Mujtahid*
DINAMIKA pendidikan Islam atau yang sering disebut dengan istilah sekolah yang berlabelkan Islam, nampaknya masih menjadi kajian menarik. Pada dekade terakhir ini, sekolah yang bernafaskan Islam seringkali mendapat sorotan yang cenderung kurang menggembirakan dan membanggakan bagi semua pihak. Secara kolektif, hampir rata-rata mutu sekolah Islam rendah, bahkan lulusan sekolah Islam tergolong minoritas yang bisa masuk perguruan tinggi.
Menurut pengamatan A. Malik Fadjar, bahwa kenyataan mendasar dari sebagian dari lembaga pendidikan Islam kini telah kehilangan “mekanisme alokasi posisional”. Artinya, bahwa sistem kelembagaan pendidikan Islam telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat untuk menyalurkan peserta didiknya ke dalam posisi-posisi ideal tertentu. Berdasarkan pengamatan ini, penulis semakin percaya bahwa lembaga pendidikan Islam pasti ada “sesuatu” yang tidak berjalan secara wajar dan fungsional.
Lebih jauh lagi, sorotan yang lebih menukik ke dalam dataran sistem pendidikan dan pengajaran yang terjadi pada sejumlah lembaga pendidikan Islam di kesankan bahwa kelembagaan pendidikan Islam tanpaknya masih dalam posisi “cagar budaya” untuk menumbuhkan faham-faham keagamaan tertentu, belum berorientasi pada “taraf dan mutu”. Artinya, dalam kerangka pembelajaran belum menempatkan peserta didik atau lulusannya pada “taraf dan mutu”, serta pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas.
Masalah kualitas, mulai dari raw-in put, proses maupun out put dinilai sangat rendah. Salah satu indikatornya adalah rata-rata nilai NEM siswa hasil didikan sekolah Islam tertinggal jauh dari sekolah negeri ataupun sekolah lain yang dikelola orang luar Islam. Kehadiran lembaga pendidikan seperti itu, secara tidak sadar akan menempatkan dirinya pada “kelas pinggiran”, yang satu persatu mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari ummat maupun peminatnya. Kalau sistem pendidikan semacam ini masih tetap dipartahankan, maka boleh jadi pendidikan bukan saja tidak menolong masa depan peserta didik, tapi lebih jauh dari itu dapat dinilai sebagai perbuatan yang merugikan. Pendidikan yang tidak dikelola dan didasarkan pada orientasi yang jelas dapat mengakibatkan kegagalan dalam hidup secara berantai dari generasi ke genarasi. Oleh karena itu, persoalan mendasar ini termasuk bagian dari masalah yang peka dan rawan.
Sebagai lembaga pendidikan yang mengemban misi pencerahan peradaban umat masa depan, biasanya pendidikan Islam mudah terjebak pada determinisme-ideologis sehingga mengabaikan proporsionalitas dan profesionalitas serta proses-proses pengelolaannya. Dalam pandangan A. Malik Fadjar, bahwa ada sementara pihak dari kalangan umat Islam yang tidak risau menyaksikan masih lemahnya daya saing mutu lulusan sekolah-sekolah Islam dibanding dengan lulusan sekolah umum lainnya. Jika fenomena tersebut masih menjadi sikap umum sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan Islam, maka dalam perspektif metodologis-pedagogis jelas demikian itu telah menyimpang dari aspek-aspek fundamental dalam dunia pendidikan.
Dari pelbagai penilaian pakar pendidikan, ada yang menyatakan bahwa sistem pendidikan Islam, baik yang bernaung dalam Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, maupun Yayasan-yayasan Islam lainnya, tengah mengalami penurunan kreativitas, metodologis, dan kekaburan orientasi pengajaran. Bahkan sebagian pendapat mensinyalir bahwa pendidikan Islam kurang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Orientasi pendidikan Islam lebih terjebak pada kegiatan yang formalistik, dan tidak ada sedikitpun terlihat nuansa pengembangan keilmuan.
Ironisnya, pada setiap level kehidupan, hampir semua sektor lembaga formal maupun non-formal, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan (sekolah) sedang mengembangkan suatu sikap tentang adanya tuntutan utama yakni profesionalisme dan modernisme. Di samping itu, bagi lembaga pendidikan diharuskan mencari model dan pola baru yang lebih inovatif guna memberikan nuansa segar bagi penyelenggaraan proses belajar-mengajar di sekolah.
Jika inovasi lembaga pendidikan Islam selalu dilakukan setiap saat, maka kemungkinan besar dirinya akan bertahan kokoh dalam menghadapi perubahan-perubahan dan perkembangan mutakhir yang semakin kompleks ini. Karena itu, pada batas-batas tertentu sesuatu yang sebelumnya sudah dianggap mapan, kini hal itu bisa menjadi ketinggalan zaman.
A. Eksistensi Guru
Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak dipundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan yang strategis dalam ”mengukir” peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun kini banyak gelombang aksi tuntutan mengenai profesionalisme guru. Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan (sekolah). Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasai aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik atau guru merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaran pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu.
Seperti yang terungkap di atas, bahwa salah satu “kejenuhan” yang di alami pendidikan Islam akhir-akhir ini adalah kualitas guru. Sejalan dengan tuntutan dunia kerja modern, termasuk lapangan kerja dalam bidang pelayanan jasa seperti sekolah, secara kualitatif menuntut seseorang mengusai metode, cara dan alat kerja yang efesien, efektif, dan canggih (modern). Metode pelayanan yang masih menggunakan cara lama harus diubah dengan cara pelayanan baru yang memperoleh daya guna secara efektif dan efesien sehingga tercapainya tujuan yang maksimal.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup sekolah, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang guru harus bisa melakukan demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Untuk menuju proses kegiatan belajar yang baik, maka tugas pokok guru adalah mempersiapkan rancangan-rancangan pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan. Membuat perangkat pembelajaran tersebut merupakan bagian dari tugas pendidik. Di samping ia juga harus memiliki kemampuan tertentu yang sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya dimilikinya. Misalnya, berkepribadian dewasa, mandiri dan bertanggung jawab terutama secara moral sehingga dapat dijadikan identifikasi peserta didiknya.
Itulah mengapa seorang guru harus memiliki jiwa profesionalisme. Keberadaan guru yang sangat strategis tersebut diharapkan melalui jiwa profesionalisme dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berkualitas dan menjadi tonggak yang kokoh bagi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kata profesionalisme perlu kita kaji secara mendalam guna melahirkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Kata dasar profesionalisme sesungguhnya berakar dari kata profesi, yakni memerlukan kepandaian khusus untuk menjelaskannya. Sutisno mendefisikan profesional adalah menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya, terikat oleh pandangan hidup (world view atau weltanschaung) tertentu yang dalam hal ini ia memerlukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma, kepatuhan terhadap perilaku, dan terikat pada syarat-syarat kompetensi serta kesadaran berprestasi dan pengabdian. Dengan demikian, istilah profesional yang dimaksud adalah serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut.
Maksud dari sikap profesionalisme tersebut paling tidak mencerminkan empat ciri mendasar berikut ini, yakni pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil dalam mengerjakan tugasnya. Kedua, motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu komunitas tertentu.
Seseorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di masa depan.
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan tersebut di atas bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan perpaduan antara bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan bimbingan lebih ditekankan pada proses pengembangan mental spiritual (rohaniah, moral dan sosial). Kegiatan pengajaran ditekankan pada proses pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru sebagai pendidik yang profesional, berarti harus mempunyai keahlian dalam mengelola ketiga kegiatan tersebut.
Sebagai sebuah institusi, lembaga sekolah dalam prosesnya harus selalu berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan inovasi pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran di sekolah adalah terbentuknya kultur dan sikap profesionalisme guru yang dedikatif tinggi.
Sudah menjadi kewajiban bagi suatu lembaga pendidikan (sekolah), bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda hal ini berarti mengorbankan generasi masa depan yang notabenenya sebagai cagar peradaban umat. Karenanya, proses peningkatan kualitas bagi lembaga pendidikan seharusnya menyadari dan melakukan pembenahan sedini mungkin supaya pengembangan kualitas kelembagaan sekolah dan lulusannya dapat memenuhi harapan masyarakat luas. Mutu tidaknya sebuah sekolah akan dapat dilihat dari mekanisme struktural di dalamnya, apakah ada rencana yang terstruktur, sistematis, terprogram dan berkelanjutan.
Dari paparan tersebut, sudah sepatutnya lembaga pendidikan/sekolah untuk lebih meningkatkan pada orientasi mutu, termasuk salah satu di dalamnya mutu profesi guru dan sistem kegiatan belajar mengajarnya. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang didukung oleh pengelola pendidikan yang profesional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan mutu pendidikan. Hasil ini menunjukkan bahwa sampai saat ini betapa eksisnya peran guru diperlukan dalam dunia pendidikan.
Salah satu upaya untuk mengatasi kebutuhan tersebut adalah mengubah orientasi sekolah yang masih berpola lama dengan inovasi yang berpola baru. Artinya, kalau sekolah masih dikelola dengan cara lama maka sudah saatnya digantikan dengan cara baru. Hal ini penting, mengingat peran lembaga pendidikan akan selalu berdialektika dengan perubahan yang terus berkembang.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang, supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sebab, jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas sekolah itu sendiri. Salah satu ukuran kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari proses kegiatan (non fisik), selain sarana fisiknya juga mendukung. Sehingga berbagai upaya peningkatan mutu perlu ada komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara sekolah.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Jumat, 18 Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)