Pendahuluan
Islam merupakan pandangan hidup (whay of life)
yang menerangi jalan hidup para pemeluknya, yang mampu mengatur semua urusan kehidupan
manusia mulai dari masalah peribadatan, ritual hingga masalah keduniaan. Oleh
sebab itu, pantaslah seorang pujangga ahli sejarah H.A.R. Gibb memuji Islam dengan
ungkapan “Islam indeed much more a system of theology, if is complete
civilisation” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata,
tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap).[1]
Islam mengajarkan umatnya agar berkualitas, unggul
dan mampu berkontribusi positif untuk kelangsungan hidup di alam semesta (rahmatan
lil alamin). Sebagaimana pesan Rasulullah, bahwa tugas hidup seorang muslim
ialah menanam kebaikan dan kemanfaatan untuk sesama. “sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”.
Untuk menerjemahkan Islam ke dalam lingkup tatanan kehidupan
sosial, perlu sebuah pandangan yang lurus serta mendalam. Dalam hal ini,
Nurcholis Madjid pernah menawarkan gagasan tentang pentingnya “al-hanifiat
al-samhah”. Suatu pandangan yang tidak lagi terkotak dalam wujud
komunalisme atau bentuk yang cenderung mengurung diri pada struktural tertentu.
Pemahaman seperti ini mendorong seseorang
agar terpanggil untuk berpartisipasi pada agenda-agenda besar dan luas yang
bermanfaat, yang bukan saja bagi internal golongannya, melainkan juga bermuara pada
semua golongan manusia. Islam memuat agenda dan cita-cita universal, yaitu
mewujudkan keselamatan, keadilan, kedamaian, yang bersendikan pada nilai-nilai tauhid
dan sifat dasar kemanusiaan. Tesis Nurcholis Madjid tersebut, intinya adalah
munculnya sikap yang moderat dan inklusif dalam memperjuangkan agenda-agenda
universal untuk kemajuan peradaban umat manusia.[2]
Apa yang menjadi cita-cita Islam sesungguhnya telah
diterangkan secara utuh, holistik dan komprehensif dalam ummul kitab,
yaitu surah al-Fatihah. Surat
al-Fatihah memuat saripati ajaran Islam yang benar-benar memiliki misi
universalitas dan iklusivitas yang mengajak umatnya agar mendapat petunjuk dan
kasih sayang-Nya. Sulit diingkari bahwa ajaran pokok Islam, seperti yang
terkandung surat
al-Fatihah merupakan jalan yang lurus, petunjuk yang menjadi pegangan sekaligus
haluan hidup manusia.
Ayat pertama
sebagai pembuka surat,
dimulai dengan bacaan basmalah, “bismillahirrahmanirrahim”. Pesan teologisnya
ialah kasih sayang Allah Swt. tidak terbatas bagi mereka yang beriman dan
beramal saleh. Seperti yang diungkapkan Komaruddin Hidayat, bahwa cinta ilahi merupakan
sumber dan spirit kehidupan itu sendiri, “the spirit of life is love, the
divine love”.[3] Pesan
etisnya yaitu setiap pembaca ayat ini harus mengedepankan kasih sayang, menyebarkan
rahmat, dan menjunjung tinggi cahaya kebenaran. Basmalah mengajak setiap
pembaca untuk mengenali Allah Swt sebagai pemilik kasih sayang, yang tiada
henti selalu memberi rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua ciptaannya.
Ummatan Washatan
Termenologi ummatan washatan diambil dari surat al-Baqarah ayat 143:
“Dan dengan demikian Kami (Allah Swt) telah menciptakan kamu (kaum Muslimin)
sebagai ummatan washatan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi atas diri kamu
sekalian; dan sesungguhnyalah Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri kamu
sekalian.” Penggunaan termenologi ini ditujukan kepada umat Islam yang
berada garis tengah (seimbang), atau tidak ekstrim dalam pemahaman dan pengamalan
Islam. Di saat kondisi Islam yang dikesankan sebagai agama radikal dan teroris oleh
bangsa-bangsa Barat, maka sebutan ummatan washatan menemukan momentumnya untuk menjadi
jalan tengah sebagai pengerim laju tindakan-tindakan pelaku umat Islam yang
kaku dan ekstrim itu, ulah itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Di Indonesia penggunaan term ummatan washatan
telah muncul sejak akhir abad ke 12 dan 13, dengan ditandainya Islamisasi yang
damai, toleran jauh dari konfrontasi dan perlawanan. Islam diajarkan oleh para
da’i/mubaligh kepada masyarakat melalui perdagangan di pasar, pertanian di sawah,
nelayan di pesisir dengan penuh santun dan toleran. Proses penyebaran Islam di
Indonesia membutuhkan waktu berabad-abad, karena Islam mengambil jalur damai
dan mengedepankan etika, tanpa konfrontasi yang menimbulkan gejolak sosial,
apalagi sampai mengambil jalan pintas dengan kekerasan atau pertumpahan darah.
Kehadiran Islam di Indonesia, seperti yang disebut
oleh Van Leur,[4]
merupakan indikasi bahwa Islam bukan saja sebagai sistem keagamaan semata,
namun sekaligus merupakan alternatif yang cukup diperhitungkan dalam mengubah
setiap bentuk tatanan kehidupan yang tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kedatangan
Islam di Indonesia tampil dengan sangat elegan, ramah dan lentur hingga mendapat
simpati yang sangat luar biasa sampai ke pelosok penjuru tanah air.
Berbeda dengan penyebaran Islam di Cordova atau
Andalusia, dan negara-negara sekitarnya, penyebaran Islam di Indonesia lebih
mengedepankan jalur kultural, serta terkadang mengambil cara “kompromi” dengan sistem
budaya dan kepercayaan yang ada, namun pelan-pelan akhirnya Islam dapat
diterima dengan senang hati. Ada
tiga hal yang menyebabkan kesuksesan
dakwah Islam di Indonesia, yang merupakan sebagai perwujudan kekuatan Islam
Washatan, yaitu:
Pertama,
Islam mengajarkan sistem tauhid. Ajaran ini merupakan pembebas dari segala
bentuk kekuatan selain Allah Swt. Secara teologis, manusia dihadapan Allah
adalah sama, tanpa ada stratifikasi sosial seperti yang ditunjukkan dalam
kehidupan masyarakat sebelumnya. Prinsip tauhid mengajarkan asas keadilan dan
kesamaan dalan sistem tata kehidupan masyarakat. Ajaran tauhid lebih manusiawi
ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya yang terkotak-kotak dalam sistem kasta. Sehingga
Islam lebih diterima ketimbang melanggengkan ajaran yang selama ini mereka
jalani. Ajaran Islam menempatkan pemeluknya lebih terhormat dan mulia,
ketimbang ajaran dan kepercayaan yang mereka yakini.
Kedua,
Ajaran Islam relevan dengan roda perubahan zaman. Ajaran Islam sangat lentur,
fleksibel sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Melalui pendekatan ma’ruf, Islam
mudah beradaptasi dengan budaya dan tata kehidupan masyarakat. Hal-hal yang
menjadi kebiasaan masyarakat kala itu, kalau tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, maka tidak perlu ditolak atau dibubarkan, tetapi cukup diluruskan atau
dibumbui dengan nilai-nilai Islam. Tapi sebaliknya, kalau kebiasaan itu tidak
sesuai dengan prinsip Islam, maka tidak henti-hentinya para da’i mengajak untuk
meninggalkannya. Pendekatan ma’ruf, ini merupakan bagian “jalan tengah”
(washatan) dalam memahami dan menjalankan aktivitas Islam.
Ketiga, Islam mengajarkan prinsip tasamuh dan fastabiqul
khairat. Prinsip Islam sangat kental dengan keterbukaan, tidak
setengah-setengah, melainkan harus kaffah. Islam menjunjung tinggi sikap
tasamuh, toleransi serta apresiasi terhadap sesuatu kebenaran dari manapun
datangnya. Oleh karenanya, apakah pada aspek fikih (mazhab), tasawuf (sufi),
maupun aliran teologi, umat Islam Indonesia sangat terbuka dan biasa
berbeda dalam hal itu. Begitu juga tak kalah
pentingnya dalam menyumbangkan kesuksesan penyebaran Islam yaitu sikap daya
juang, berlomba-lomba dalam kebaikan. Para
da’i, ulama’ dan kyai membuat caranya masing-masing dalam mengajarkan Islam
kepada masyarakat. Peran dan kiprah para tokoh-tokoh Islam dengan prinsip fastabiqul
khairat lalu diwujudkan dengan sarana
dakwah, antara lain misalnya; mendirikan
lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga lainnya.
Dalam pandangan Azyumardi Azra, ummatan washatan
atau Islam washatiyyah di Indonesia
menemukan model khas yang terumuskan dalam Pancasila, sebagai kalimatun
sawa’ merupakan prinsip-prinsip yang sama (common flatform) yang
merekatkan kemajemukan dan kebhinekaan anak bangsa.[5]
Sebagai negara yang besar dan mayoritas penduduknya muslim, Islam Washatiyyah tampil
dengan berdirinya berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama (NU), Persis, Al-Khairat, dan lain-lain. Masing-masing organisasi
tersebut mengambil jalan tengah (washatan), baik tercermin dalam pemahaman dan pengamalan
praksis keislamannya, maupun dalam sikap sosial, budaya dan politiknya.
Islam washatan mengambil peran-peran kemanusian
lintas batas, yang tanpa sekat primordial dan komunal. Muhammadiyah misalnya, meski
sebagai organisasi Islam atau pesyarikatan Islam, telah mendedikasikan diri
dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial keagamaan, pendidikan dan
kesehatan kepada semua masyarakat tanpa pandang status ras, suku, budaya dan
agama, demi kemajuan peradaban bangsa. Islam hadir sebagai penggerak peradaban,
yang mendorong transformasi sosial kearah tatanan kehidupan yang berperikemanusiaan
dan kedamaian.
Islam dan Realitas Sosial
Secara teologis, Islam disamping
menjadi dasar keyakinan, juga memerankan dirinya sebagai sumber nilai yang
mutlak dan universal. Sebagai sebuah sumber nilai, Islam menjadi kerangka etis
dalam membangun realitas kehidupan masyarakat. Islam diyakini sebagai risalah atau
ajaran suci dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara kehidupan
bermasyarakat merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik
beratkan pada persoalan hubungan manusia antar sesama.
Antara Islam
dan kehidupan manusia tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab, Islam merupakan sumber
nilai-nilai kebenaran hakiki yang mengajarkan tentang tatakrama dalam membangun
relasi humanitas dalam konteks pergumulan antar sesamanya.[6]
Islam harus mewarnai segala tindakan, ucapan dan perilaku pemeluknya, sehingga
terwujud keadaban dan kemuliaan baik untuk dirinya maupun sesamanya.
Sebagai
makhluk sosial yang dibekali potensi religi (fitrah), manusia diharapkan
bisa bertindak netral dan bersikap objektif dalam segala hal. Sebagai abdullah
dan khalifatullah, seorang muslim seharusnya tidak membiarkan dirinya
berperilaku secara destruktif, melainkan harus menunjukkan citra dirinya
sebagai sosok insan kamil yang memiliki kesadaran moral dan etis yang
lahir dari spirit keimanan atau keyakinannya.
Oleh karenanya, iman adalah tonggak tertinggi dalam
diri manusia yang tidak akan mungkin terpisah dari amal perbuatannya. Amal
perbuatan yaitu cabang dari pohon iman. Makin banyak amal kebajikannya, maka
makin besar dan tinggi pohonnya. Makin kuat iman seseorang, makin banyak amal
saleh yang dikerjakannya. Gambaran tersebut seperti yang diilustrasikan Allah
Swt. sebagai berikut:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat”
(QS. Ibrahim[14]:24-25)
Islam memberikan petunjuk kepada umatnya agar tugas
hidup di muka bumi ini laksana pohon yang punya akar kuat yang menghujam ke
tanah, rimbun daun dan buahnya bisa menjadi makanan bagi makhluk yang ada
disekitarnya. Seorang muslim harus
menjadi pohon lebat yang akarnya menunjam kuat. Artinya harus punya pondasi
iman yang kuat. Selain itu, juga rindang sehingga membuat siapa pun yang berinteraksi
dengan dirinya merasa teduh, nyaman, dan betah tanpa curiga. Islam harus diyakini
sekaligus diamalkan secara utuh, sehingga mampu membuahkan kemanfaatan,
kebajikan bagi semua makhluk disekitarnya.
Islam sebagai dasar
keyakinan sekaligus sumber nilai diharapkan menjadi inspirasi, spirit bagi pemeluknya
agar selalu menegakkan kebajikan, keadilan, moralitas (moral force) dalam
semua urusan dimuka bumi ini. Seperti yang diungkapkan H.A.R. Gibb sebelumnya,
bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia
merupakan peradaban yang lengkap. Artinya, Gibb memandang dalam Islam terdapat perpaduan
(integritas) antara dimensi sakral (ilahiyah) dan profan (duniawi) merupakan
satu entitas utuh yang sulit dipisahkan. Sehingga antara yang profan dan yang
sakral tidak terdapat kepincangan atau kesenjangan baik dari segi pemahaman
maupun pengamalannya.
Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh M.
Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan
kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit,
maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada
bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia.
Begitu
juga pendapat Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat
antara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi.
Bahkan Islam akan tidak pernah terpisah dari persoalan-persoalan sosial-budaya.
Karena itu, tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia. Islam
telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint
sosial yang masih sangat mungkin dapat dihidupkan kembali pada zaman yang
berbeda.
Bertolak dari ketiga pandangan di
atas, kajian Islam (Islamic studies) saat ini yang harus dihadapi adalah
perumuskan metodologis guna melihat makna keagamaannya secara koheren. Sebab
jika tidak dilakukan, maka kajian Islam akan mengalami penurunan yang cenderung
mengabaikan makna keagamaannya itu sendiri. Amin Abdullah menyatakan bahwa
fenomena beragama bukanlah fenomena sederhana seperti yang biasa dibayangkan
orang lain. Karena sikap beragama membutuhkan kesadaran dan kemauan untuk
menerima suatu keberbedaan.[7]
Sikap
keberagamaan di Indonesia dalam kajian sosiologis, dapat dipetakan menjadi
beberapa tipologis. Komaruddin Hidayat di Majalah Ummat (1996) menggambarkan
bahwa ada lima tipologi sikap keberagamaan. Pertama, ekslusivisme
berpandangan bahwa sikap keberagamaan akan melahirkan pandangan bahwa ajaran
yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat, sehingga
dipandang wajib dikikis atau pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Kedua,
sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat
kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurnya agama yang dianutnya. Di sini
masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Ketiga, pluralisme, lebih
moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang
sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga
semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan. Keempat,
eklektivisme, yaitu suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan
mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk
dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang
bersifat eklektik. Kelima, universalisme, beranggapan bahwa pada
dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya saja karena faktor
historis-antropologis maka agama lalu tampil dalam format formal.
Islam dan Sosial Budaya
Banyak para ahli, baik sarjana dalam negeri maupun luar negeri yang
menfokuskan kajiannya tentang Islam dan sosial budaya. Rata-rata pusat kajian
mereka menggunakan pendekatan atau sudut pandang sosio-antropologis. Salah satu
studi penelitian sosial-budaya yang paling menumental mengenai aspek
keberagamaan atau perilaku Islam di Indonesia adalah Clifford Geertz yang hingga saat ini masih menjadi primadona, sebagai
rujukan utama. Meskipun penelitian itu pada akhirnya juga akan terjadi sebuah
pergeseran dan keotentikan hasil, karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
yang jauh berbeda.
Seperti yang ditulis dalam The Religion of Java, Geertz membedakan
kebudayaan Jawa dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi. Abangan, mewakili
suatu kelompok yang lebih menitik beratkan pada aspek animistik dari
sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Santri,
mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya
dihubungkan dengan elemen dagang dan juga elemen tertentu di kalangan petani. Priyayi,
mewakili suatu kelompok yang lebih menekankan aspek-aspek Hindu dihubungkan
dengan elemen birokratik. [8]
Ketiga varian tersebut adalah gambaran atau tafsiran subjektif peneliti yang
sangat dipengaruhi oleh situasional dan kondisi pada lokasi itu. Namun temuan
tersebut seolah-olah dapat ditranfer kesemua tempat di Indonesia dimana Islam
itu ada. Ketika Geertz membukukan hasil penelitiannya di Mojokuto (nama samaran
sebuah kota kecil, Pare di Jawa Timur) pada awal tahun 1950-an, ia mungkin
belum membayangkan bahwa akan terjadi perubahan kultural di kalangan abangan,
santri dan priyayi. Terlepas dari kritik yang banyak ditujukan
oleh ilmuwan sosial atas kategorisasi itu, sampai saat ini dalam analisis
ilmu-ilmu sosial trikotomi tersebut masih kerap digunakan, meskipun dengan
sikap yang berhati-hati.
Kritik sekaligus ingin mematahkan tesis Gertz
dilakukan banyak tokoh. Misalnya M. Bambang Pranowo, menyebutkan bahwa kelompok
abangan yang sarat akan mistiknya itu telah menerapkan prisip-prinsip Islam,
walaupun dengan cara melegitimasi melalui narasi-narasi atau bacaan-bacaan teks
kitab suci. Tetapi mereka (abangan) justru sangat lentur dan tak sering konflik
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kelompok santri yang justru
lebih mudah memantik perbedaan dan percecokan.
Seperti halnya disinyalir para pengamat,
Indonesia saat ini terjadi peningkatan antusiasme dalam berislam yang ditandai
dengan semakin meningkatnya gairah dalam menjalankan Islam baik secara pribadi,
yaitu dengan semakin banyaknya orang yang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan
juga penampakan identitas keislaman yang lebih jelas. Gejala-gejala yang
bersifat umum, misalnya banyaknya lembaga-lembaga keagamaan, munculnya banyak
penerbitan Islam dan meningkatnya intelektualitas umat. Situasi ini oleh
Esposito disebut sebagai "kebangkitan Islam" atau "aktivisme
Islam" dan oleh Azyumardi disebut sebagai intensitas santrinisasi. Secara
umum hal ini dapat diartikan sebagai tampilnya Islam sebagai kekuatan baru yang
diperhitungkan oleh kawan maupun lawan dalam segala aspek kehidupan.
Atas dasar tersebut, maka ada dua kemungkinan dalam hal ini, mereka yang
mengalami peningkatan antusiasme keagamaan adalah mereka yang semula masih
dalam kategori abangan kemudian berubah menjadi santri. Kemungkinan lain,
mereka sebelumnya sudah menjadi santri kemudian secara kualitatif
mengalami peningkatan kembali kualitas
kesantriannya.
Sejalan dengan kemungkinan yang pertama, dalam suatu kesempatan wawancara
dengan Islamika, Hefner mengatakan bahwa "peta kaum abangan sekarang
ini mulai berkurang, meskipun mulai dari Batu sampai Pare, boleh dikatakan masih tetap
ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Kejawen". Semakin
menyusutnya jumlah abangan ini dijelaskan Hefner banyak penyebabnya, tetapi
mereka yang sedang mengalami proses transformasi kultural ini selain yang terbesar menjadi
santri, ada juga yang masuk aliran kebatinan atau berbagai aliran kepercayaan.
Kategori abangan dan santri juga dapat diletakkan dalam dua pendekatan,
yakni dari segi kualitas keagamaan dan stratifikasi sosial, atau sebagai
golongan sosio-religius dan sebagai kekuatan sosio-politik. Kategori ini juga
tidak bersifat statis, misalnya antara priyayi dan wong cilik karena adanya
mobilitas sosial maka mengalami pergeseran. Begitu juga dengan perbedaan antara
abangan dan santri tidak selalu bersifat antagonis, tetapi merupakan sekala
budaya dan pemahaman agama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi
dan pergeseran baik wong cilik menjadi priyayi maupun abangan menjadi santri.
Seperti dikatakan Hefner, ada priyayi yang abangan dan yang santri, juga ada
abangan yang agak priyayi, santri agak priyayi dan sebaliknya.[9]
Tesis yang penting diajukan adalah mengapa terjadi transformasi kultural?
Atau mengapa abangan berubah menjadi santri? Jawaban tentatif tentu dapat
bermacam-macam, misalnya karena modernisasi, politik, pendidikan dan tidak
menutup kemungkinan adalah peran para elit Islam yang dengan semangat kuat
membimbing dan mengajak mereka untuk lebih taat dalam beragama. Ada beberapa
asumsi sebagai penyebab berubahnya kaum abangan menjadi santri.
Menurut Nurcholish Madjid maupun Daliar Noer di
atas dapat dirujuk pula dari kesimpulan beberapa pengamat Islam kontemporer,
misalnya Robert N. Bellah dan Ernest Gellner. Menurut Bellah yang dikutip
Madjid dari Beyond Belief, bahwa Islam menurut zaman dan tempatnya, adalah
sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga gagal. Dan kegagalan itu disebabkan
karena tidak adanya prasarana sosial di Timur Tengah saat itu guna mendasari
penerimaan sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya yang tepat.[10]
Selanjutnya Madjid menjelaskan, jika Islam sebuah modernitas, maka zaman modern
akan memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk dapat melaksanakan
ajaran agamanya secara baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai
penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara
sepenuhnya. Berarti pula, bahwa di zaman modern ini orang-orang Islam akan
dapat memahami ajaran agamanya dan menangkap makna ajaran agama itu sedemikian
rupa sehingga "api" Islam, atau spirit dan ruh atau subtansi ajaran
Islam dapat bersinar dan memebri kontribusi yang berarti dalam kehidupan Muslim
secara pribadi maupun dalam masyarakat secara luas.
Sedangkan Gellner, mengatakan bahwa para sosiolog yang telah lama akrab dan
sering membenarkan teori sekularisasi mengatakan bahwa dalam masyarakat
ilmiah-industri, iman dan amalan agama akan menurun.[11]
Banyak argumen yang dapat dikedepankan untuk memberi topangan intelektual atas
pandangan tersebut, dapat pula dalam hal ini dikedepankan bukti-bukti empiris.
Tetapi, harus ada pengecualian yang dramatis dan mecolok, yaitu Islam.
Menganggap sekularisasi telah melanda Islam tidaklah berlebihan. Namun anggapan
itu salah, sebab saat ini Islam tetap kuat seperti seabad yang lampau, bahkan
mungkin lebih kuat.
Sebagai agama, Islam dapat dilihat
sebagai gejala sosial-budaya. Atha Mudzhar menjelaskan bahwa agama dapat diteliti
kalau telah menjadi gejala budaya. Dalam perspektif ilmu sosial kajian budaya
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebab,
kajian budaya selalu unik yang hampir tidak pernah selesai dibahas dan diteliti
oleh manusia.
Paling tidak, gejala agama dapat
dilihat dari lima sudut. Pertama, berkenaan dengan teks-teks atau sumber
ajaran agama. Kedua, dilihat dari sikap dan prilaku para pemimpin dan
penganutnya. Ketiga, dilihat dari ritus-ritus, lembaga-lembaga dan
ibadat-ibadatnya. Keempat, alat-alat atau media peribadatan, dan kelima,
organisasi keagamaan sebagai sarana mereka berperan dan bertindak.[12]
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu yang terjadi secara natural, disebut sebagai
"transformasi"; dan yang terjadi secara artifisial, atau dibuat
disebut sebagai "rekayasa". Transformasi bisa berkenaan dengan nilai,
bisa juga berkenaan dengan struktur. Transformasi dalam studi ini berkenaan
dengan nilai, yaitu agama yang dihayati oleh pemeluk-pemeluknya. Dalam hal ini
golongan abangan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas dalam hal
keagamaannya dari sekadar muslim secara formal menjadi muslim secara
subtansial, atau spiritual.
Penutup
Islam sebagai pandangan hidup manusia, menempatkan dua tujuan utama, yakni kesuksesan
di dunia dan di akhirat. Seperti kata Malinowski, agama (Islam) adalah "wishful
thinking", yaitu suatu harapan yang muncul karena manusia melihat
bahwa kehidupannya akhirnya akan berakhir dengan kematian. Ia tampaknya masih
memandang agama sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Karena Islam dapat
menolong untuk mengatasi frustasi dan membantu mewujudkan persatuan sosial.
Islam menekankan dua aspek penting, yakni adanya hubungan dengan Allah (hablum
minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum Minannas)
secara integral. Keutuhan dan keseimbangan hubungan itu akan menjadikan
seseorang dapat bergaul dengan sangat luwes dan tidak sempit. Sebab keutuhan
Islam dibangun mulai dari sistem kepercayaan (belief), peribadatan (ritual),
masyarakat (community), lembaga atau kelembagaan (institution)
dan masalah pengalaman keagamaan (religious experience).
Islam menempatkan kitab suci sebagai petunjuk atau "suatu kekuatan
hidup yang tertinggi". Apa yang terlihat di dalamnya adalah suatu yang mampu
mengatasi segala kebutuhan makhluknya. Melalui kitab suci ini setiap muslim terdorong
untuk melakukan pengabdian, penghambaan dan bahkan pengorbanan untuk mewujudkan
kehidupan yang bermafaat bagi kemaslahatan ummat.
Daftar Bacaan
Abdullah,
M. Amin, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas.? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy,
Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia, Bandung:
Mizan, 1986.
Ali, Fachry, dalam Pengantar
Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998
Aziz, M. Amin, The Power
al-Fatihah, Cet. III, Jakarta: Pinbuk Press,
2008
Azra, Azyumardi, Islam Indonesia:
Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. [terj]. Aswab
Mahasin. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983
Gellener, Ernest, Muslim Society,
Combridge University Press Gellner, 1994
Gibb, H.A.R. Whither Islam, London: Victor Gollanez
Ltd., 1932.
Hefner, Robert W. ICMI dan
Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hal. 59.
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja
Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
M. Natsir, Capita Selecta, I., Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Madjid,
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Mudzhar,
Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, Yogayakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
[1]
Gibb, H.A.R. Whither Islam, London:
Victor Gollanez Ltd., 1932. hal. 12. seperti yang dikutip M. Natsir, Capita
Selecta, I., (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 15.
[2]
Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan,
Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal. xlv-xlvi
[3]
Aziz, M. Amin, The Power al-Fatihah,
Cet. III, (Jakarta:
Pinbuk Press, 2008), Hal. xxviii.
[4]
Lihat, Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1986) hal. 32.
[5]
Azra, Azyumardi, Islam Indonesia:
Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan..
[6]
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis
Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 9.
[7]Abdullah, M. Amin, Studi Islam,
Normativitas atau Historisitas.? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal.
23.
[8]
Geertz, Clifford. The Religion of
Java. [terj]. Aswab Mahasin.
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 8.
[9]Hefner,
Robert W. ICMI dan Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994), hal. 59.
[11] Gellener,
Ernest, Muslim Society, (Combridge University Press Gellner, 1994), hal. 16-17.
[12] Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan
Praktek, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar,1998), hal 14.