Jumat, 19 April 2013
Islam dan Cita-cita Hidup Manusia
SEBAGAI sebuah agama, Islam adalah ajaran yang menekankan bentuk kepasrahan totalitas. Seperti namanya, sebuah kata dalam bahasa Arab bahwa makna Islam ialah sikap pasrah kepada Allah secara keseluruhan, karena menaruh kepercayaan dan menambatkan hidupnya hanya kepada Allah Swt.
Dalam kitab suci al-qur’an ditegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Sebagai makhluk Allah, manusia harus tunduk taat dan patuh kepada Sang Pencipta (Allah), terhadap segala perintah dan larangannya. Allah dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman---orang yang hati, lisan dan perbuatannya---berbuah kebajikan untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat dan negaranya. Islam memberikan jalan yang menyelamatkan dirinya agar hidupnya bersih, bahagia dan selamat.
Islam sebagai agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi kesejarahan yang sangat menarik. Menarik bukan saja dari segi doktrin dan risalahnya, namun juga tidak kalah pentingnya adalah dari sudut peristiwa-peristiwa kenabian (profetik) yang dialaminya sebagai rasul terakhir. Islam memuat segala bidang kehidupan. Al-Qur’an membiarakan agar orang mukmin itu selalu berdzikir kepada Allah, berpikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan, menggali dan mengeksplorasi ciptaan Allah, serta mengantarkan bahwa ciptaan Allah itu benar-benar membuktikan keagungan-Nya.
Jika dilihat dari sudut ajarannya, Islam adalah agama yang memiliki banyak piranti, diantaranya; dimensi pembaruan (tajdid), pembebasan (tauhid) dan universal (rahmatan lil alamin). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah titah universal, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 21:107). Mengemban misi universalisme Islam, berarti dalam kerasulannya bukan hanya mendemontrasikan aspek-aspek kehidupan yang bersifat ukhrawi (sakral), melainkan juga memberikan tauladan kemanusiaan, bahwa Nabi Muhammad sendiri menekankan betapa pentingya aspek-aspek kehidupan duniawi (profan) yang tidak bisa diabaikan begitu saja (QS. 28:77). Karena aspek yang kedua ini merupakan bagian dari sekian banyak pilar yang akan ikut memformat kehidupan kehidupan jangka panjang atau eskatologis (ukhrawi).
Hijrah sebagaimana yang dikenal dalam sejarah kenabian (Muhammad) adalah rangkaian dari misi kerasulannya sebagai figur mujaddid (reformer, pembaru) akhlak dan moral manusia. Muhammad Saw. melakukan tranformasi kehidupan besar-besaran, dari sosio-kultural yang otoritatif, yang dzalim dan musyrik, menuju tatanan masyarakat madani (civil society). Seorang rasul itu mengemban tugas menyalakan lentara keadilan dan kerahmatan semua manusia.
Pesan moral Islam yang digubah rasulullah itu dimaksudkan untuk membuka tatanan baru yang telah kehilangan makna, dengan menawarkan cara hidup yang berkualitas dan berbuah kebaikan. Semangat hijrah dapat dimengerti sebagai perubahan dari tatanan semula yang kurang beradab menjadi beradab, baik menyangkut masalah keyakinan maupun masalah kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Hijrah mengadung pesan moral yang sangat tinggi untuk merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial (QS. 2:218). Pesan hijrah diantaranya adalah telah melahirkan sendi-sendi kehidupan yang berprinsip pada tauhid (liberty). Semula orang Arab menganggap bahwa benda patung adalah Tuhan mereka, yang dianggap mampu memberikan kepastian dan keselamatan hidup. Dengan kedatangan Muhammad, masyarakat Arab berubah keyakinan menjadi monotheisme, meski tidak semua penduduk mempercayainya.
Di samping itu, pesan moral hijrah adalah adanya pengakuan prinsip equality (persamaan). Kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat, tidak pernah menomorduakan warganya, lantaran sentimen agama, kelompok, ras dan budaya. Semua warga memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperhatikan sebagaimana yang lain, selama tidak saling mengganggu dan memusuhinya.
Kesaksian hijrah ditunjukkan dengan sikap moral yang luhur bahwa betapa pentingnya sikap tasamuh (toleransi) dalam kehidupan sosial. Kemauan bertasamuh merupakan sikap moral yang sadar dan terbuka. Kemauan ini berarti menuntut keberanian dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Seruan moral selanjutnya adalah adanya negara hukum. Sebagai sebuah perangkat kehidupan masyarakat, hukum merupakan jantung dari sendi-sendi kedamaian dan keadilan. Rasa kedamain dan keadilan merupakan tujuan kehidupan manusia dalam membangun cita-cita masyarakat, bangsa dan negara. Jadi hijrah merupakan kemauan dalam menegakkan hukum untuk melindungi segala kedzaliman yang terjadi. Tujuan ini adalah melindungai jiwa dan agama sekaligus mengurangi penderitaan kaum tertindas akibat perbuatan yang melanggar hukum (QS. 3:195, 4:100). Seruan ini dipraktekkan Muhammad selama dalam proses kenabiaannya. Dengan ketegasannya itu ia mengatakan bahwa ‘’jika Fathimah (putrinya) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya”, seruan ini benar-benar tegas dan lugas tidak memangdang status sosial apapun.
Tidak heran kalau kebanyakan pakar melihat bahwa semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang berlebihan. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.
Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.
Dari sekian banyak ilmuan Barat di atas mengakui bahwa Muhammad tidak hanya menjadi panutan umat muslim, tetapi merupakan manusia pilihan yang memiliki integritas moral kemanusiaan yang sangat luhur dan bijak. yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan.
Dengan demikian, hijrah merupakan tahap paling peting dalam perjalanan spiritual manusia kepada jalan ilahi (ketentraman dan kedamaian). Begitu juga, implikasi sosialnya sangat luas dalam membersihkan bentuk-bentuk kemunkaran dan kedzaliman menuju proses pembersihan diri demi tegaknya agama, sebagai pandangan hidup dalam memformat sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan ketatanegaraan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Langganan:
Postingan (Atom)