Mujtahid*
HAMPIR semua agama dan filsafat keagamaan sejak dahulu sampai sekarang mengajarkan puasa untuk tujuan penyucian jiwa. Aliran filsafat Greko- Romawi Kuno, Pythagorean, berpendapat bahwa puasa adalah salah satu jalan untuk meraih kembali sifat dasar kesempurnaan manusia. Puasa bagi pemuka agama Hindu dan Jain merupakan kelaziman khususnya pada saat mempersiapkan diri untuk memasuki upacara dan perayaan keagamaan. Demikian pula halnya dengan tradisi klasik agama-agama di Cina. Chai (ritual, puasa fisik), yang kemudian dimodifikasi oleh aliran China Taoisme menjadi Hsin Chai (puasa jiwa) merupakan anjuran khusus. Konsep serupa juga berlaku dalam tradisi Confusionisme yang mencanangkan praktik puasa sebagai persiapan dalam melakukan penyembahan terhadap ruh nenek moyang.
Agama Budha tidak ketinggalan. Walaupun Sidharta Gautama mengajarkan moderasi dalam pelaksanaan puasa, tidak sedikit dari biarawan dan biarawati penganut Budhisme yang melakukan praktik puasa pada hari-hari biasa (hanya makan sekali sehari), dan berpuasa penuh pada awal dan pertengahan bulan. Masa kini penganut Budha banyak yang berpuasa empat kali sebulan saat-saat mengadakan introspeksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Puasa merupakan salah satu arena yang sangat tepat untuk melakukan sebuah dialog batin (inner dialog). Dengan proses dialog batiniah, hakikat puasa adalah latihan kejiwaan (riyadlah al-nafsiyah) manusia yang menggiring kepada kesadaran fitrah. Tanpa dialog batin tersebut, mustakhil penyucian diri akan terwujud dengan baik. Sebab, dialog batini adalah dialog, diskusi dan disputasi yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan ritualitas keagamaan, khususnya ibadah puasa.
Sebagai sebuah dialog batin, kesadaran ini termotivasi dari surat al- Syam yang ditegaskan bahwa “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. 91: 9-10). Selepas keluar dari dialog batin (puasa), diharapkan tidak hanya potensi yang dimiliki oleh manusia akan kembali kepada jalan dan tugasya masing-masing, namun juga menambah rasa keimanan, kecintaan manusia kepada Allah dan lebih-lebih memperoleh predikat taqwa. Artinya bahwa diri manusia selalu dekat dengan keagungan-Nya dalam menatap realitas dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Dialog batin merupakan sarana yang paling monumental sebagai proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) bagi kaum muslim. Karena potensi kejiwaan (nafsiyah) hanya dapat didekati dengan dialog batin. Pendekatan tersebut diasumsikan bahwa unsur ruhani identik dengan senyawa halus yang tidak terlihat secara kasatmata.
Dalam struktur kejiwaan itu, Allah memberikan seperangkat dasar yang cenderung berkembang, hal ini dalam ilmu psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran behaviorisme disebut prepotence reflexs (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berubah-ubah). Dengan proses dialog batin berarti belajar melibatkan stimulasi dan respon. Sehingga apa yang disebut “kapasitas dan potensialitas manusia” dapat terwujud secara utuh.
Melalui proses dialog batin yang terjadi pada diri manusia akan terbangun sebuah kesadaran diri sebagai manusia yang mengemban tanggungjawab, kemampuan memilih, kepekaan hati nurani, keluasan pandangan, dan memiliki kekayaan pengalaman transendental.
Penyakit jiwa jika kita telusuri, pangkal tolaknya adalah hati. Karena hati merupakan jantung kehidupan manusia. Hati adalah penggerak perbuatan manusia. Dari hati nurani timbul suara kebenaran dan kebaikan, dan dari lubuk hati pula muncul bisikan-bisikan dan hawa nafsu. Hati dapat dimengerti sebagai tempat terpadu dua kutup yang saling tarik menarik antara kejujuran dan kebohongan, antara kebenaran dan kepalsuan antara keadilan dan kedzaliman.
Mengenai fungsi hati ini, Rasulullah bersabda “sesungguhnya dalam diri (tubuh) setiap manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh gerak-gerik (perbuatan tubuh) akan baik. Jika ia rusak, seluruh perbuatan (manusia) juga rusak. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim). Seiring dengan hadits tersebut, seorang ahli psikoanalisa modern, Eric Fromm, menyatakan bahwa sebagian besar penyakit manusia modern adalah karena penyakit hati, bukan penyakit fisik (lahir). Dengan demikian, untuk mengobati penyakit tersebut yang diperlukan, bukanlah memeriksakan diri ke dokter spisialis, melainkan kepada agama kebenaran, kepada agama yang mampu memberikan nilai-nilai kasih sayang, kepada al- Qur’an yang merupakan syifa’ (obat penawar).
Proses penyucian hati hanya dapat dilakukan dengan dialog batin, berkomunikasi, mengingat (dzikir) kepada Allah. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat al- Ra’ad “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang dan damai (QS. 13:28). Proses dialog batin berarti melatih perasaan jiwa (diri) supaya terdorong hatinya kepada jalan dan ridha Allah. Sebab ridha merupakan salah satu bagian dari akhlak seorang muslim kepada Allah. Tuhan yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.
Dialog batin berarti juga mendorong manusia pada sikap tawadhu’ (rendah diri). Tidak merasa dirinya yang paling benar dan semua yang datang selain dia dianggap salah. Sikap mulia ini termotivasi dari kesadaran batin yang bersih. Sehingga Allah mengingatkan kepada manusia dalam surat al Furqan “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah diri (tawadhu’) (QS. 25:63). Sikap tawadhu’ inilah yang mengangkat derajat manusia ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana Rasulullah bersabda; “Tawadhu’, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba keculai ketinggian (derajat). Oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu”. Orang yang tawadhu’ biasanya dibarengi dengan sikap muraqqabah (waspada). Dengan sikap ini berarti dialog batin mengajak hati manusia selalu melakukan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri), merenungkan sejauhmana kualitas amal yang diperbuat, seberapa jauh kepekaan hatinya terhadap realitas sosial, dan seterusnya.
Dari proses dialog batin, manusia diharapkan “kembali” kepada asalnya yakni keadaan fitrah (suci). Sikap kembali, bukan saja memerlukan sebuah loncatan keberanian, tetapi juga kesiapan segala perubahan dalam jiwa (diri) manusia. Dan puasa adalah waktu yang sangat tepat sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan (penyucian) diri itu. Puasa dianggap gagal kalau tidak membuahkan sebuah perubahan diri yang jauh lebih baik dari hari sebelumnya. “Barang siapa yang hari ini sama seperti kemarin maka ia merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia pandai (beruntung), dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari kemarin, maka ia terlaknat (HR. Bahaqi). Semoga puasa yang kita jalankan pada bulan ini akan lebih baik dari puasa bulan kemarin.***
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Kamis, 17 September 2009
Rabu, 16 September 2009
Upaya Menjaga Kebersihan Hati
Mujtahid *
Tuhan menurunkan kepada manusia dua sifat, yaitu sifat hasanah (baik) dan sifat sayyi'ah (jelek). Kedua sifat ini selalu melekat pada diri manusia sepanjang hayatnya. Tetapi, sifat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi hati (kalbu), sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia.
Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran, pemikiran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan bagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.
Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi publik figur yang sangat disegani, dihormati karena hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampai membuka kartu rahasia, bahwa salah satu kesuksesan dirinya menjalani seorang sufi, yaitu karena ia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir maupun bathin.
Adapun metode untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha'i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur'an, Athaillah menyerukan: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.
Kiat untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.
Satu hal lagi yang menjadi catatan agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."
Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, tentu semata-mata karena hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tuhan menurunkan kepada manusia dua sifat, yaitu sifat hasanah (baik) dan sifat sayyi'ah (jelek). Kedua sifat ini selalu melekat pada diri manusia sepanjang hayatnya. Tetapi, sifat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi hati (kalbu), sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia.
Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran, pemikiran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan bagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.
Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi publik figur yang sangat disegani, dihormati karena hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampai membuka kartu rahasia, bahwa salah satu kesuksesan dirinya menjalani seorang sufi, yaitu karena ia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir maupun bathin.
Adapun metode untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha'i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur'an, Athaillah menyerukan: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.
Kiat untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.
Satu hal lagi yang menjadi catatan agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."
Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, tentu semata-mata karena hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Selasa, 15 September 2009
Mudik Kampung
Mujtahid*
SETIAP tahun, jumlah pemudik lebaran mengalami peningkatan. Tahun ini diprediksi meningkat lebih tinggi dari tahun kemarin. Ritual tahunan ini selain membuat ruas jalan transportasi arus utama menjadi sangat padat, juga rawan kecelakaan (bahaya) dan mengundang tindakan kriminal. Tak hanya itu, harga tiketpun juga sebagian mengalami kenaikan sesaat.
Kalau setiap tahun mengalami kenaikan kuantitas pemudik, berarti pada setiap tahunnya juga mengalami “urbanisasi” pada semua kelas masyarakat, baik para pekerja, pelajar, pedagang, politisi ataupun para “pengemis”. Semarak lebaran atau Hari Raya Idul Fitri menjadikan hati mereka teringat kembali akan kampung halamannya masing-masing.
Tradisi mudik memang sangat unik. Dibilang unik karena ada sebuah ‘magnit batin’ atau ikatan emosional antara pelaku dengan keluarga, sanak saudara, komunitas kampungnya, serta kekhasan lain, seperti kerinduan akan makanan, minuman, budaya, ritual dan sebagainya.
Budaya lebaran atau “riyayan” hingga saat ini ternyata masih sangat kuat. Padahal di zaman yang sudah mengalami perubahan sangat besar khususnya teknologi dan informasi juga tidak mampu menggantikan tradisi dan ritual tahunan ini. Sejak dulu masyarakat Indonesia, mulai dari aspek tradisi-budaya hingga kesukuan, memang dikenal sangat kuat jiwa paternalistiknya. Penyatuan mereka terasa kembali utuh jika mereka bisa bertemu dengan orang-orang dekat, keluarga, bahasa, kampung, serta karakteristik lainnya.
Jiwa rindu, cinta, dan kasih sayang pantas hanya untuk insan (manusia) yang berhati suci. Tatkala mereka lama meninggalkan segala apa yang mereka tinggalkan, maka ada saatnya mereka untuk bisa bertemu kembali, yaitu melalui mudik lebaran. Ada luapan perasaan dari lubuk hati sanubari yang dalam yakni suka cita yang terpancar disaat berkumpul bersama orangtua, suami, istri, anak, dan keluarga dekat.
Kalau boleh diilustrasikan, sepertinya ada semacam suntikan energi (cahaya/kekuatan baru) yang merasuk kedalam dada sanubari seorang insan, setelah bersilaturrahim dengan mereka itu. Jiwa saling memafkan, mendo’akan, “berbagi” merupakan “manhaj” atau jalan untuk melepaskan rasa kangen dan menyambung kembali tali ikat persaudaraan (ukhuwah) yang telah terputus, karena pekerjaan, tugas belajar, merantau mencari nasib keberuntungan, dan seterusnya.
Untuk menata jalan ‘hidup yang panjang’ memang butuh nasehat, pengalaman, dan do’a dari orangtua, keluarga kerabat bahkan dari siapapun. Sehingga sesukses apapun orang, jalan itu sangat penting untuk tetap dilestarikan. Yaitu dengan cara menyapa orangtua, saudara, keluarga dekat, guru, serta siapa saja yang pernah berjasa. Moment lebaran adalah suasana untuk memperkukuh tali persaudaraan yang terputus dan melepaskan segala prasangka buruk dan keji kepada siapapun.
Semoga para pemudik tahun ini dapat menemukan makna dan arti yang hakiki dari tradisi ritual yang mensejarah itu. Proses mudik yang dilakukan tidak menambah beban kepada banyak pihak, tetapi mampu menemukan solusi, menumbuhkan jiwa yang fitri, tulus, jujur dan sabar.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SETIAP tahun, jumlah pemudik lebaran mengalami peningkatan. Tahun ini diprediksi meningkat lebih tinggi dari tahun kemarin. Ritual tahunan ini selain membuat ruas jalan transportasi arus utama menjadi sangat padat, juga rawan kecelakaan (bahaya) dan mengundang tindakan kriminal. Tak hanya itu, harga tiketpun juga sebagian mengalami kenaikan sesaat.
Kalau setiap tahun mengalami kenaikan kuantitas pemudik, berarti pada setiap tahunnya juga mengalami “urbanisasi” pada semua kelas masyarakat, baik para pekerja, pelajar, pedagang, politisi ataupun para “pengemis”. Semarak lebaran atau Hari Raya Idul Fitri menjadikan hati mereka teringat kembali akan kampung halamannya masing-masing.
Tradisi mudik memang sangat unik. Dibilang unik karena ada sebuah ‘magnit batin’ atau ikatan emosional antara pelaku dengan keluarga, sanak saudara, komunitas kampungnya, serta kekhasan lain, seperti kerinduan akan makanan, minuman, budaya, ritual dan sebagainya.
Budaya lebaran atau “riyayan” hingga saat ini ternyata masih sangat kuat. Padahal di zaman yang sudah mengalami perubahan sangat besar khususnya teknologi dan informasi juga tidak mampu menggantikan tradisi dan ritual tahunan ini. Sejak dulu masyarakat Indonesia, mulai dari aspek tradisi-budaya hingga kesukuan, memang dikenal sangat kuat jiwa paternalistiknya. Penyatuan mereka terasa kembali utuh jika mereka bisa bertemu dengan orang-orang dekat, keluarga, bahasa, kampung, serta karakteristik lainnya.
Jiwa rindu, cinta, dan kasih sayang pantas hanya untuk insan (manusia) yang berhati suci. Tatkala mereka lama meninggalkan segala apa yang mereka tinggalkan, maka ada saatnya mereka untuk bisa bertemu kembali, yaitu melalui mudik lebaran. Ada luapan perasaan dari lubuk hati sanubari yang dalam yakni suka cita yang terpancar disaat berkumpul bersama orangtua, suami, istri, anak, dan keluarga dekat.
Kalau boleh diilustrasikan, sepertinya ada semacam suntikan energi (cahaya/kekuatan baru) yang merasuk kedalam dada sanubari seorang insan, setelah bersilaturrahim dengan mereka itu. Jiwa saling memafkan, mendo’akan, “berbagi” merupakan “manhaj” atau jalan untuk melepaskan rasa kangen dan menyambung kembali tali ikat persaudaraan (ukhuwah) yang telah terputus, karena pekerjaan, tugas belajar, merantau mencari nasib keberuntungan, dan seterusnya.
Untuk menata jalan ‘hidup yang panjang’ memang butuh nasehat, pengalaman, dan do’a dari orangtua, keluarga kerabat bahkan dari siapapun. Sehingga sesukses apapun orang, jalan itu sangat penting untuk tetap dilestarikan. Yaitu dengan cara menyapa orangtua, saudara, keluarga dekat, guru, serta siapa saja yang pernah berjasa. Moment lebaran adalah suasana untuk memperkukuh tali persaudaraan yang terputus dan melepaskan segala prasangka buruk dan keji kepada siapapun.
Semoga para pemudik tahun ini dapat menemukan makna dan arti yang hakiki dari tradisi ritual yang mensejarah itu. Proses mudik yang dilakukan tidak menambah beban kepada banyak pihak, tetapi mampu menemukan solusi, menumbuhkan jiwa yang fitri, tulus, jujur dan sabar.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Menanti Sastra yang Mencerdaskan
Mujtahid*
SASTRA merupakan salah satu cara mengungkapkan ekpresi jiwa, perasaan, pikiran di tengah suasana yang hidup, bukan ruang kosong. Sastra bukan hanya mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang sangat dalam, mengena dan lugas. Tak hanya itu, sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.
Relasi sastra dengan keadaan masyarakat merupakan hubungan dialektis, yang saling mempengaruhi perkembangannya. Posisi sastra harus menempatkan tema pesan sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat.
Dalam sastra mengandung dimensi makna yang sangat luas, tergantung pelakunya. Seperti sastrawan atau budayaman Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, apa yang dikaryakan memantik pesan sosial dan religius. Sumber inspirasinya adalah bermula dari sikap, ide dan pandangan dia terhadap realitas yang mengitarinya.
Menurut Jabrohim, seorang sastrawan “akademis” menyatakan bahwa sebuah hasil karya sastra yang genuin (asli) adalah karya yang memiliki hubungan timbal balik antara sastrawan melalui karya sastranya dengan masyarakat.
Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penyair senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Setiap penyair pasti tidak hidup dalam ruang yang hampa, tetapi dinamis dan kompleks. Sehingga hasil sebuah sastra bukanlah berdiri sendiri (otonom), melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.
Untuk menyelami siratan makna sastra, kata Jabrohim, dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan religius. Dengan pendekatan sosiologis, maka akumulai dari konteks sosial sastrawan, cermin masyarakat dan fungsi sosialnya dapat terbaca secara komprehensif. Sedangkan dengan apendekatan religius, maka nilai-nilai sastra terlihat menyiratkan inti (core) kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Tuhan).
Kalau kita mau baca kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Cak Nun, misalnya, kita akan mendapatkan siratan makna yang bersifat sosio-religius. Siratan makna puisi tersebut berupa ekspresi dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan seorang penyair yang melihat berbagai ketimpangan sosial yang melingkupinya.
Selain itu, puisi semacam itu juga menampilkan kegelisahan religius penyairnya sebagai akibat interaksi sosial dan kerinduan kepada Tuhan serta sikap-sikap religius yang lain.
Lahirnya sebuah sastra tentu berangkat dari alam pikir yang cerdas dan hati yang lembut. Sebab sastra yang mencerdaskan merupakan sarat dengan nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya. Semua pengalaman menjadi ide karya untuk dikembangkan melalui kemampuan imajinasi, dengan pendalaman masalah, lewat wawasan pemikiran dan sebagainya, sehingga melahirkan suatu karya yang benar-benar utuh dan bulat.
Sastra yang mencerdaskan harus mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis yang memihak pada golongan yang lemah. Dengan demikian, sastra yang bernilai tinggi adalah cermin dari kultur masyarakat, bahkan bagian dari karakter masyarakat itu sendiri.
*) Dosen UIN Maliki Malang
SASTRA merupakan salah satu cara mengungkapkan ekpresi jiwa, perasaan, pikiran di tengah suasana yang hidup, bukan ruang kosong. Sastra bukan hanya mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang sangat dalam, mengena dan lugas. Tak hanya itu, sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.
Relasi sastra dengan keadaan masyarakat merupakan hubungan dialektis, yang saling mempengaruhi perkembangannya. Posisi sastra harus menempatkan tema pesan sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat.
Dalam sastra mengandung dimensi makna yang sangat luas, tergantung pelakunya. Seperti sastrawan atau budayaman Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, apa yang dikaryakan memantik pesan sosial dan religius. Sumber inspirasinya adalah bermula dari sikap, ide dan pandangan dia terhadap realitas yang mengitarinya.
Menurut Jabrohim, seorang sastrawan “akademis” menyatakan bahwa sebuah hasil karya sastra yang genuin (asli) adalah karya yang memiliki hubungan timbal balik antara sastrawan melalui karya sastranya dengan masyarakat.
Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penyair senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Setiap penyair pasti tidak hidup dalam ruang yang hampa, tetapi dinamis dan kompleks. Sehingga hasil sebuah sastra bukanlah berdiri sendiri (otonom), melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.
Untuk menyelami siratan makna sastra, kata Jabrohim, dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan religius. Dengan pendekatan sosiologis, maka akumulai dari konteks sosial sastrawan, cermin masyarakat dan fungsi sosialnya dapat terbaca secara komprehensif. Sedangkan dengan apendekatan religius, maka nilai-nilai sastra terlihat menyiratkan inti (core) kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Tuhan).
Kalau kita mau baca kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Cak Nun, misalnya, kita akan mendapatkan siratan makna yang bersifat sosio-religius. Siratan makna puisi tersebut berupa ekspresi dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan seorang penyair yang melihat berbagai ketimpangan sosial yang melingkupinya.
Selain itu, puisi semacam itu juga menampilkan kegelisahan religius penyairnya sebagai akibat interaksi sosial dan kerinduan kepada Tuhan serta sikap-sikap religius yang lain.
Lahirnya sebuah sastra tentu berangkat dari alam pikir yang cerdas dan hati yang lembut. Sebab sastra yang mencerdaskan merupakan sarat dengan nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya. Semua pengalaman menjadi ide karya untuk dikembangkan melalui kemampuan imajinasi, dengan pendalaman masalah, lewat wawasan pemikiran dan sebagainya, sehingga melahirkan suatu karya yang benar-benar utuh dan bulat.
Sastra yang mencerdaskan harus mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis yang memihak pada golongan yang lemah. Dengan demikian, sastra yang bernilai tinggi adalah cermin dari kultur masyarakat, bahkan bagian dari karakter masyarakat itu sendiri.
*) Dosen UIN Maliki Malang
Selasa, 08 September 2009
Islam Menuju Pendekatan “Revolusi Ilmiah”
Oleh: Mujtahid*
RAHMAN dalam bukunya yang berjudul “Islam” (1966) memperkenalkan suatu kajian Islam dengan pendekatan substansial dan kontekstual. Rumusan-rumusan pikirannya telah mengguncangkan dunia Islam dan tidak sedikit dari gugusan ide pemikirannya bersebrangan dengan pemikir-pemikir muslim terkemuka, khususnya dari kalangan fundamentalis atau literalis. Salah satu usaha Rahman dalam memahami Islam yang substansi adalah menempatkan ajaran pokok (wahyu) dan daya nalar secara seimbang.
Tulisan ini ingin menyuguhkan usaha awal untuk mencari model pendekatan pemikiran Islam kontemporer. Berdasarkan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat, Islam akan semakin dapat bergelut dengan dunia pemikiran sepanjang di dalamnya terdapat kecenderungan yang positif kearah sana. Salah satu upaya untuk memenuhi keinginan itu, melalui paparan ini akan menyuguhkan sebuah pemikiran tentang Islam menuju pendekatan “revolusi ilmiah”.
Sumber ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup manusia haruslah dimulai dengan proses keyakinan batini dan nalar ilmiah. Mensintesakan kedua potensi manusia tersebut bukanlah hal yang mudah. Karena, selain sumber ajaran yang mutlak (wahyu), ternyata akal merupakan sumber yang sangat “berpotensi” besar dalam membantu untuk merealisaikan pesan moral dan semangat ilmiah dari doktrin kewahyuan maupun kenabian. Tanpa dukungan akal dan semangat ilmiah, perintah-perintah suci ilahiyah yang hanya di terapkan dengan pendekatan parsial dan ad hoc tidak akan memberi solusi terhadap problem-problem masa kini yang sedang dihadapi ummat.
Penekanan demikian ini mendorong seseorang untuk mengusai metodologi dan pendekatan yang baik. Bukan asal menerapkan tanpa tahu sebab-musabab dan asal-usul sumber wahyu tersebut kapan dan di mana ia turun. Karena itu, metodologi dan pendekatan merupakan cara yang sangat penting untuk menjelaskan makna substansi dari doktrin tersebut. Seseorang harus mengkajinya dalam konteks latar belakang sosio-historisnya. Baik secara individual maupun keseluruhan, jika tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadahi, menurut Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap elan dan maksud ayat-ayat ilahiyah serta aktivitas Nabi, baik di Mekkah maupun di Madinah.
Secara jujur, sebenarnya sangat sulit bagi manusia pada umumnya, untuk menyusup ke dasar firman Tuhan, tetapi dengan bantuan akal, manusia dapat menyingkap otoritas perintah dan kehendak Tuhan sekalipun. Dengan begitu, berati todak ada suatu persoalan di dunia ini, yang tidak bisa dipecahkan. Karena akal berpotensi untuk menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun.
Peranan rasio bukan berarti mendorong manusia pada pemikiran sekuler. Tetapi justru sebagai alat untuk memformulasikan ikatan dogmatis yang normatif menjadi nilai-nilai praksis sebagaimana cita-cita Islam sejati. Dengan pemahaman ini kata Cak Nur –sebutan akrab Nurcholish Madjid- Islam tampak sebagai agama yang menyenangkan dan mudah dilakukan oleh pemeluknya. Hal inilah yang menjadi citra Islam bahwa ia adalah agama pembebas. Yang berarti memberikan kemerdekaan bagi manusia untuk beragama, bukan suatu paksaan atau fitrah yang tak berkembang. Dalam masalah ini, sekulerisasi menjadi penting untuk merealisasikan sesuatu yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan kata lain, pensakralan (pemutlakan transendensi) hanya kepada Tuhan dan proses penduniawiaan terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar bersifat ilahiyah (transedental) yakni dunia ini. Jadi kita tidak perlu takut terhadap anggapan sebagian ilmuan bahwa berfikir sekuler akan melindas fungsi agama karena datangnya kekuatan rasional. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang meremehkan Islam.
Sekulerisasi terhadap ajaran Islam tidaklah cukup, tetapi harus di imbangi dengan liberalisasi. Liberalisasi-kata Cak Nur- sebagai sebuah upaya untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Kalau liberasi tidak dilakukan, maka berakibat yang cukup parah, yakni Islam menjadi senilai dengan tradisi, membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, dan menjadi islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner, yang tidak sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Sudah menjadi keharusan, bahwa liberasi membuka peluang adanya intellectual freedom (kebebasan berfikir), idea of progress, dan sikap terbuka bagi ummat Islam. Kebebasan berfikir berarti kemerdekaan untuk menyatakan segala bentuk pikiran dan ide, betapa pun aneh kedengarannya di telinga, karena tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu ternyata kemudian benar.
Selanjutnya, idea of progress adalah ide yang bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan, kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi idea of progress ini ialah sikap mental yang terbuka berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran.
Suatu ranah pemikiran yang lebih bersifat praksis, Moeslim Abdurrahman, menawarkan teologi transformatif. Teologi ini menaruh perhatian tentang persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini yang dianggap merupakan struktur yang menjadikan banyak ummat manusia tidak mampu mengekpresikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Munculnya pemikiran ini berangkat dari kepentingan sosial-ekonomi karena adanya struktur yang tidak adil. “Orang jauh dari agama”, kata Moeslim, antara lain disebabkan faktor adanya jarak sosial-ekonomi yang cukup jauh antara mereka yang dhuafa’ dengan pusat-pusat ortodoksi agama. Secara fisik, jarak antara masjid dan pasar itu sangat dekat, tetapi secara ekonomis tidak jarang banyak ‘bakul gendongan’ tidak bisa berteduh di situ karena rasa malu, bahkan maqam-nya bergaul (tokoh-tokoh itu hanya) dengan orang-orang “saleh” berkecukupan hidupnya.
Berbeda dengan pandangan Cak Nur dan Moeslim, Kunto-sapaan akrab Kuntowijoyo- menawarkan paradigma baru yang dikenal dengan sebutan ilmu sosial profetik. Meskipun substansi di antara pemikiran mereka tidak jauh berbeda, namun Kunto memaparkan gagasannya jauh lebih elaboratif dan didukung dengan landasan normatif yang kuat, yakni surat Ali Imran ayat 110. Kata Kunto, ayat tersebut mengandung tiga muatan dan menjadi landasan bagi perubahan masyarakat Islam. Muatan itu adalah adanya cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga muatan inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik.
Selanjutnya, dengan kandungan nilai di atas, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Dengan ilmu sosial profetik, kata Kunto, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap Mode of Thought dan Mode of Inquiry, bahwa pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan emperis, tetapi juga wahyu. Dengan ilmu sosial profetik ini bukan berarti harus menutup diri dari khazanah ilmu Barat maupun Timur. Tetapi justru harus terbuka; bersedia menerima khazanah ilmu dari mana pun, karena kita merupakan pewaris tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Akan tetapi, penerimaan itu, tetap dipandang sebagai proses theory-building –yakni Islam itu merupakan alternatif.
(Bersambung)
*) Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
RAHMAN dalam bukunya yang berjudul “Islam” (1966) memperkenalkan suatu kajian Islam dengan pendekatan substansial dan kontekstual. Rumusan-rumusan pikirannya telah mengguncangkan dunia Islam dan tidak sedikit dari gugusan ide pemikirannya bersebrangan dengan pemikir-pemikir muslim terkemuka, khususnya dari kalangan fundamentalis atau literalis. Salah satu usaha Rahman dalam memahami Islam yang substansi adalah menempatkan ajaran pokok (wahyu) dan daya nalar secara seimbang.
Tulisan ini ingin menyuguhkan usaha awal untuk mencari model pendekatan pemikiran Islam kontemporer. Berdasarkan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat, Islam akan semakin dapat bergelut dengan dunia pemikiran sepanjang di dalamnya terdapat kecenderungan yang positif kearah sana. Salah satu upaya untuk memenuhi keinginan itu, melalui paparan ini akan menyuguhkan sebuah pemikiran tentang Islam menuju pendekatan “revolusi ilmiah”.
Sumber ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup manusia haruslah dimulai dengan proses keyakinan batini dan nalar ilmiah. Mensintesakan kedua potensi manusia tersebut bukanlah hal yang mudah. Karena, selain sumber ajaran yang mutlak (wahyu), ternyata akal merupakan sumber yang sangat “berpotensi” besar dalam membantu untuk merealisaikan pesan moral dan semangat ilmiah dari doktrin kewahyuan maupun kenabian. Tanpa dukungan akal dan semangat ilmiah, perintah-perintah suci ilahiyah yang hanya di terapkan dengan pendekatan parsial dan ad hoc tidak akan memberi solusi terhadap problem-problem masa kini yang sedang dihadapi ummat.
Penekanan demikian ini mendorong seseorang untuk mengusai metodologi dan pendekatan yang baik. Bukan asal menerapkan tanpa tahu sebab-musabab dan asal-usul sumber wahyu tersebut kapan dan di mana ia turun. Karena itu, metodologi dan pendekatan merupakan cara yang sangat penting untuk menjelaskan makna substansi dari doktrin tersebut. Seseorang harus mengkajinya dalam konteks latar belakang sosio-historisnya. Baik secara individual maupun keseluruhan, jika tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadahi, menurut Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap elan dan maksud ayat-ayat ilahiyah serta aktivitas Nabi, baik di Mekkah maupun di Madinah.
Secara jujur, sebenarnya sangat sulit bagi manusia pada umumnya, untuk menyusup ke dasar firman Tuhan, tetapi dengan bantuan akal, manusia dapat menyingkap otoritas perintah dan kehendak Tuhan sekalipun. Dengan begitu, berati todak ada suatu persoalan di dunia ini, yang tidak bisa dipecahkan. Karena akal berpotensi untuk menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun.
Peranan rasio bukan berarti mendorong manusia pada pemikiran sekuler. Tetapi justru sebagai alat untuk memformulasikan ikatan dogmatis yang normatif menjadi nilai-nilai praksis sebagaimana cita-cita Islam sejati. Dengan pemahaman ini kata Cak Nur –sebutan akrab Nurcholish Madjid- Islam tampak sebagai agama yang menyenangkan dan mudah dilakukan oleh pemeluknya. Hal inilah yang menjadi citra Islam bahwa ia adalah agama pembebas. Yang berarti memberikan kemerdekaan bagi manusia untuk beragama, bukan suatu paksaan atau fitrah yang tak berkembang. Dalam masalah ini, sekulerisasi menjadi penting untuk merealisasikan sesuatu yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan kata lain, pensakralan (pemutlakan transendensi) hanya kepada Tuhan dan proses penduniawiaan terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar bersifat ilahiyah (transedental) yakni dunia ini. Jadi kita tidak perlu takut terhadap anggapan sebagian ilmuan bahwa berfikir sekuler akan melindas fungsi agama karena datangnya kekuatan rasional. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang meremehkan Islam.
Sekulerisasi terhadap ajaran Islam tidaklah cukup, tetapi harus di imbangi dengan liberalisasi. Liberalisasi-kata Cak Nur- sebagai sebuah upaya untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Kalau liberasi tidak dilakukan, maka berakibat yang cukup parah, yakni Islam menjadi senilai dengan tradisi, membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, dan menjadi islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner, yang tidak sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Sudah menjadi keharusan, bahwa liberasi membuka peluang adanya intellectual freedom (kebebasan berfikir), idea of progress, dan sikap terbuka bagi ummat Islam. Kebebasan berfikir berarti kemerdekaan untuk menyatakan segala bentuk pikiran dan ide, betapa pun aneh kedengarannya di telinga, karena tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu ternyata kemudian benar.
Selanjutnya, idea of progress adalah ide yang bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan, kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi idea of progress ini ialah sikap mental yang terbuka berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran.
Suatu ranah pemikiran yang lebih bersifat praksis, Moeslim Abdurrahman, menawarkan teologi transformatif. Teologi ini menaruh perhatian tentang persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini yang dianggap merupakan struktur yang menjadikan banyak ummat manusia tidak mampu mengekpresikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Munculnya pemikiran ini berangkat dari kepentingan sosial-ekonomi karena adanya struktur yang tidak adil. “Orang jauh dari agama”, kata Moeslim, antara lain disebabkan faktor adanya jarak sosial-ekonomi yang cukup jauh antara mereka yang dhuafa’ dengan pusat-pusat ortodoksi agama. Secara fisik, jarak antara masjid dan pasar itu sangat dekat, tetapi secara ekonomis tidak jarang banyak ‘bakul gendongan’ tidak bisa berteduh di situ karena rasa malu, bahkan maqam-nya bergaul (tokoh-tokoh itu hanya) dengan orang-orang “saleh” berkecukupan hidupnya.
Berbeda dengan pandangan Cak Nur dan Moeslim, Kunto-sapaan akrab Kuntowijoyo- menawarkan paradigma baru yang dikenal dengan sebutan ilmu sosial profetik. Meskipun substansi di antara pemikiran mereka tidak jauh berbeda, namun Kunto memaparkan gagasannya jauh lebih elaboratif dan didukung dengan landasan normatif yang kuat, yakni surat Ali Imran ayat 110. Kata Kunto, ayat tersebut mengandung tiga muatan dan menjadi landasan bagi perubahan masyarakat Islam. Muatan itu adalah adanya cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga muatan inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik.
Selanjutnya, dengan kandungan nilai di atas, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Dengan ilmu sosial profetik, kata Kunto, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap Mode of Thought dan Mode of Inquiry, bahwa pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan emperis, tetapi juga wahyu. Dengan ilmu sosial profetik ini bukan berarti harus menutup diri dari khazanah ilmu Barat maupun Timur. Tetapi justru harus terbuka; bersedia menerima khazanah ilmu dari mana pun, karena kita merupakan pewaris tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Akan tetapi, penerimaan itu, tetap dipandang sebagai proses theory-building –yakni Islam itu merupakan alternatif.
(Bersambung)
*) Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
GERAKAN PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH:
(Antara Purifikasi dan Modernisasi)
BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah “bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana.”[1] Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.[2] Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.
A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid’ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur’an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[3] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.[4]
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan “faktor misi Kristen” ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.
B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut ‘tajdid’, dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid’ah dan Khurafat. [5] Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[6]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid’ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan “pemurnian” (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[7] Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do’a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘’sing mbau rekso” juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[8]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru–murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[9]
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[10]
C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[11]
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[12]
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[13]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari’ah
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi “normativitas” wahyu dengan “historisitas” pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[14] berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks “normatifitas” dengan teks “historisitas”. Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
D. Metodologi Pemikiran Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembaharu dalam model pemikiran Islam. Berbeda dengan organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah nampaknya sangat kritis terhadap persoalan-persolan kaagamaan dan sekaligus persoalan sosial. Sehingga dalam dataran praksisnya Muhammadiyah lebih terkesan sebagai organisasi yang anti kemapanan, organisasi yang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu yang selalu berubah.
Dari sekian banyak model pemikiran, Muhammadiyah tentu sealur dengan model pemikiran modernisme dan neo-modernisme. Oleh karena itu, Muhammadiyah dalam hal pemikiran lebih mengutamakan rasionalitas, daripada pemikiran normatif an sich. Sehingga ciri yang menonjol pada diri Muhammadiyah adalah sikap “kritis” (critical though) yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu. Sikap kritis ini sebanarnya sama halnya aliran modern (modernisme) dalam wacana pemikiran Islam. Adapun neo-modernisme dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, keduanya sama-sama mengedepankan nilai-nilai spiritualitas pada satu pihak, dan unggul dalam intelektualitas di pihak lain. Karena modernisme saja tidaklah cukup menjadi bahan referensi untuk menghadapi era global yang melaju dengan cepat. Dua sisi ini menjadi trade mark yang selalu menjadi jargon dalam gerakan Muhammadiyah .
E. Penutup
Dari dua paparan di atas, dapat dibedakan bahwa antara purifikasi dan tajdid terdapat perbedaan yakni pada tataran formulasi atau terapinya. Kalau purifikasi fokusnya lebih kepada dekonstruksi budaya sinkretik yang tercampur dengan ajaran Islam, sedangkan tajdid adalah pembaruan dalam pemikiran Islam untuk menyelaraskan dengan perkembangan dan tuntutan ruang dan waktu. Purifikasi lebih menitik beratkan kepada “pemurnian” atau “pelurusan” sedangkan tajdid menitik beratkan pada “konstektualisasi” atau “pribumisasi” doktrin Islam.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
------------, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
------------, Falsafah Kalam, di Era post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996.
Arifin, Syamsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Sippress, Yogyakarta, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998.
Kamal, Mustafa dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000.
Rais, M. Amien, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Rais, M. Amin, (dkk), dalam Nurhadi (ed), Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Ingklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997.
------------, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik; Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994.
[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[2] Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[3] Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[4] Ibid., hal. 126.
[5] Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
[7] Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
[8] Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268.
[9] Ibid, hal. 289.
[10] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
[11] Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal xi.
[13] Ibid, hal. xiii
[14] Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Alumni Universitas Muhammadiyah Malang
(Antara Purifikasi dan Modernisasi)
BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah “bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana.”[1] Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.[2] Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.
A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid’ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur’an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[3] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.[4]
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan “faktor misi Kristen” ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.
B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut ‘tajdid’, dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid’ah dan Khurafat. [5] Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[6]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid’ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan “pemurnian” (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[7] Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do’a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘’sing mbau rekso” juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[8]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru–murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[9]
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[10]
C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[11]
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[12]
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[13]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari’ah
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi “normativitas” wahyu dengan “historisitas” pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[14] berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks “normatifitas” dengan teks “historisitas”. Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
D. Metodologi Pemikiran Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembaharu dalam model pemikiran Islam. Berbeda dengan organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah nampaknya sangat kritis terhadap persoalan-persolan kaagamaan dan sekaligus persoalan sosial. Sehingga dalam dataran praksisnya Muhammadiyah lebih terkesan sebagai organisasi yang anti kemapanan, organisasi yang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu yang selalu berubah.
Dari sekian banyak model pemikiran, Muhammadiyah tentu sealur dengan model pemikiran modernisme dan neo-modernisme. Oleh karena itu, Muhammadiyah dalam hal pemikiran lebih mengutamakan rasionalitas, daripada pemikiran normatif an sich. Sehingga ciri yang menonjol pada diri Muhammadiyah adalah sikap “kritis” (critical though) yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu. Sikap kritis ini sebanarnya sama halnya aliran modern (modernisme) dalam wacana pemikiran Islam. Adapun neo-modernisme dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, keduanya sama-sama mengedepankan nilai-nilai spiritualitas pada satu pihak, dan unggul dalam intelektualitas di pihak lain. Karena modernisme saja tidaklah cukup menjadi bahan referensi untuk menghadapi era global yang melaju dengan cepat. Dua sisi ini menjadi trade mark yang selalu menjadi jargon dalam gerakan Muhammadiyah .
E. Penutup
Dari dua paparan di atas, dapat dibedakan bahwa antara purifikasi dan tajdid terdapat perbedaan yakni pada tataran formulasi atau terapinya. Kalau purifikasi fokusnya lebih kepada dekonstruksi budaya sinkretik yang tercampur dengan ajaran Islam, sedangkan tajdid adalah pembaruan dalam pemikiran Islam untuk menyelaraskan dengan perkembangan dan tuntutan ruang dan waktu. Purifikasi lebih menitik beratkan kepada “pemurnian” atau “pelurusan” sedangkan tajdid menitik beratkan pada “konstektualisasi” atau “pribumisasi” doktrin Islam.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
------------, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
------------, Falsafah Kalam, di Era post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996.
Arifin, Syamsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Sippress, Yogyakarta, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998.
Kamal, Mustafa dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000.
Rais, M. Amien, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Rais, M. Amin, (dkk), dalam Nurhadi (ed), Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Ingklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997.
------------, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik; Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994.
[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[2] Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[3] Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[4] Ibid., hal. 126.
[5] Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
[7] Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
[8] Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268.
[9] Ibid, hal. 289.
[10] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
[11] Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal xi.
[13] Ibid, hal. xiii
[14] Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Alumni Universitas Muhammadiyah Malang
Senin, 07 September 2009
Kisah Rasul dan Spirit Perubahan
Judul Buku : Revolusi Sejarah Manusia; Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan
Penulis : Munzir Hitami
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Edisi : I, 2009
Tebal : xii +286 halaman
Peresensi : Mujtahid*
MEMBACA kisah-kisah sejarah dalam al-Qur’an, sebagian kalangan masih terjadi interpretable (multi tafsir) yang begitu ragam. Perbedaan ini muncul, karena pendekatan yang digunakan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, pisau analisisnya berbeda-beda. Ada yang memakai metode sastra, semantik-tematik, seni dan sebagainya. Kecenderungan subjektifitas penafsiran seperti itu dapat maklumi karena dilatari oleh kemampuan mufassir itu sendiri.
Buku yang berjudul ”Revolusi Sejarah Manusia” ini adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Munzir secara serius dan mendalam. Dengan mengedepankan pendekatan semantik-tematik penulis menjelaskan ide-ide perubahan yang diangkat dari kisah para rasul dalam al-Qur’an. Secara garis besar telaah tentang sejarah yang dapat digali dari al-Qur’an dapat digolongkan dua macam, yakni perubahan sebagai substansi dan perubahan sebagai fenomena. Perubahan yang pertama lebih mengenai hakikat dan bentuk perubahan, sedangkan yang kedua lebih sebagai gejala dalam perjalanan masyarakat manusia dari suatu umat, baik simbol-simbol, maupun dalam bentuk ajaran-ajaran normatif (hal. 231).
Kisah para Rasul dalam al-Qur’an memang pada umumnya membangkitkan makna perubahan. Itulah mengapa sampai penulis berkesimpulan bahwa kisah para Rasul dalam al-Qur’an itu merupakan agen perubahan pada sejarah umat manusia. Al-Qur’an sebagai Kitab Suci menerangkan betapa penting para rasul dalam mengubah suatu masyarakat bangsa dari masyarakat tribal tak bermoral menjadi masyarakat yang religius berkeadaban.
Berdasarkan hasil kajian Munzir, perubahan umat manusia dalam al-Qur’an maupun dalam realitas empiris di alam dunia ini merupakan peran penting rasul sebagai agen perubahan. Kisah para rasul dalam al-qur’an dapat berfungsi sebagai peringatan (al-Ibrah) bagi umat manusia. Selain itu, kisah tersebut juga sebagai konfirmasi (al-Tashdiq) terhadap kitab-kitab terdahulu, sehingga dimaksudkan untuk memperjelas ajaran kebenaran yang dibawakannya.
Para rasul yang digambarkan dalam kisah al-Qur’an sebagai figur atau tokoh yang lahir dari umatnya adalah pencipta sejarah. Yaitu sebagai agen perubahan dalam sejarah yang terjadi pada kurun waktu di mana peran-peran individual atau pribadi masih dominan sesuai dengan zamannya. Pesan moral yang perlu dimunculkan dari kisah tersebut ialah masyarakat zaman sekarang dapat belajar untuk menangkap berbagai cerminan dibalik simbol-simbol pengalaman umat-umat itu yang pada hakikatnya tetap hidup sepanjang zaman sehingga orang dapat bertindak secara benar pada situasi yang mirip.
Pesan Moral Kisah Para Rasul
Adalah figur-figur transformator ulung yang kuat dan tabah menghadapi cobaan dari umatnya atau komunitasnya kalau bukan Nabi/rasul, seperti Nuh, Hud dan Shalih. Ketiga rasul ini dikenal sebagai figur pemimpin sangat ulet, sabar dan tabah terhadap tantangan dan rintangan yang menghadangnya. Seperti yang dikisahkan dalam al-qur’an, ketiga rasul itu mendapat campur tangan (pertolongan) Tuhan dalam menghadapi tekanan dari kaumnya.
Sebagai contoh, cobalah kita belajar kepada Nabi Nuh sebagaimana kisah al-Qur’an, untuk memperjuangkan ajaran agama dan meluruskan dari kesesatan dan kekufuran butuh waktu yang sangat lama, yakni tidak kurang dari 950 tahun. Risalah yang dibawa Nuh mendapat penolakan massal dari kaumnya. Sehingga Tuhan harus campur tangan untuk menguji kaumnya dengan banjir untuk menyadarkan mereka. Pandangan al-Qur’an tentang bangkit dan hancurnya suatu kaum adalah sebagai akibat dari kezaliman mereka sendiri dan hal tersebut sudah menjadi hukum alam atau sunnatullah dalam sejarah manusia.
Hal yang tak jauh beda juga diperankan Nabi Hud dan Shalih. Kedua rasul beserta umatnya itu mengajak pada jalan kebenaran dan keimanan. Nabi Hud sebagai penentu perubahan pada kaum Ad, dan Nabi Shalih sebagai pendobrak kaum Tsamud kembali dari jalan kehancuran, kekacauan dan ketidakadilan. Kaumnya yang sudah kelewat batas akhirnya sedikit demi sedikit meninggalkan penyembahan berhala (simbol) sesembahan lain yang menyimpang. Kegigihan kedua rasul itu membuahkan perubahan untuk menyelamatkan manusia dari segala keingkaran dan kemunafikan.
Selain ketiga Nabi di atas yang dikenal tabah/tahan cobaan, Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishaq juga dikenal sebagai rasul yang menemukan hakikat fitrah dan ketundukan murni pada Tuhan. Jiwa pengorbanan dan kepasrahan menjadi tauladan yang menggugah pengikutnya. Lawan-lawan antagonis Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishaq sangat kuat dan jahat. Tetapi dengan do’a dan ihtiar yang tak pernah lelah akhirnya mereka mampu menjadi penentu perubahan itu sendiri.
Tak kalah menariknya dengan kisah di atas, Nabi Ya’kub dan Yusuf dikenal sebagai nabi yang pandai ”menyelamatkan dan penuh perencanaan”. Ketokohannya membuat para penganutnya simpatik. Simbol keberhasilan, ketabahan membawa perubahan pada masyarakat Mesir pada zamannya.
Nabi Luth juga demikian, ia diuji dengan kaumnya yang kebanyakan melakukan penyimpangan seks. Prinsip ketidakwajaran, seperti yang diungkap al-Qur’an, selalu muncul pada diri Nabi, termasuk Nabi Luth. Homoseksual merupakan kasus unik yang belum terjadi sebelumnya. Kasus ini adalah bentuk kejatuhan manusia pada kehancuran jiwa dan moral masyarakat. Terapi yang digubah Nabi Luth yaitu dengan cara tazkiyah (penyucian). Mengajak kaumnya sadar akan fenomena fasad (kerusakan) dengan cara kembali ke kodrat penciptaan manusia yang semestinya.
Gambaran tentang perubahan yang diperankan oleh para rasul di atas dapat kita maknai dan diambil pesan moralnya untuk konteks kekinian. Kita harus belajar dari semangat kisah tersebut untuk mendiagnosa kompleksitas kehancuran dan kezaliman yang terjadi saat ini. Kita meski butuh sifat ketokohan, keteladanan, serta kepemimpinan yang ditunjukkan para rasul itu ketika mereka dengan caranya sendiri menyelesaikan cobaan, rintangan dan segala bentuk kerusakan lainnya.
Kisah rasul yang diangkat dalam al-Qur’an dimaksudkan agar para pembaca dapat merenungi dan menggugah ”suatu gerakan perubahan” yang terstruktur dan terencana. Semangat kisah dalam al-Qur’an adalah menciptakan suasana lahir dan batin seseorang untuk melahirkan inspirasi futuristik dan inisiatif yang positif. Jatuh bangunnya suatu bangsa, sangat tergantung pada pergerakan pemimpin dan kaumnya, seperti halnya kisah para rasul di atas.
*) Mujtahid, Dosen Universitas Islam Negeri Maliki Malang
Penulis : Munzir Hitami
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Edisi : I, 2009
Tebal : xii +286 halaman
Peresensi : Mujtahid*
MEMBACA kisah-kisah sejarah dalam al-Qur’an, sebagian kalangan masih terjadi interpretable (multi tafsir) yang begitu ragam. Perbedaan ini muncul, karena pendekatan yang digunakan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, pisau analisisnya berbeda-beda. Ada yang memakai metode sastra, semantik-tematik, seni dan sebagainya. Kecenderungan subjektifitas penafsiran seperti itu dapat maklumi karena dilatari oleh kemampuan mufassir itu sendiri.
Buku yang berjudul ”Revolusi Sejarah Manusia” ini adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Munzir secara serius dan mendalam. Dengan mengedepankan pendekatan semantik-tematik penulis menjelaskan ide-ide perubahan yang diangkat dari kisah para rasul dalam al-Qur’an. Secara garis besar telaah tentang sejarah yang dapat digali dari al-Qur’an dapat digolongkan dua macam, yakni perubahan sebagai substansi dan perubahan sebagai fenomena. Perubahan yang pertama lebih mengenai hakikat dan bentuk perubahan, sedangkan yang kedua lebih sebagai gejala dalam perjalanan masyarakat manusia dari suatu umat, baik simbol-simbol, maupun dalam bentuk ajaran-ajaran normatif (hal. 231).
Kisah para Rasul dalam al-Qur’an memang pada umumnya membangkitkan makna perubahan. Itulah mengapa sampai penulis berkesimpulan bahwa kisah para Rasul dalam al-Qur’an itu merupakan agen perubahan pada sejarah umat manusia. Al-Qur’an sebagai Kitab Suci menerangkan betapa penting para rasul dalam mengubah suatu masyarakat bangsa dari masyarakat tribal tak bermoral menjadi masyarakat yang religius berkeadaban.
Berdasarkan hasil kajian Munzir, perubahan umat manusia dalam al-Qur’an maupun dalam realitas empiris di alam dunia ini merupakan peran penting rasul sebagai agen perubahan. Kisah para rasul dalam al-qur’an dapat berfungsi sebagai peringatan (al-Ibrah) bagi umat manusia. Selain itu, kisah tersebut juga sebagai konfirmasi (al-Tashdiq) terhadap kitab-kitab terdahulu, sehingga dimaksudkan untuk memperjelas ajaran kebenaran yang dibawakannya.
Para rasul yang digambarkan dalam kisah al-Qur’an sebagai figur atau tokoh yang lahir dari umatnya adalah pencipta sejarah. Yaitu sebagai agen perubahan dalam sejarah yang terjadi pada kurun waktu di mana peran-peran individual atau pribadi masih dominan sesuai dengan zamannya. Pesan moral yang perlu dimunculkan dari kisah tersebut ialah masyarakat zaman sekarang dapat belajar untuk menangkap berbagai cerminan dibalik simbol-simbol pengalaman umat-umat itu yang pada hakikatnya tetap hidup sepanjang zaman sehingga orang dapat bertindak secara benar pada situasi yang mirip.
Pesan Moral Kisah Para Rasul
Adalah figur-figur transformator ulung yang kuat dan tabah menghadapi cobaan dari umatnya atau komunitasnya kalau bukan Nabi/rasul, seperti Nuh, Hud dan Shalih. Ketiga rasul ini dikenal sebagai figur pemimpin sangat ulet, sabar dan tabah terhadap tantangan dan rintangan yang menghadangnya. Seperti yang dikisahkan dalam al-qur’an, ketiga rasul itu mendapat campur tangan (pertolongan) Tuhan dalam menghadapi tekanan dari kaumnya.
Sebagai contoh, cobalah kita belajar kepada Nabi Nuh sebagaimana kisah al-Qur’an, untuk memperjuangkan ajaran agama dan meluruskan dari kesesatan dan kekufuran butuh waktu yang sangat lama, yakni tidak kurang dari 950 tahun. Risalah yang dibawa Nuh mendapat penolakan massal dari kaumnya. Sehingga Tuhan harus campur tangan untuk menguji kaumnya dengan banjir untuk menyadarkan mereka. Pandangan al-Qur’an tentang bangkit dan hancurnya suatu kaum adalah sebagai akibat dari kezaliman mereka sendiri dan hal tersebut sudah menjadi hukum alam atau sunnatullah dalam sejarah manusia.
Hal yang tak jauh beda juga diperankan Nabi Hud dan Shalih. Kedua rasul beserta umatnya itu mengajak pada jalan kebenaran dan keimanan. Nabi Hud sebagai penentu perubahan pada kaum Ad, dan Nabi Shalih sebagai pendobrak kaum Tsamud kembali dari jalan kehancuran, kekacauan dan ketidakadilan. Kaumnya yang sudah kelewat batas akhirnya sedikit demi sedikit meninggalkan penyembahan berhala (simbol) sesembahan lain yang menyimpang. Kegigihan kedua rasul itu membuahkan perubahan untuk menyelamatkan manusia dari segala keingkaran dan kemunafikan.
Selain ketiga Nabi di atas yang dikenal tabah/tahan cobaan, Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishaq juga dikenal sebagai rasul yang menemukan hakikat fitrah dan ketundukan murni pada Tuhan. Jiwa pengorbanan dan kepasrahan menjadi tauladan yang menggugah pengikutnya. Lawan-lawan antagonis Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishaq sangat kuat dan jahat. Tetapi dengan do’a dan ihtiar yang tak pernah lelah akhirnya mereka mampu menjadi penentu perubahan itu sendiri.
Tak kalah menariknya dengan kisah di atas, Nabi Ya’kub dan Yusuf dikenal sebagai nabi yang pandai ”menyelamatkan dan penuh perencanaan”. Ketokohannya membuat para penganutnya simpatik. Simbol keberhasilan, ketabahan membawa perubahan pada masyarakat Mesir pada zamannya.
Nabi Luth juga demikian, ia diuji dengan kaumnya yang kebanyakan melakukan penyimpangan seks. Prinsip ketidakwajaran, seperti yang diungkap al-Qur’an, selalu muncul pada diri Nabi, termasuk Nabi Luth. Homoseksual merupakan kasus unik yang belum terjadi sebelumnya. Kasus ini adalah bentuk kejatuhan manusia pada kehancuran jiwa dan moral masyarakat. Terapi yang digubah Nabi Luth yaitu dengan cara tazkiyah (penyucian). Mengajak kaumnya sadar akan fenomena fasad (kerusakan) dengan cara kembali ke kodrat penciptaan manusia yang semestinya.
Gambaran tentang perubahan yang diperankan oleh para rasul di atas dapat kita maknai dan diambil pesan moralnya untuk konteks kekinian. Kita harus belajar dari semangat kisah tersebut untuk mendiagnosa kompleksitas kehancuran dan kezaliman yang terjadi saat ini. Kita meski butuh sifat ketokohan, keteladanan, serta kepemimpinan yang ditunjukkan para rasul itu ketika mereka dengan caranya sendiri menyelesaikan cobaan, rintangan dan segala bentuk kerusakan lainnya.
Kisah rasul yang diangkat dalam al-Qur’an dimaksudkan agar para pembaca dapat merenungi dan menggugah ”suatu gerakan perubahan” yang terstruktur dan terencana. Semangat kisah dalam al-Qur’an adalah menciptakan suasana lahir dan batin seseorang untuk melahirkan inspirasi futuristik dan inisiatif yang positif. Jatuh bangunnya suatu bangsa, sangat tergantung pada pergerakan pemimpin dan kaumnya, seperti halnya kisah para rasul di atas.
*) Mujtahid, Dosen Universitas Islam Negeri Maliki Malang
Rabu, 04 Februari 2009
Kisah Imajinatif di Pojok Pesantren
Judul Buku : Menjadi Bidadari
Penulis : Lianni Qanita [ed.]
Penerbit : Matapena, Jogjakarta
Edisi : I, 2008
Tebal : vi +190 halaman
Peresensi : Mujtahid*
Penulis : Lianni Qanita [ed.]
Penerbit : Matapena, Jogjakarta
Edisi : I, 2008
Tebal : vi +190 halaman
Peresensi : Mujtahid*
POJOK pesantren selalu menyisakan nuansa unik. Dibilang unik, karena di lembaga tradisional itu ternyata banyak melahirkan cerita atau kisah aneh yang bertebaran. Mulai kisah yang berbau magis, keramat, klenik hingga yang ritual-spiritual.
Buku berjudul "Menjadi Bidadari" ini merupakan satu contoh kreatif atas luapan imajinasi para santri di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Kisah fiktif yang berbalut religi ini semakin menarik perhatian banyak pihak, sekaligus menambah ragam koleksi karya sastra atau novel yang muncul dewasa ini.
Mendengar istilah pesantren, aura kita terkadang cepat tertuju pada kondisi kumuh, kudisan, korengan, sarungan atau pun kopiah yang melekat pada diri santri. Itu hanyalah sebuah fenomena lama. Kini kesan itu mulai satu persatu menghilang dengan sendirinya di makan usia zaman.
Sebaliknya, pesantren di alaf milenium ini merupakan ikon baru yang menstimulasi santri-santri berbakat, berprestasi, berpotensi menulis, baik berupa wacana ilmiah maupun sastra/novel. Bagi pencinta novel domestik, pada satu dasawarsa terakhir, banyak karya sastra yang lahir dari komunitas pesantren-pesantren. Ini yang patut diapresiasi secara mendalam bagi dunia perbukuan.
Pusat kajian sastra tidak hanya muncul di Perguruan Tinggi, di lembaga-lembaga sastra-budaya, melainkan juga lewat pintu pesantren. Unik memang, tapi hasilnya cukup positif karena sastra luaran perantren memiliki trademark tersendiri yaitu percikan imajinasi yang dapat meluluhkan hati dan melunakkan jiwa insan yang sedang digoda banyak persoalan.
Istilah "bidadari" merupakan salah satu predikat kemulyaan, kesucian seorang perempuan yang berbau metafor dan eskatologis. Tetapi istilah itu bukan berarti tidak bisa dipakai dalam wilayah empiris, dalam mengungkapkan imajinasi, kreasi, dan pengalaman seseorang.
Buku ini mengemas beberapa sajian kisah imajinatif, inspiratif yang dibumbui nilai-nilai religius bagi seorang perempuan. Bidadari adalah simbol perempuan idaman seorang lelaki di taman surga. Simbol mahkota berupa bidadari itu harusnya kini dijaga dan dipertahankan bagi semua mahkluk yang berjenis kelamin perempuan. Karena banyak "kaum hawa" saat ini yang mudah menggadaikan bahkan menjual mahkota kesuciannya lantaran pengakuan atau pengorbanan atas nama cinta, desakan kebutuhan material, bahkan karena profesi yang terselubung.
Ada 14 kisah yang dikemas dalam karya ini. Salah satu dari kisah tersebut, ada sebuah cerita menarik yang perlu di sampaikan di sini. Cerita itu bertajuk Miss Ma’had. Sudah bisa ditebak, yang namanya Miss pastilah cantik, pinter, familier, dan berjiwa sosial. Karena modal fisiologis dan psikoligis itulah banyak laki-laki menaksir menjadikannya sebagai pendamping hidup. Tinggal memilih seperti apa yang dia suka. Tapi apa yang terjadi, dia menikah dengan seorang yang cacat, yaitu seorang buta. Dengan kebutaannya, dalih kisah itu, menjadikan seseorang akan menyadari dirinya, menghargai penciptaan dan tidak banyak ulah. Melalui ketidaksempurnaannya itulah kemudian sang makhluk lebih dekat dengan sang kholik.
Masih adakah wanita seperti itu? Mungkin hanya seorang sufi, seperti Rabi’ah Adawiyah yang bisa menerima. Kisah-kisah seperti inilah yang harusnya dibaca para gadis belia yang sedang menginjak usia remaja. Dibalik cerita fiktif dalam buku ini diharapkan mampu mengimbangi novel-novel imajinatif lain yang begitu deras menyerbu pasar perbukuan. Bukan hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah karya semacam ini diangankan dapat meredam dan mengingatkan kaum wanita agar melangkah sesuai jalur dan kodrat yang benar.
*) Mujtahid, Pencinta Novel & Editor Buku UIN-Malang Press.
Buku berjudul "Menjadi Bidadari" ini merupakan satu contoh kreatif atas luapan imajinasi para santri di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Kisah fiktif yang berbalut religi ini semakin menarik perhatian banyak pihak, sekaligus menambah ragam koleksi karya sastra atau novel yang muncul dewasa ini.
Mendengar istilah pesantren, aura kita terkadang cepat tertuju pada kondisi kumuh, kudisan, korengan, sarungan atau pun kopiah yang melekat pada diri santri. Itu hanyalah sebuah fenomena lama. Kini kesan itu mulai satu persatu menghilang dengan sendirinya di makan usia zaman.
Sebaliknya, pesantren di alaf milenium ini merupakan ikon baru yang menstimulasi santri-santri berbakat, berprestasi, berpotensi menulis, baik berupa wacana ilmiah maupun sastra/novel. Bagi pencinta novel domestik, pada satu dasawarsa terakhir, banyak karya sastra yang lahir dari komunitas pesantren-pesantren. Ini yang patut diapresiasi secara mendalam bagi dunia perbukuan.
Pusat kajian sastra tidak hanya muncul di Perguruan Tinggi, di lembaga-lembaga sastra-budaya, melainkan juga lewat pintu pesantren. Unik memang, tapi hasilnya cukup positif karena sastra luaran perantren memiliki trademark tersendiri yaitu percikan imajinasi yang dapat meluluhkan hati dan melunakkan jiwa insan yang sedang digoda banyak persoalan.
Istilah "bidadari" merupakan salah satu predikat kemulyaan, kesucian seorang perempuan yang berbau metafor dan eskatologis. Tetapi istilah itu bukan berarti tidak bisa dipakai dalam wilayah empiris, dalam mengungkapkan imajinasi, kreasi, dan pengalaman seseorang.
Buku ini mengemas beberapa sajian kisah imajinatif, inspiratif yang dibumbui nilai-nilai religius bagi seorang perempuan. Bidadari adalah simbol perempuan idaman seorang lelaki di taman surga. Simbol mahkota berupa bidadari itu harusnya kini dijaga dan dipertahankan bagi semua mahkluk yang berjenis kelamin perempuan. Karena banyak "kaum hawa" saat ini yang mudah menggadaikan bahkan menjual mahkota kesuciannya lantaran pengakuan atau pengorbanan atas nama cinta, desakan kebutuhan material, bahkan karena profesi yang terselubung.
Ada 14 kisah yang dikemas dalam karya ini. Salah satu dari kisah tersebut, ada sebuah cerita menarik yang perlu di sampaikan di sini. Cerita itu bertajuk Miss Ma’had. Sudah bisa ditebak, yang namanya Miss pastilah cantik, pinter, familier, dan berjiwa sosial. Karena modal fisiologis dan psikoligis itulah banyak laki-laki menaksir menjadikannya sebagai pendamping hidup. Tinggal memilih seperti apa yang dia suka. Tapi apa yang terjadi, dia menikah dengan seorang yang cacat, yaitu seorang buta. Dengan kebutaannya, dalih kisah itu, menjadikan seseorang akan menyadari dirinya, menghargai penciptaan dan tidak banyak ulah. Melalui ketidaksempurnaannya itulah kemudian sang makhluk lebih dekat dengan sang kholik.
Masih adakah wanita seperti itu? Mungkin hanya seorang sufi, seperti Rabi’ah Adawiyah yang bisa menerima. Kisah-kisah seperti inilah yang harusnya dibaca para gadis belia yang sedang menginjak usia remaja. Dibalik cerita fiktif dalam buku ini diharapkan mampu mengimbangi novel-novel imajinatif lain yang begitu deras menyerbu pasar perbukuan. Bukan hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah karya semacam ini diangankan dapat meredam dan mengingatkan kaum wanita agar melangkah sesuai jalur dan kodrat yang benar.
*) Mujtahid, Pencinta Novel & Editor Buku UIN-Malang Press.
Sabtu, 10 Januari 2009
Pembelajaran Berbasis “Multiple Intelligence”
oleh: Mujtahid*
BERBICARA tentang pendidikan, kerap kali pikiran orang hanya terpusat pada dimensi akademis yang menjadi tolak ukur dalam kemajuan intelektualitas anak didik. Padahal terdapat multi aspek yang terkait di dalamnya, mulai dari pekembangan psikologi anak hingga pembentukan karakter, pribadi yang kualitas.
Dalam rumusan UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Anak didik dan proses pembelajaran merupakan dua dimensi berbeda yang perlu disinkronisasikan secara holistik dan terpadu. Penyelarasan antara aspek pembelajaran dengan perkembangan anak didik akan membangkitkan motivasi dan gairah belajarnya. Menurut teori Multiple Intelligence, bahwa setiap anak memiliki aneka ragam kecerdasan, yaitu meliputi; bahasa, logika, musikal, visual atau spasial, kinestetik, intrapersonal dan interpersonal.
Selama ini, yang dianggap sebagai kecerdasan adalah melulu kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika (matematika), sedangkan yang lain dianggap tidak, atau sekurang-kurangnya “tidak berhubungan langsung”, dengan masalah kecerdasan. Menurut pakar psikologi, Howard Gardner, proses pembelajaran atau lebih dikenal dengan sebutan kata “mendidik” erat kaitannya dengan pelibatan semua elemen saraf dan potensi yang ada di alam jiwa anak itu.
Proses pembelajaran bukanlah sekadar masalah cara belajar, melainkan menyangkut cara terbaik bagi seseorang untuk menerima dan memahami informasi. Pada umumnya, orang belajar dengan membaca, tapi orang-orang tertentu dapat memahami lebih baik dengan cara mendengar atau mengamati. Ada juga yang senang berdiskusi dengan orang lain, tapi ada yang lebih cepat mengerti dengan cara melihat gambar atau bagan.
Dengan cara seperti itu berarti tidak ada anak yang tidak berbakat, semua pasti punya bakat, meski masing-masing anak bisa berbeda bakatnya. Bertolak dari realitas tersebut, kini metode pembelajaran diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, yang lebih dikenal dengan istilah sistem student center.
Melalui sistem student center diharapkan setiap anak didik aktif dalam kegitan pembelajaran materi, baik berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan model tersebut anak didik akan terangsang untuk mengasah kemampuan, pengalaman, ketrampilan dan kemandiriannya.
Hakikat dari tujuan pembelajaran adalah untuk menumbuhkan semangat belajar anak didik agar berkembang potensinya secara utuh. Melalui pembelajaran berbasis “Multiple Intelligence” ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesenjangan “kecerdasan” pada pribadi anak didik.
Pendekatan “Multiple Intelligence” dapat diterapkan ke dalam setiap jenis mata pelajaran, baik bidang studi eksak (ilmu-ilmu pasti) maupun sosial, termasuk ilmu agama. Apalagi dengan berkembangnya sains modern dan kemajuan bioteknologi seperti saat ini, menuntut semua pendidik mampu mensinergikan nilai-nilai ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap ragam keilmuan yang ada. Sebab dari perspektif filosofis, tidak ada suatu keilmuan yang berdiri sendiri tanpa memiliki hubungan yang sinergis dengan ilmu lain.
Paradigma Konstruktivis
Seiring dengan kemajuan zaman dan daya kompetisi global yang semakin ketat, justru anehnya wajah pendidikan kita semakin buram. Kenyataan pahit yang dirasakan oleh sebagian praktisi pendidikan (pendidik) yaitu “kegagalan” mereka menembus area sertifikasi. Secara persentatif, jumlah guru yang benar-benar lulus resmi uji portofolio tidak lebih dari separo. Realita tersebut berarti dapat menggambarkan betapa parahnya kebobrokan proses pembelajaran yang terjadi sepanjang dekade ini.
Tolak ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran selama ini sering dikaitkan dengan paham “kepatuhan” anak didik terhadap guru dan “penguasaan” materi pelajaran. Bahkan kalau kita bisa ikuti apa kata guru berarti itulah anak berbakat, dan siapa yang hafal materi diluar kepala itulah anak yang pintar. Model pembelajaran semacam ini adalah cara behavioristrik, yang melihat bahwa proses pembelajaran itu diukur seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai anak didik seperti mesin “foto copy” yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan bentuk aslinya.
Kini, proses pembelajaran cenderung memakai paradigma kontruktivis, bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain. Meskipun pengaruh bimbingan dan arahan dari pihak pendidik tetap sangat diperlukan, tetapi bukan harus kepatuhan yang jadi nilai ukurnya.
Pembelajaran menurut paradigma konstruktivis, bahwa anak didik itu dikatakan berbakat adalah anak didik yang kreatif dan produktif. Hasil pembelajaran (out came) yang dikehendaki paham konstruktivis yaitu menjadikan anak didik sebagai penemu, desainer yang kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif, punya jiwa entrepreneur yang kuat, dan menjadi pribadi yang shaleh terhadap sesama manusia, alam dan Tuhan.
Cara pandang konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara anak didik dan guru bisa salin terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak didik bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadahi, diberi peneguhan dan motivasi. Jadi tugas guru adalah memacu kreativitas anak didik agar “Multiple Intelligence” yang mereka miliki bisa tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.
Sesuai dengan amanat UNESCO, bahwa pilar pendidikan kesejagatan dikonstruk untuk mengembangkan potensi anak didik yang berkualitas. Pilar pendidikan kesejagatan itu adalah belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Jabaran UNESCO di atas kemudian lebih diperinci lagi dalam tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub di dalam UU Sisdiknas No 20 Th. 2003, yaitu pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, harus diakui bahwa di dalam proses pembelajaran memiliki begitu banyak unsur yang saling mempengaruhi. Sebut saja seperti kurikulum, guru tidak perlu bersikap kaku (rigit) terhadap acuan kurikulum kalau memang kurikulum tersebut tidak adaptif demi kemajuan anak didik. Masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang dapat merusak tatanan nilai-nilai edukatif yang seharusnya tidak perlu terjadi.
*) Mujtahid, Dosen Ilmu Pendidikan UIN Malang
BERBICARA tentang pendidikan, kerap kali pikiran orang hanya terpusat pada dimensi akademis yang menjadi tolak ukur dalam kemajuan intelektualitas anak didik. Padahal terdapat multi aspek yang terkait di dalamnya, mulai dari pekembangan psikologi anak hingga pembentukan karakter, pribadi yang kualitas.
Dalam rumusan UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Anak didik dan proses pembelajaran merupakan dua dimensi berbeda yang perlu disinkronisasikan secara holistik dan terpadu. Penyelarasan antara aspek pembelajaran dengan perkembangan anak didik akan membangkitkan motivasi dan gairah belajarnya. Menurut teori Multiple Intelligence, bahwa setiap anak memiliki aneka ragam kecerdasan, yaitu meliputi; bahasa, logika, musikal, visual atau spasial, kinestetik, intrapersonal dan interpersonal.
Selama ini, yang dianggap sebagai kecerdasan adalah melulu kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika (matematika), sedangkan yang lain dianggap tidak, atau sekurang-kurangnya “tidak berhubungan langsung”, dengan masalah kecerdasan. Menurut pakar psikologi, Howard Gardner, proses pembelajaran atau lebih dikenal dengan sebutan kata “mendidik” erat kaitannya dengan pelibatan semua elemen saraf dan potensi yang ada di alam jiwa anak itu.
Proses pembelajaran bukanlah sekadar masalah cara belajar, melainkan menyangkut cara terbaik bagi seseorang untuk menerima dan memahami informasi. Pada umumnya, orang belajar dengan membaca, tapi orang-orang tertentu dapat memahami lebih baik dengan cara mendengar atau mengamati. Ada juga yang senang berdiskusi dengan orang lain, tapi ada yang lebih cepat mengerti dengan cara melihat gambar atau bagan.
Dengan cara seperti itu berarti tidak ada anak yang tidak berbakat, semua pasti punya bakat, meski masing-masing anak bisa berbeda bakatnya. Bertolak dari realitas tersebut, kini metode pembelajaran diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, yang lebih dikenal dengan istilah sistem student center.
Melalui sistem student center diharapkan setiap anak didik aktif dalam kegitan pembelajaran materi, baik berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan model tersebut anak didik akan terangsang untuk mengasah kemampuan, pengalaman, ketrampilan dan kemandiriannya.
Hakikat dari tujuan pembelajaran adalah untuk menumbuhkan semangat belajar anak didik agar berkembang potensinya secara utuh. Melalui pembelajaran berbasis “Multiple Intelligence” ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesenjangan “kecerdasan” pada pribadi anak didik.
Pendekatan “Multiple Intelligence” dapat diterapkan ke dalam setiap jenis mata pelajaran, baik bidang studi eksak (ilmu-ilmu pasti) maupun sosial, termasuk ilmu agama. Apalagi dengan berkembangnya sains modern dan kemajuan bioteknologi seperti saat ini, menuntut semua pendidik mampu mensinergikan nilai-nilai ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap ragam keilmuan yang ada. Sebab dari perspektif filosofis, tidak ada suatu keilmuan yang berdiri sendiri tanpa memiliki hubungan yang sinergis dengan ilmu lain.
Paradigma Konstruktivis
Seiring dengan kemajuan zaman dan daya kompetisi global yang semakin ketat, justru anehnya wajah pendidikan kita semakin buram. Kenyataan pahit yang dirasakan oleh sebagian praktisi pendidikan (pendidik) yaitu “kegagalan” mereka menembus area sertifikasi. Secara persentatif, jumlah guru yang benar-benar lulus resmi uji portofolio tidak lebih dari separo. Realita tersebut berarti dapat menggambarkan betapa parahnya kebobrokan proses pembelajaran yang terjadi sepanjang dekade ini.
Tolak ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran selama ini sering dikaitkan dengan paham “kepatuhan” anak didik terhadap guru dan “penguasaan” materi pelajaran. Bahkan kalau kita bisa ikuti apa kata guru berarti itulah anak berbakat, dan siapa yang hafal materi diluar kepala itulah anak yang pintar. Model pembelajaran semacam ini adalah cara behavioristrik, yang melihat bahwa proses pembelajaran itu diukur seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai anak didik seperti mesin “foto copy” yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan bentuk aslinya.
Kini, proses pembelajaran cenderung memakai paradigma kontruktivis, bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain. Meskipun pengaruh bimbingan dan arahan dari pihak pendidik tetap sangat diperlukan, tetapi bukan harus kepatuhan yang jadi nilai ukurnya.
Pembelajaran menurut paradigma konstruktivis, bahwa anak didik itu dikatakan berbakat adalah anak didik yang kreatif dan produktif. Hasil pembelajaran (out came) yang dikehendaki paham konstruktivis yaitu menjadikan anak didik sebagai penemu, desainer yang kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif, punya jiwa entrepreneur yang kuat, dan menjadi pribadi yang shaleh terhadap sesama manusia, alam dan Tuhan.
Cara pandang konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara anak didik dan guru bisa salin terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak didik bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadahi, diberi peneguhan dan motivasi. Jadi tugas guru adalah memacu kreativitas anak didik agar “Multiple Intelligence” yang mereka miliki bisa tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.
Sesuai dengan amanat UNESCO, bahwa pilar pendidikan kesejagatan dikonstruk untuk mengembangkan potensi anak didik yang berkualitas. Pilar pendidikan kesejagatan itu adalah belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Jabaran UNESCO di atas kemudian lebih diperinci lagi dalam tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub di dalam UU Sisdiknas No 20 Th. 2003, yaitu pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, harus diakui bahwa di dalam proses pembelajaran memiliki begitu banyak unsur yang saling mempengaruhi. Sebut saja seperti kurikulum, guru tidak perlu bersikap kaku (rigit) terhadap acuan kurikulum kalau memang kurikulum tersebut tidak adaptif demi kemajuan anak didik. Masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang dapat merusak tatanan nilai-nilai edukatif yang seharusnya tidak perlu terjadi.
*) Mujtahid, Dosen Ilmu Pendidikan UIN Malang
Langganan:
Postingan (Atom)