BERBICARA pendidikan adalah berbicara tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita tentang hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi (Fadjar, 1999). Statemen tersebut dapat digali maknanya lebih luas lagi, bahwa pendidikan tidak hanya dipahami sebatas “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan proses menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih dan memekarkan pengalaman, serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia.
Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan sekaligus ‘memanusiakan’ jati diri manusia. Dikatakan ”memanusiakan,” karena manusia lahir hanya membawa bekal potensi. Melalui proses pendidikan, potensi manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai manusia.
Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah kerja akal budi untuk mengembangkan fitrah yang dibekalkan Allah kepada diri manusia. Potensi yang diberikan oleh Tuhan memang dapat dikatakan masih setengah jadi, sehingga butuh sentuhan dan rekayasa ilmiah melalui proses pendidikan Islam agar potensi tersebut tumbuh dan berkembang maksimal. Dalam Islam, mengenyam pendidikan dipandang sebagai kewajiban personal sepanjang hayat manusia (life long education).
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia dibekali oleh sang khaliq dengan potensi kodrat yang sempurna, yaitu potensi cipta, rasa dan karsa. Potensi berharga inilah yang mengantarkan bahwa manusia adalah khalifah di dunia ini. Dengan dukungan potensi tersebut, manusia dididik agar memiliki orientasi yang tinggi untuk mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung pada realitas yang ada di alam semesta ini.
Melalui proses pendidikan Islam itulah hidup manusia akan mencapai sebuah kehidupan yang baik dan seimbang.
Segala sesuatu yang tergelar di jagat raya ini pasti membutuhkan ilmu, baik ilmu duniawi maupun ukhrawi. Kedua ilmu tersebut harus dikuasai secara seimbang, karena “masa depan” manusia juga ditentukan oleh seberapa jauh manusia menguasainya. Keberhasilan menggapai duniawi maupun ukhrawi akan sangat ditentukan kadar keilmuan yang diraihnya.
Posisi Ilmu dalam Pendidikan Islam
Objek utama dalam pendidikan Islam adalah ilmu, pengalaman dan keteladanan. Sementara manusia adalah subjek yang mencerna dan mengembangkan ilmu, mengasah pengalaman dan mempraktikkan dalam kehidupan. Ilmu merupakan pancaran cahaya kehidupan manusia yang dapat menerangi dan mengarahkan jalan hidupnya ke arah yang lurus.
Di dunia ini ilmu dipetakan menjadi tiga bagian, ialah ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu humaniora. Ilmu alam bersumber tiga pokok yaitu biologi, kimia, fisika. Dari ketiga pokok itu melahirkan cabang ilmu beraneka ragam seperti matematika, arsitektur, kedokteran, pengairan, astronomi, geografi, farmasi, peternakan, teknik, kelautan, perikanan, dan seterusnya.
Ilmu sosial bersumber pada empat pokok yaitu sejarah, antropologi, sosiologi dan psikologi. Dari keempat ilmu tersebut kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang, seperti ilmu pendidikan, ekonomi, politik, hukum, komunikasi, manajemen dan seterusnya. Sedangkan ilmu humaniora bersumber pada tiga hal yaitu ilmu filsafat, bahasa, sastra dan seni.
Selama ini oleh mayoritas orang memandang bahwa ketiga corak ilmu tersebut, yakni ilmu alam, sosial dan humaniora adalah ilmu yang digolongkan sebagai ilmu umum. Sedangkan ilmu agama (Islam), adalah ilmu yang meliputi al-Qur’an, hadits, fiqih, aqidah akhlak, tarikh (sejarah Islam) dan bahasa Arab. Tragisnya, bahwa umat Islam belum sepenuhnya menjadikan apa yang disebut ”ilmu umum” itu sebagai sesuatu yang urgen (berguna) bagi tata laksana kehidupan, sehingga terkesan boleh ditinggalkan. Sementara ilmu agama adalah ilmu yang wajib dipelajari karena berhubungan dengan tatacara mengabdi kepada Allah. Akibat mindset ini akhirnya terjadi dikhotomi yang sulit disatukan seperti saat ini, baik lembaga pendidikan maupun pandangan masyarakat.
Kekeliruan menempatkan tatanan keilmuan itu mengakibatkan umat Islam tidak dapat berkembang dan maju.
Umat Islam menjadi ketinggalan zaman, karena upaya menggali dan mempelajari ilmu-ilmu umum kurang mendapat perhatian, baik dari orangtua, lembaga pendidikan maupun para pemimpin umat Islam itu sendiri.
Untuk meluruskan mindset itu dibutuhkan langkah dan strategi yang mampu membangkitkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul, yaitu dengan mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Ilmu agama (Islam) sebagaimana tersebut di atas dijadikan sebagai pondasi dan penguat untuk menyanggah ilmu umum yang bermacam-macam cabang tersebut. Sehingga seorang yang berprofesi guru, pedagang, politikus, dokter, pengacara, dan seterusnya memiliki nilai etis religius yang kuat karena mereka telah memiliki ilmu agama sebagai bekal dan modal dasarnya.
Seringkali yang kita saksikan adalah ilmu itu adalah bebas nilai, sehingga profesi itu menjadi bebas dan tak terikat dengan nilai-nilai ilahiyah dan insaniah serta norma-norma ajaran Islam (al-qur’an dan hadits). Integrasi ilmu semacam ini perlu dikonsep secara matang dan dipraktikkan ke dalam penyelenggaraan pendidikan yang unggul.
Begitu pentingnya kedudukan ilmu, sehingga Islam menganjurkan manusia agar meraihnya sampai titik paripurna. Ilmu juga dipandang ikut mengiringi atau menentukan nasib atau kadar baik buruk kualitas manusia. Dan pembicaraan ilmu dalam hadits mencakup dimensi hidup dan kehidupan, mencakup semua unsur, yaitu pendidikan keilmuan, keimanan (spiritualitas), etika (akhlak), fisik (jasmani), rasio (akal), kejiwaan (hati nurani), skill (ketrampilan), sosial kemasyarakatan, dan seksual.
Kegiatan pendidikan atau mencari ilmu harus dimulai dari pendidikan pribadi atau keluarga, lembaga sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus terjalin dan berlangsung secara terpadu, selaras, serasi, seimbang, dan harmonis. Pendidikan tidak akan berfungsi dengan baik bila hanya berjalan parsial dan tidak menyeluruh. Karenanya dibutuhkan pengelolaan secara integratif dengan memadukan semua unsur yang mendukungnya. Dari sinilah pendidikan akan menghasilkan sosok pribadi yang tangguh.
Pendidikan harus dimulai dari institusi keluarga, sekolah dan masyarakat secara sinkron dan integrated dalam memberikan pengaruh pendidikan kepada anak. Problemnya kini banyak keluarga yang kurang perhatian dan tidak memberikan reference person (suri tauladan) kepada anak. Begitu pula dengan aturan-aturan masyarakat yang sangat longgar sehingga memunculkan pergaulan bebas yang mutatif.
Padahal pendidikan keluarga dan masyarakat merupakan pendidikan yang bersifat pembentukan karakter dan tabi’at, ketimbang kognitif.
Selain pembentukan sosok pribadi di atas, tujuan pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia berjiwa tauhid (berkedalaman spiritual), beramal shalih (berbuat dengan ilmunya), ulil albab (pemikir, ahli dzikir dan amal shaleh), serta berakhlak mulia.
Untuk mewujudkan pendidikan yang ideal tersebut diperlukan usaha dan kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak, terutama keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Trilogi institusi itu ke depan harus menjadi kekuatan untuk membangun kualitas sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter dan menghargai kultur dan bangsanya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Senin, 13 Mei 2013
Jumat, 19 April 2013
Islam dan Cita-cita Hidup Manusia
SEBAGAI sebuah agama, Islam adalah ajaran yang menekankan bentuk kepasrahan totalitas. Seperti namanya, sebuah kata dalam bahasa Arab bahwa makna Islam ialah sikap pasrah kepada Allah secara keseluruhan, karena menaruh kepercayaan dan menambatkan hidupnya hanya kepada Allah Swt.
Dalam kitab suci al-qur’an ditegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Sebagai makhluk Allah, manusia harus tunduk taat dan patuh kepada Sang Pencipta (Allah), terhadap segala perintah dan larangannya. Allah dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman---orang yang hati, lisan dan perbuatannya---berbuah kebajikan untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat dan negaranya. Islam memberikan jalan yang menyelamatkan dirinya agar hidupnya bersih, bahagia dan selamat.
Islam sebagai agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi kesejarahan yang sangat menarik. Menarik bukan saja dari segi doktrin dan risalahnya, namun juga tidak kalah pentingnya adalah dari sudut peristiwa-peristiwa kenabian (profetik) yang dialaminya sebagai rasul terakhir. Islam memuat segala bidang kehidupan. Al-Qur’an membiarakan agar orang mukmin itu selalu berdzikir kepada Allah, berpikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan, menggali dan mengeksplorasi ciptaan Allah, serta mengantarkan bahwa ciptaan Allah itu benar-benar membuktikan keagungan-Nya.
Jika dilihat dari sudut ajarannya, Islam adalah agama yang memiliki banyak piranti, diantaranya; dimensi pembaruan (tajdid), pembebasan (tauhid) dan universal (rahmatan lil alamin). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah titah universal, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 21:107). Mengemban misi universalisme Islam, berarti dalam kerasulannya bukan hanya mendemontrasikan aspek-aspek kehidupan yang bersifat ukhrawi (sakral), melainkan juga memberikan tauladan kemanusiaan, bahwa Nabi Muhammad sendiri menekankan betapa pentingya aspek-aspek kehidupan duniawi (profan) yang tidak bisa diabaikan begitu saja (QS. 28:77). Karena aspek yang kedua ini merupakan bagian dari sekian banyak pilar yang akan ikut memformat kehidupan kehidupan jangka panjang atau eskatologis (ukhrawi).
Hijrah sebagaimana yang dikenal dalam sejarah kenabian (Muhammad) adalah rangkaian dari misi kerasulannya sebagai figur mujaddid (reformer, pembaru) akhlak dan moral manusia. Muhammad Saw. melakukan tranformasi kehidupan besar-besaran, dari sosio-kultural yang otoritatif, yang dzalim dan musyrik, menuju tatanan masyarakat madani (civil society). Seorang rasul itu mengemban tugas menyalakan lentara keadilan dan kerahmatan semua manusia.
Pesan moral Islam yang digubah rasulullah itu dimaksudkan untuk membuka tatanan baru yang telah kehilangan makna, dengan menawarkan cara hidup yang berkualitas dan berbuah kebaikan. Semangat hijrah dapat dimengerti sebagai perubahan dari tatanan semula yang kurang beradab menjadi beradab, baik menyangkut masalah keyakinan maupun masalah kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Hijrah mengadung pesan moral yang sangat tinggi untuk merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial (QS. 2:218). Pesan hijrah diantaranya adalah telah melahirkan sendi-sendi kehidupan yang berprinsip pada tauhid (liberty). Semula orang Arab menganggap bahwa benda patung adalah Tuhan mereka, yang dianggap mampu memberikan kepastian dan keselamatan hidup. Dengan kedatangan Muhammad, masyarakat Arab berubah keyakinan menjadi monotheisme, meski tidak semua penduduk mempercayainya.
Di samping itu, pesan moral hijrah adalah adanya pengakuan prinsip equality (persamaan). Kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat, tidak pernah menomorduakan warganya, lantaran sentimen agama, kelompok, ras dan budaya. Semua warga memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperhatikan sebagaimana yang lain, selama tidak saling mengganggu dan memusuhinya.
Kesaksian hijrah ditunjukkan dengan sikap moral yang luhur bahwa betapa pentingnya sikap tasamuh (toleransi) dalam kehidupan sosial. Kemauan bertasamuh merupakan sikap moral yang sadar dan terbuka. Kemauan ini berarti menuntut keberanian dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Seruan moral selanjutnya adalah adanya negara hukum. Sebagai sebuah perangkat kehidupan masyarakat, hukum merupakan jantung dari sendi-sendi kedamaian dan keadilan. Rasa kedamain dan keadilan merupakan tujuan kehidupan manusia dalam membangun cita-cita masyarakat, bangsa dan negara. Jadi hijrah merupakan kemauan dalam menegakkan hukum untuk melindungi segala kedzaliman yang terjadi. Tujuan ini adalah melindungai jiwa dan agama sekaligus mengurangi penderitaan kaum tertindas akibat perbuatan yang melanggar hukum (QS. 3:195, 4:100). Seruan ini dipraktekkan Muhammad selama dalam proses kenabiaannya. Dengan ketegasannya itu ia mengatakan bahwa ‘’jika Fathimah (putrinya) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya”, seruan ini benar-benar tegas dan lugas tidak memangdang status sosial apapun.
Tidak heran kalau kebanyakan pakar melihat bahwa semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang berlebihan. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.
Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.
Dari sekian banyak ilmuan Barat di atas mengakui bahwa Muhammad tidak hanya menjadi panutan umat muslim, tetapi merupakan manusia pilihan yang memiliki integritas moral kemanusiaan yang sangat luhur dan bijak. yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan.
Dengan demikian, hijrah merupakan tahap paling peting dalam perjalanan spiritual manusia kepada jalan ilahi (ketentraman dan kedamaian). Begitu juga, implikasi sosialnya sangat luas dalam membersihkan bentuk-bentuk kemunkaran dan kedzaliman menuju proses pembersihan diri demi tegaknya agama, sebagai pandangan hidup dalam memformat sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan ketatanegaraan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Langganan:
Postingan (Atom)