op.Cit. Hlm. 78-80.
[21] Muhaimin, dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Hal 187-197.
[22] Muhaimin, 1993. Op. Cit. Hlm. 193-194.
[23] Soetopo, Op.Cit. Hlm. 49-50.
[24] Nurgiyanto, 1988. Op.Cit. Hlm. 152-153.
[25] Muhaimin, 1993. Op. Cit. Hlm. 194.
[26] Soetopo, 1986. Op. Cit. Hlm. 53-54.
[27] Nurgiyanto, 1988. Op.Cit. Hlm. 154-156.
[28] Nurgiyanto, 1988. Ibid. Hlm. 157-158.
[29] Muhaimin et.al., 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya . Hlm. 78.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad, 1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung.
Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka cipta.
Depdikbud, 1990. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hamalik, Oemar, 1990. Pengembangan Kurikulum; Dasar-Dasar dan Pengembangannya, Bandung: Bandar maju.
Hamalik, Oemar, 1991. Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Bandung: Trigenda karya.
HAR. Tilaar, 2000. Paradigma Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
Hasibuan dan Moedjino, 1995., Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ismail SM., dkk (ed.), 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarya: Pustaka Pelajar.
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimain, dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimin dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin, 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Penerapan , Bandung: Rosdakarya
Nasution. S. 1980. Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars.
Nurgiyantoro, Burhan, 1988. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah; Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE.
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Roestiyah, 1989. Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara.
Silverius, Suke.1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta: PT Grasindo.
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto, 1986. Pembinaan dan pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara.
Supriadi, Dedi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sutisno, Oteng, 1993. Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritik Untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa.
T. Raka Joni, dkk., Wawasan Kependidikan Guru, Depdikbud, Jakarta, 1984.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. IV. Bandung: Rosdakarya.
Tim IKIP Surabaya, 1987. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, Cet. III, Jakarta: Rajawali Press.
Usa, Muslih, (ed.), 1991. Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wirjosukarto, Amir Hamzah, 1968. Pembaruan Pendidikan & Pengajaran,
Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi. 1988. Dasar-dasar pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tabiyah UIN Maliki Malang
Kamis, 25 Februari 2010
Membangun Kualitas Pendidikan di Tengah Era Global
Oleh: Mujtahid
DALAM era global saat ini, setidaknya ada beberapa tuntutan yang harus segera mendapat perhatian serius oleh dunia pendidikan. Di antaranya adalah pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai dedikasi tinggi, tersedianya jaringan informasi yang mampu mengakses segala kebutuhan terhadap pemenuhan pendidikan. Inilah barangkali suatu mimpi yang harus dibangun dan lakukan oleh pendidikan nasional.
Derasnya arus budaya dan informasi Barat yang tidak dapat lagi dibendung, merupakan suatu kenyataan logis bahwa dalam era global sekarang ini semuanya menjadi satu entitas (kesatuan). Karena perubahan tersebut selalu diikuti dengan kecanggihan ilmu dan teknologi. Budaya yang masuk ke negara kita telah mempengaruhi gaya hidup (life style) masyarakat yang semakin maju. Fenomena yang terjadi adalah sikap konsumen masyarakat meniru (imitasi) perilaku Barat. Setidaknya budaya tersebut berimplikasi pada pembentukan pola pikir dan tingkah laku masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan juga tidak menuntut kemungkinan bisa mengikis kesadaran budaya lokal secara berlahan-lahan.
Sebagai upaya untuk menangkal atau mengadaptasikan budaya tersebut maka sangat tergantung pada mutu dan produk pendidikan sebagai proses penyadaran. Namun ada beberapa parameter untuk mengukur kadar sampai seberapa jauh intensitas keseriusan pemerintah dalam mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat dan bangsa ini. Pendidikan kita nampaknya masih banyak mengandung muatan-muatan filosofis dan fiksi. Apalagi bicara tentang membendung budaya luar yang semakin “gila” itu. Hal ini bisa kita saksikan bahwa sistem pendidikan kita masih banyak terlibat pada bias-bias atau kepentingan-kepentingan politik, belum bisa mandiri (otonom). Karena itu, sesungguhnya banyak pula “korban” yang telah dihasilkan oleh pendidikan masa lalu, akibat adanya polarisasi politik yang luar bisa hebatntya.
Kondisi pendidikan di negara kita, dinilai banyak pengamat 60% lebih gagal total. Meskipun kuantitas lembaga pendidikan menjamur dimana-mana, tetapi hasilnya sangat tidak maksimal dan memperhatinkan. Inilah fenomena dan kondisi pendidikan nasional yang sangat memerlukan penanganan serius oleh para ahli atau pakar pendidikan secara profesional dan sungguh-sunguh. Sehingga krisis yang berimplikasi pada semua bidang kehidupan secara luas juga ditentukan oleh salah satunya dari krisis mutu pendidikan itu.
Beberapa dekade terakhir ini, pendidikan kita banyak diwarnai dengan polarisasi politik. Faktor politiklah yang banyak ikut membentuk dan mempengaruhi sistem pendidikan ini, sehingga tidak bisa berjalan secara baik dan maksimal sebagaimana kita harapkan bersama. Kadang-kadang pendidikan dapat dijadikan sebagai mobilisasi untuk melegalkan serta memperkuat kekuasaaan. Akibatnya, citra pendidikan seperti ini menjadi pudar diterpa badai politik oleh kepentingan orang-orang yang bernafas pendek. Budaya politik yang sangat otoriter dan angkuh itu dapat mematikan sistem pendidikan yang seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara cepat dan tepat dan seharusnya pula mampu mengejar ketertinggalan dengan mutu pendidikan luar negeri.
Dr. Kartono Kartini mengajukan sebuah sistem pendidikan demokrasi sebagai pilihan, baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Dasar argumennya adalah kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri muncul dalam masyarakat Indonesia. Karena keinginan untuk merdeka dan demokrasilah yang bisa menjamin kemerdekaan tersebut, dan dengan demikian, membawa cita-cita modernisasi.
Penjabaran dari sistem pendidikan di atas, merupakan tujuan bersama rakyat, melalui negara antara lain kemerdekaan dan mengembangkan kepribadian melalui pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan itu sendiri adalah “membebaskan diri dari berbagai belenggu” atau tegasnya membentuk individu yang paripurna dan bertanggung jawab.
Di samping itu, pendidikan juga bertujuan untuk menumbuhkan kepribadian yang utuh, memperkaya rohani, melatih berfikir, melatih gelisa untuk bertanya dan mencari jawaban sendiri. Tugas pendidikan sebenarnya mengajak untuk sadar diri dan mengerti serta mampu mempraktekkan dalam kehidupan secara riil. Sayangnya, sejauh yang penulis ketahui, bahwa masih banyak para siswa dan tenaga pendidik yang kurang sadar dan memiliki kepekaan tinggi.
Seperti yang dikemukakan oleh Paul Freire (tokoh yang cenderung kiri) mengemukakan dalam thesisnya mengenai pendidikan kaum tertindas. Beliau mengajukan sebuah metode konsientinasi (penyadaran). Metode ini sangat baik untuk dijadikan landasan sebagai sistem pendidikan di negara kita. Dengan metode ini diharapkan pendidikan akan memperlihatkan pencerahan dan tumbuhnya bagi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang demikian ini, akan merangsang jiwa untuk sadar diri, berkreasi dan berimajinasi.
Paul Freire mengecam pendidikan gaya “bank”, sebuah model pendidikan yang tidak mendorong tumbuhnya iklim kondusif untuk bisa maju dan tidak pula menghormati kemerdekaan manusia. Melalui model pendidikan tersebut, siswa dibiarkan tidak diberi kesempatan untuk berfikir, bertanya dan berdialog atau tukar pikiran. Mereka harus “tunduk dan pasrah” kepada guru setiap apa yang disampaikan, tidak diberikan umpan balik sama sekali dan bahkan menghukumnya apabila siswa terlalu “vokal dan kreatif” sehingga membuat guru resah. Siswa diibaratkan oleh Paul Freire sebagai “celengan atau pundi-pundi” yang diisi tampa peduli diserap atau tidak.
Sistem pendidikan seperti ini dapat dijumpai di sana-sini pada pendidikan yang ada. Secara kuantitas, lembaga sekolah (pendidikan) memang memadahi, tetapi kondisi dan gaya seperti itu mana mungkin akan melahirkan sebuah generasi yang berkualitas dan memiliki daya saing dengan keluaran pendidikan dari luar negeri. Banyak lembaga sekolah, baik swasta maupun negeri yang hanya mampu menampung siswa untuk belajar, tetapi belum siap membina dan mengelolanya secara profesional. Inilah kendala kinerja pendidikan yang masih semrawut.
Fenomena di atas, tidak dapat dielakkan lagi dari pandangan kita. Lalu sebenarnya di manakah jalan keluarnya untuk memecahkan persoalan tersebut? Mantan rektor Universitas Indonesia (UI), Mahar Mardjono (Sinergi: 1998), mengemukakan bahwa jika memberikan pada kualitas, maka sarana pendidikan harus dilengkapi sebaik-baiknya. Selain itu, jumlah pelajar harus dibatasi, supaya perhatian guru bisa konsentrasi kepada anak didik.
Di samping itu, tenaga pendidik harus qualified dan memberi waktunya dengan penuh. “Dengan memilih ini, berarti kita akan dapat memberikan pendidikan tersebut bagi sebagian besar orang yang juga membutuhkannya”. Tenaga pendidik juga bisa diambil dari mana saja asalkan mempunyai kredibilitas yang memadahi serta dapat dijadikan contoh secara psikologis bagi siswa.
Demikain pula fasilitas fisik juga mendukung terhadap kondusifitas proses belajar mengajar. Ini harus diperhatikan oleh pendidikan supaya kenyamanan belajar dan interaksi antara guru dan siswa dapat berlajan maksimal. Fasilitas yang perlu dipenuhi itu, seperti laboratorium, perpustakaan, tempat latihan-latihan olah raga, serta sarana pendukung lainnya.
Pendidikan yang baik diibaratkan sebuah “aquarium” yang di dalamnya terdapat ikan pilihan, sirkulaisi udara yang seteril, makanan yang berkualitas, perawat yang profesional dan seterusnya. Begitu juga pendidikan, semua yang berkaitan dengan kelengkapan pendidikan atau proses belajar mengajar harus dilengkapi supaya kegiatan tersebut dapat berjalan dengan sempurna.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
DALAM era global saat ini, setidaknya ada beberapa tuntutan yang harus segera mendapat perhatian serius oleh dunia pendidikan. Di antaranya adalah pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai dedikasi tinggi, tersedianya jaringan informasi yang mampu mengakses segala kebutuhan terhadap pemenuhan pendidikan. Inilah barangkali suatu mimpi yang harus dibangun dan lakukan oleh pendidikan nasional.
Derasnya arus budaya dan informasi Barat yang tidak dapat lagi dibendung, merupakan suatu kenyataan logis bahwa dalam era global sekarang ini semuanya menjadi satu entitas (kesatuan). Karena perubahan tersebut selalu diikuti dengan kecanggihan ilmu dan teknologi. Budaya yang masuk ke negara kita telah mempengaruhi gaya hidup (life style) masyarakat yang semakin maju. Fenomena yang terjadi adalah sikap konsumen masyarakat meniru (imitasi) perilaku Barat. Setidaknya budaya tersebut berimplikasi pada pembentukan pola pikir dan tingkah laku masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan juga tidak menuntut kemungkinan bisa mengikis kesadaran budaya lokal secara berlahan-lahan.
Sebagai upaya untuk menangkal atau mengadaptasikan budaya tersebut maka sangat tergantung pada mutu dan produk pendidikan sebagai proses penyadaran. Namun ada beberapa parameter untuk mengukur kadar sampai seberapa jauh intensitas keseriusan pemerintah dalam mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat dan bangsa ini. Pendidikan kita nampaknya masih banyak mengandung muatan-muatan filosofis dan fiksi. Apalagi bicara tentang membendung budaya luar yang semakin “gila” itu. Hal ini bisa kita saksikan bahwa sistem pendidikan kita masih banyak terlibat pada bias-bias atau kepentingan-kepentingan politik, belum bisa mandiri (otonom). Karena itu, sesungguhnya banyak pula “korban” yang telah dihasilkan oleh pendidikan masa lalu, akibat adanya polarisasi politik yang luar bisa hebatntya.
Kondisi pendidikan di negara kita, dinilai banyak pengamat 60% lebih gagal total. Meskipun kuantitas lembaga pendidikan menjamur dimana-mana, tetapi hasilnya sangat tidak maksimal dan memperhatinkan. Inilah fenomena dan kondisi pendidikan nasional yang sangat memerlukan penanganan serius oleh para ahli atau pakar pendidikan secara profesional dan sungguh-sunguh. Sehingga krisis yang berimplikasi pada semua bidang kehidupan secara luas juga ditentukan oleh salah satunya dari krisis mutu pendidikan itu.
Beberapa dekade terakhir ini, pendidikan kita banyak diwarnai dengan polarisasi politik. Faktor politiklah yang banyak ikut membentuk dan mempengaruhi sistem pendidikan ini, sehingga tidak bisa berjalan secara baik dan maksimal sebagaimana kita harapkan bersama. Kadang-kadang pendidikan dapat dijadikan sebagai mobilisasi untuk melegalkan serta memperkuat kekuasaaan. Akibatnya, citra pendidikan seperti ini menjadi pudar diterpa badai politik oleh kepentingan orang-orang yang bernafas pendek. Budaya politik yang sangat otoriter dan angkuh itu dapat mematikan sistem pendidikan yang seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara cepat dan tepat dan seharusnya pula mampu mengejar ketertinggalan dengan mutu pendidikan luar negeri.
Dr. Kartono Kartini mengajukan sebuah sistem pendidikan demokrasi sebagai pilihan, baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Dasar argumennya adalah kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri muncul dalam masyarakat Indonesia. Karena keinginan untuk merdeka dan demokrasilah yang bisa menjamin kemerdekaan tersebut, dan dengan demikian, membawa cita-cita modernisasi.
Penjabaran dari sistem pendidikan di atas, merupakan tujuan bersama rakyat, melalui negara antara lain kemerdekaan dan mengembangkan kepribadian melalui pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan itu sendiri adalah “membebaskan diri dari berbagai belenggu” atau tegasnya membentuk individu yang paripurna dan bertanggung jawab.
Di samping itu, pendidikan juga bertujuan untuk menumbuhkan kepribadian yang utuh, memperkaya rohani, melatih berfikir, melatih gelisa untuk bertanya dan mencari jawaban sendiri. Tugas pendidikan sebenarnya mengajak untuk sadar diri dan mengerti serta mampu mempraktekkan dalam kehidupan secara riil. Sayangnya, sejauh yang penulis ketahui, bahwa masih banyak para siswa dan tenaga pendidik yang kurang sadar dan memiliki kepekaan tinggi.
Seperti yang dikemukakan oleh Paul Freire (tokoh yang cenderung kiri) mengemukakan dalam thesisnya mengenai pendidikan kaum tertindas. Beliau mengajukan sebuah metode konsientinasi (penyadaran). Metode ini sangat baik untuk dijadikan landasan sebagai sistem pendidikan di negara kita. Dengan metode ini diharapkan pendidikan akan memperlihatkan pencerahan dan tumbuhnya bagi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang demikian ini, akan merangsang jiwa untuk sadar diri, berkreasi dan berimajinasi.
Paul Freire mengecam pendidikan gaya “bank”, sebuah model pendidikan yang tidak mendorong tumbuhnya iklim kondusif untuk bisa maju dan tidak pula menghormati kemerdekaan manusia. Melalui model pendidikan tersebut, siswa dibiarkan tidak diberi kesempatan untuk berfikir, bertanya dan berdialog atau tukar pikiran. Mereka harus “tunduk dan pasrah” kepada guru setiap apa yang disampaikan, tidak diberikan umpan balik sama sekali dan bahkan menghukumnya apabila siswa terlalu “vokal dan kreatif” sehingga membuat guru resah. Siswa diibaratkan oleh Paul Freire sebagai “celengan atau pundi-pundi” yang diisi tampa peduli diserap atau tidak.
Sistem pendidikan seperti ini dapat dijumpai di sana-sini pada pendidikan yang ada. Secara kuantitas, lembaga sekolah (pendidikan) memang memadahi, tetapi kondisi dan gaya seperti itu mana mungkin akan melahirkan sebuah generasi yang berkualitas dan memiliki daya saing dengan keluaran pendidikan dari luar negeri. Banyak lembaga sekolah, baik swasta maupun negeri yang hanya mampu menampung siswa untuk belajar, tetapi belum siap membina dan mengelolanya secara profesional. Inilah kendala kinerja pendidikan yang masih semrawut.
Fenomena di atas, tidak dapat dielakkan lagi dari pandangan kita. Lalu sebenarnya di manakah jalan keluarnya untuk memecahkan persoalan tersebut? Mantan rektor Universitas Indonesia (UI), Mahar Mardjono (Sinergi: 1998), mengemukakan bahwa jika memberikan pada kualitas, maka sarana pendidikan harus dilengkapi sebaik-baiknya. Selain itu, jumlah pelajar harus dibatasi, supaya perhatian guru bisa konsentrasi kepada anak didik.
Di samping itu, tenaga pendidik harus qualified dan memberi waktunya dengan penuh. “Dengan memilih ini, berarti kita akan dapat memberikan pendidikan tersebut bagi sebagian besar orang yang juga membutuhkannya”. Tenaga pendidik juga bisa diambil dari mana saja asalkan mempunyai kredibilitas yang memadahi serta dapat dijadikan contoh secara psikologis bagi siswa.
Demikain pula fasilitas fisik juga mendukung terhadap kondusifitas proses belajar mengajar. Ini harus diperhatikan oleh pendidikan supaya kenyamanan belajar dan interaksi antara guru dan siswa dapat berlajan maksimal. Fasilitas yang perlu dipenuhi itu, seperti laboratorium, perpustakaan, tempat latihan-latihan olah raga, serta sarana pendukung lainnya.
Pendidikan yang baik diibaratkan sebuah “aquarium” yang di dalamnya terdapat ikan pilihan, sirkulaisi udara yang seteril, makanan yang berkualitas, perawat yang profesional dan seterusnya. Begitu juga pendidikan, semua yang berkaitan dengan kelengkapan pendidikan atau proses belajar mengajar harus dilengkapi supaya kegiatan tersebut dapat berjalan dengan sempurna.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Postingan (Atom)