Mujtahid *
Tuhan menurunkan kepada manusia dua sifat, yaitu sifat hasanah (baik) dan sifat sayyi'ah (jelek). Kedua sifat ini selalu melekat pada diri manusia sepanjang hayatnya. Tetapi, sifat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi hati (kalbu), sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia.
Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran, pemikiran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan bagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.
Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi publik figur yang sangat disegani, dihormati karena hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampai membuka kartu rahasia, bahwa salah satu kesuksesan dirinya menjalani seorang sufi, yaitu karena ia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir maupun bathin.
Adapun metode untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha'i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur'an, Athaillah menyerukan: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.
Kiat untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.
Satu hal lagi yang menjadi catatan agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."
Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, tentu semata-mata karena hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar