Mujtahid
DARI sejumlah pengalaman banyak negara, demokrasi merupakan jalan berliku dan penuh duri yang membutuhkan terobosan manajemen gerakan dari aktor organisasi masyarakat sipil. Dalam konteks Indonesia misalnya, kebekuan demokrasi selama bertahun-tahun hanya mampu dilawan dan dipecahkan lewat peran masyarakat sipil.
Peran civil society (masyarakat sipil) dimungkinkan dapat menembus lintas batas sektoral yang menghadangnya. Sebab tantangan serius bagi civil society, baik secara domestik maupun global, pasti akan berhadapan dengan “kekuasaan” dan “kekuatan kapital” yang itu merupakan musuh internal dan eksternal suatu bangsa.
Saat ini negara-negara maju menginginkan bagaimana caranya agar civil society mefungsikan peran-peran organisasi sosialnya; seperti media, perguruan tinggi, ormas, kelompok agama, kelompok adat, ikut berpartisipasi melakukan check and balance terhadap power negara dan tekanan kapital yang meruntuhkan pilar-pilar demokrasi.
Dengan mengefektifkan organisasi sosial tersebut, sendi-sendi demokrasi dapat dibangun di atas kepentingan bersama, walaupun harus berbeda partai, suku, agama, status pendidikan dan sosial, demi memajukan pembangunan bangsa.
Harus diakui bahwa sampai saat ini, organisasi civil society di Indonesia masih lemah dan memiliki kapasitas terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena sebagian besar dari organisasi tersebut belum mandiri, khususnya ketika bersinggungan dengan pendanaan, yang ujung-ujungnya sering ketergantungan dengan “agen asing” dari yang memberikan bantuan itu.
Dalam pandangan Andiwidjayanto (2007), dikatakan bahwa betapa derasnya arus perubahan sosial, budaya dan politik terjadi ditingkat global yang ikut mempengaruhi dinamika kehidupan nasional. Akibat fenomena ini, maka organisasi masyarakat sipil seharusnya mengadopsi sebuah prinsip atau jargon “think globlly, act locally”.
Prinsip di atas mengajarkan bahwa dalam bentindak pada level lokal, seseorang harus pula memahami bagaimana kekuatan global (pengaruh eksternal) mempengaruhi realitas keadaan lokal (internal). Prinsip ini hendak mengatakan bahwa upaya menghadapi masalah-masalah lokal tanpa mengetahui dan memahami kekuatan proses tingkat global yang semakin meningkat merupakan kesalahan taktik.
Menurut Rajesh Tandon, mantan ketua CIVICUS: World Alliance for Citizen Parcipation, mengusulkan bahwa para aktivis sosial perlu berpikir secara global dan bertindak secara lokal, karena kenyataan globalisasi telah merasuk ke dalam jantung tatanan nasional kita.
Saat ini, terdapat sejumlah aktor global civil society actor, termasuk keorganisasi internasional seperti Amnesty International dan Greenpeace, juga ornop international otonom seperti human right watch. Jejeringan masyarakat sipil telah berkembang di sekitar area-area isu spesifik yang menjadi perhatian sebagian besar masyarakat di dunia.
Gerakan-gerakan transnational civil society movements terus melakukan proses pemantauan terhadap power dan praktik sistem negara-bangsa. Mereka telah menentang hukum internasional dan terpenting menentang geopolitik negara-negara kaya dunia yang dianggap hanya memenuhi ambisi mereka sendiri.
Liberalisasi kapital dan perkembangan teknologi membawa dampak positif dan negatif terhadap eksistensi masyarakat sipil. Masalah tatanan dunia global terletak pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pusat-pusat kekuasaan, yakni negara, institusi multilateral, dan perusahaan internasional serta modal keuangan telah melampaui batas teritorial negara. Padahal, partisipasi demokrasi dan kesepakatan sosial tetap berdasarkan batasan teritorial dalam sebuah negara.
Dengan menggerakkan partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan global, maka menjadi alternatif untuk menjadikan sistem global lebih demokratis, membatasi hegemoni negara dalam praktikan hukum rimba di dalam forum internasional serta mengusahakan keterbukaan proses pengambilan keputusan di hadapan publik dunia.
Kehadiran masyarakat sipil global diyakini akan memperbaiki sistem karena adanya keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Samuel Huntington misalnya, menyatakan bahwa demokratisasi, khususnya yang ia sebut sebagai demokratisasi gelombang ketiga, disuburkan oleh kehadiran masyarakat sipil.
Peran masyarakat sipil di Indonesia, seperti yang pernah dibahas oleh AS. Hikam dan Buchori dalam sebuah forum diskusi, dinyatakan bahwa civil society sangat mempengaruhi pada debirokratisasi dan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan masyarakat. Hal serupa juga digambarkan oleh Eldridge, bahwa organisasi civil society mampu mengembangkan kapasitas self-management di antara kelompok-kelompok yang seringkali sangat dirugikan.
Proses transnasionalisasi masyarakat sipil harus disertai dengan inisiasi suatu cara pandang baru yang dapat menghubungkan poros warga dengan poros negara dan atau poros pasar. Cara pandang baru tersebut harus meletakkan poros masyarakat akar rumput sebagai batu penjuru yang akan menopang bekerjasama suatu proses tranformasi global.
Masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universal manusia yang tidak melihat pada perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideologi, agama, dan identitas primordial lainnya.
Untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi di atas kepentingan nasionalisme, membutuhkan apresiasi yang positif dari siapapun, mulai dari kaum awam, intelektual hingga kaum pejabat-birokrat ditingkat pemerintahan.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Rabu, 22 Desember 2010
Minggu, 12 Desember 2010
Melacak Jejak Spiritual Abdul Muhyi
Mujtahid
SEJAK pertengahan abad ke tujuh belas, tokoh besar sekaligus ulama sufi Abdul Muhyi mendakwakan ajaran Islam di Jawa Barat. Ulama tersohor ini konon dikenal juga sebagai seorang wali di kalangan masyarakat; khususnya di Tasikmalaya Selatan, Kecamatan Bantarkalong. Jejak spiritualitasnya meninggalkan magnit luar biasa terhadap para pengikutnya sampai sekarang ini.
Abdul Muhyi sendiri aslinya adalah dari Jawa Tengah, Mataram-Surakarta. Dia sempat dibesarkan di Gresik dari ibu Raden Ajeng Tangeunjiah dan bapak Lebe Wartakusumah. Ulama sufi ini mengaku masih ada hubungan hereditas dengan keluarga Rasulullah Saw. dari jalur keluarga ibunya.
Perjalanan dakwah dan spiritual Abdul Muhyi tidak bisa dilepaskan dengan Gua Pamijahan. Melalui Gua Pamijahan, yang terletak di kaki bukit Bantarkalong, disinilah dia menemukan ketenangan bathiniyah, sekaligus sebagai tempat “riyâdhah spiritual”. Titik pusat penyebaran ajaran-ajarannya memang diawali dari tempat itu. Bahkan, sampai sekarang Gua tersebut masih di keramatkan oleh sebagian warga setempat.
Abdul Muhyi adalah ulama yang menyambung mata rantai ajaran tarekat syathâriyah di pulau Jawa. Dia meneruskan paham gurunya Syekh Abdul Rauf al-Sinkili. Jalan spiritual atau tarekat menurut ajaran Muhyi sendiri adalah ketetapan dzikir rohani, yang mengungkapkan keyakinan yang berpusat pada kalimah thayyibah atau kalimah tauhîd yang tertuang dalam lafadz lâ ilâha illallâh.
Makna kalimah thayyibah tersebut, kata Abdul Muhyi, bila dihayati secara benar dan baik, maka ia bisa menjadi modal fondasi yang kokoh untuk kebaikan hidup seseorang. Tarekat Syathâriyah membolehkan dzikir secara sirr (di dalam hati) maupun secara jahrr (suara keras).
Tarekat Syathâriyah yang dikembangkan Abdul Muhyi merupakan perpaduan antara tarekat Qâdiriyah dan Naqsabandiyah. Warna lain kedua tarekat ini terlihat kuat di dalam sistem dzikir yang dipakai Abdul Muhyi, yaitu dzikir al-jahr dan dzikir al-sirr. Dzikir al-jahr adalah dzikir yang digunakan oleh Tarekat Qâdiriyah, yaitu menyuarakan keras-keras kalimah thayyibah kemudian diresapkan ke dalam hati, agar hati tercerahkan dengan cahaya ilahiyah. Sedangkan dzikir al-sirr adalah dzikir yang praktekkan oleh Tarekat Naqsabandiyyah, yakni dengan menghaluskan bacaan di dalam hati dengan pendekatan nafyi (tiada Tuhan) dan istbât (kecuali Allah).
Untuk menuju tahapan spiritual menjadi sufi, Abdul Muhyi mensyaratkan seseorang empat tahapan, yaitu murid mubtadî, murid mutawâssith, murid kâmil, dan murid kâmil mukammil.
Pertama, murid mubtadî yaitu murid yang masih berbuat maksiat, akan tetapi hatinya tetap tertuju kepada Allah semata. Atau hatinya masih salim (selamat) dari perbauatan syirik dan sifat munafik. Seperti lazimnya tradisi sufi, ia dalam perjalanan spiritualnya akan mendapatkan keadaan Fanâ, yakni proses integrasi atau peleburan diri dalam kebesaran Tuhan.
Kedua, murid mutawâssith adalah seorang yang mempunyai hati sudah bersih dari getaran kalbu selain kepada Allah, disebut juga dengan hati tawajjuh, yaitu hati yang senantiasa ingat dan tertuju kepada Allah semata. Adapun tingkatan Fanâ kelompok ini adalah Fanâ di dalam sifat, maqamnya adalah maqam al-jam’ yaitu tingkat integrasi dengan Allah, karena selalu mengingat dan merasa disertai Allah.
Ketiga, murid kâmil adalah kalangan dengan hati dan suasana rohani yang sudah bersih dari seluruh getaran selain Allah. Kalangan ini berhasil menjauhkan dirinya secara utuh dari seluruh daya tarik makhluk (materi), yang berarti hatinya sudah murni (Mujarrad). Bentuk dzikir tingkatan ini adalah dzikir muntahâ, yakni menyebut maujud (ada) kecuali Allah. Kalangan ini sudah lebih tinggi, setingkat âlam jabarrût (pandangan ruhaninya telah sirna, menyatu di dalam dzat Allah).
Keempat, murid kâmil mukammil, yaitu seorang murid yang sudah memiliki penyaksian yang kuat (syuhûd) dan menyatu di dalam zat Allah. Hati seperti ini adalah hati rabbani, yakni hati yang sudah diliputi dan dinaungi hanya oleh Allah. Tingkatan ilmunya sudah mencapai akmâl yaqîn (dapat melihat dan mengetahui Allah secara nyata). Abdul Muhyi menyebutnya dengan wahda al-syuhûd.
Ajaran lain yang bisa diambil dari Abdul Muhyi sendiri berkaitan dengan proses perjalanan spritual seseorang dalam dunia sufistik adalah konsepsinya tentang syâhadataian. Dia membaginya menjadi dua bagian, yaitu lâ ilâha illallâh sebagai hakikat dan Muhammad Rasulullâh sebagai syarî’ah; keduanya disebut dengan tarekat Muhammadiyah. Kedua-duanya, antara syari’at dan hakikat harus menyatu, sebab kedua merupakan komponen yang saling melengkap kualitas keimanan seseorang.
Keberhasilan Abdul Muhyi dalam mengembangkan ajaran syathâriyah tidak luput dari jaringan dengan ulama-ulama besar, baik dalam maupun luar Nusantara. Keterikatan jaringan inilah yang memengaruhi jalan pemikirannya. Hasil penelitian M. Wildan Yahya (2007), menyebutkan bahwa beliau sempat kontak dengan ajaran Wujudiyyah di Aceh, ajaran Khalwatiyyah di Makassar, ajaran Samaniyah di Palembang dan di Banjarmasing.
Abdul Muhyi juga tercatat sebagai tokoh kunci yang meletakkan dasar ajaran “martabat tujuh” di tanah Jawa. Ajaran beliau kemudian mengembang dan meluas hingga mewarnai berbagai paham dan budaya pada kepustakaan mistik Islam (perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam) di Jawa. Ajaran “martabat tujuh” hanya mengakui bahwa Tuhan merupakan aspek batin dari segala yang ada di alam semesta. Semua yang ada di alam semseta adalah wujûd majâzî dari satu hakikat yang tunggal.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Malang
SEJAK pertengahan abad ke tujuh belas, tokoh besar sekaligus ulama sufi Abdul Muhyi mendakwakan ajaran Islam di Jawa Barat. Ulama tersohor ini konon dikenal juga sebagai seorang wali di kalangan masyarakat; khususnya di Tasikmalaya Selatan, Kecamatan Bantarkalong. Jejak spiritualitasnya meninggalkan magnit luar biasa terhadap para pengikutnya sampai sekarang ini.
Abdul Muhyi sendiri aslinya adalah dari Jawa Tengah, Mataram-Surakarta. Dia sempat dibesarkan di Gresik dari ibu Raden Ajeng Tangeunjiah dan bapak Lebe Wartakusumah. Ulama sufi ini mengaku masih ada hubungan hereditas dengan keluarga Rasulullah Saw. dari jalur keluarga ibunya.
Perjalanan dakwah dan spiritual Abdul Muhyi tidak bisa dilepaskan dengan Gua Pamijahan. Melalui Gua Pamijahan, yang terletak di kaki bukit Bantarkalong, disinilah dia menemukan ketenangan bathiniyah, sekaligus sebagai tempat “riyâdhah spiritual”. Titik pusat penyebaran ajaran-ajarannya memang diawali dari tempat itu. Bahkan, sampai sekarang Gua tersebut masih di keramatkan oleh sebagian warga setempat.
Abdul Muhyi adalah ulama yang menyambung mata rantai ajaran tarekat syathâriyah di pulau Jawa. Dia meneruskan paham gurunya Syekh Abdul Rauf al-Sinkili. Jalan spiritual atau tarekat menurut ajaran Muhyi sendiri adalah ketetapan dzikir rohani, yang mengungkapkan keyakinan yang berpusat pada kalimah thayyibah atau kalimah tauhîd yang tertuang dalam lafadz lâ ilâha illallâh.
Makna kalimah thayyibah tersebut, kata Abdul Muhyi, bila dihayati secara benar dan baik, maka ia bisa menjadi modal fondasi yang kokoh untuk kebaikan hidup seseorang. Tarekat Syathâriyah membolehkan dzikir secara sirr (di dalam hati) maupun secara jahrr (suara keras).
Tarekat Syathâriyah yang dikembangkan Abdul Muhyi merupakan perpaduan antara tarekat Qâdiriyah dan Naqsabandiyah. Warna lain kedua tarekat ini terlihat kuat di dalam sistem dzikir yang dipakai Abdul Muhyi, yaitu dzikir al-jahr dan dzikir al-sirr. Dzikir al-jahr adalah dzikir yang digunakan oleh Tarekat Qâdiriyah, yaitu menyuarakan keras-keras kalimah thayyibah kemudian diresapkan ke dalam hati, agar hati tercerahkan dengan cahaya ilahiyah. Sedangkan dzikir al-sirr adalah dzikir yang praktekkan oleh Tarekat Naqsabandiyyah, yakni dengan menghaluskan bacaan di dalam hati dengan pendekatan nafyi (tiada Tuhan) dan istbât (kecuali Allah).
Untuk menuju tahapan spiritual menjadi sufi, Abdul Muhyi mensyaratkan seseorang empat tahapan, yaitu murid mubtadî, murid mutawâssith, murid kâmil, dan murid kâmil mukammil.
Pertama, murid mubtadî yaitu murid yang masih berbuat maksiat, akan tetapi hatinya tetap tertuju kepada Allah semata. Atau hatinya masih salim (selamat) dari perbauatan syirik dan sifat munafik. Seperti lazimnya tradisi sufi, ia dalam perjalanan spiritualnya akan mendapatkan keadaan Fanâ, yakni proses integrasi atau peleburan diri dalam kebesaran Tuhan.
Kedua, murid mutawâssith adalah seorang yang mempunyai hati sudah bersih dari getaran kalbu selain kepada Allah, disebut juga dengan hati tawajjuh, yaitu hati yang senantiasa ingat dan tertuju kepada Allah semata. Adapun tingkatan Fanâ kelompok ini adalah Fanâ di dalam sifat, maqamnya adalah maqam al-jam’ yaitu tingkat integrasi dengan Allah, karena selalu mengingat dan merasa disertai Allah.
Ketiga, murid kâmil adalah kalangan dengan hati dan suasana rohani yang sudah bersih dari seluruh getaran selain Allah. Kalangan ini berhasil menjauhkan dirinya secara utuh dari seluruh daya tarik makhluk (materi), yang berarti hatinya sudah murni (Mujarrad). Bentuk dzikir tingkatan ini adalah dzikir muntahâ, yakni menyebut maujud (ada) kecuali Allah. Kalangan ini sudah lebih tinggi, setingkat âlam jabarrût (pandangan ruhaninya telah sirna, menyatu di dalam dzat Allah).
Keempat, murid kâmil mukammil, yaitu seorang murid yang sudah memiliki penyaksian yang kuat (syuhûd) dan menyatu di dalam zat Allah. Hati seperti ini adalah hati rabbani, yakni hati yang sudah diliputi dan dinaungi hanya oleh Allah. Tingkatan ilmunya sudah mencapai akmâl yaqîn (dapat melihat dan mengetahui Allah secara nyata). Abdul Muhyi menyebutnya dengan wahda al-syuhûd.
Ajaran lain yang bisa diambil dari Abdul Muhyi sendiri berkaitan dengan proses perjalanan spritual seseorang dalam dunia sufistik adalah konsepsinya tentang syâhadataian. Dia membaginya menjadi dua bagian, yaitu lâ ilâha illallâh sebagai hakikat dan Muhammad Rasulullâh sebagai syarî’ah; keduanya disebut dengan tarekat Muhammadiyah. Kedua-duanya, antara syari’at dan hakikat harus menyatu, sebab kedua merupakan komponen yang saling melengkap kualitas keimanan seseorang.
Keberhasilan Abdul Muhyi dalam mengembangkan ajaran syathâriyah tidak luput dari jaringan dengan ulama-ulama besar, baik dalam maupun luar Nusantara. Keterikatan jaringan inilah yang memengaruhi jalan pemikirannya. Hasil penelitian M. Wildan Yahya (2007), menyebutkan bahwa beliau sempat kontak dengan ajaran Wujudiyyah di Aceh, ajaran Khalwatiyyah di Makassar, ajaran Samaniyah di Palembang dan di Banjarmasing.
Abdul Muhyi juga tercatat sebagai tokoh kunci yang meletakkan dasar ajaran “martabat tujuh” di tanah Jawa. Ajaran beliau kemudian mengembang dan meluas hingga mewarnai berbagai paham dan budaya pada kepustakaan mistik Islam (perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam) di Jawa. Ajaran “martabat tujuh” hanya mengakui bahwa Tuhan merupakan aspek batin dari segala yang ada di alam semesta. Semua yang ada di alam semseta adalah wujûd majâzî dari satu hakikat yang tunggal.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Malang
Rabu, 01 Desember 2010
Memaknai Kembali Misi Hijrah
Oleh: Mujtahid
SEBAGAI sebuah agama, Islam adalah ajaran yang menekankan bentuk kepasrahan totalitas. Seperti namanya, sebuah kata dalam bahasa Arab bahwa makna Islam yaitu sikap pasrah kepada Allah secara keseluruhan, karena menaruh kepercayaan kepada Allah Swt.
Dalam kitab suci al-qur’an ditegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Dijelaskan di dalam al-Qur’an, bahwa manusia boleh memilih untuk berpihak kepada Sang Pencipta (Allah), dan menerima tantangan moral-Nya. Jika ia memilih jalan ini, jalan menuju Allah, maka Allah dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman, dan menentukannya menuju berbagai jalan untuk menjadikan dirinya pribadi yang lurus dan bersih, bahagia dan selamat.
Islam dan Kenabian
Islam sebagai agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi kesejarahan yang sangat menarik. Menarik bukan saja dari segi doktrin dan risalahnya, namun juga tidak kalah pentingnya adalah dari sudut peristiwa-peristiwa kenabian (profetik) yang dialaminya sebagai rasul terakhir.
Jika dilihat dari sudut ajarannya, Islam adalah agama yang memiliki banyak piranti, diantaranya; dimensi pembaruan (tajdid), pembebasan (tauhid) dan universal (rahmatan lil alamin). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah titah universal, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 21:107). Mengemban misi universalisme Islam, berarti dalam kerasulannya bukan hanya mendemontrasikan aspek-aspek kehidupan yang bersifat ukhrawi (sakral), melainkan juga memberikan tauladan kemanusiaan, bahwa Nabi Muhammad sendiri menekankan betapa pentingya aspek-aspek kehidupan duniawi (profan) yang tidak bisa diabaikan begitu saja (QS. 28:77). Karena aspek yang kedua ini merupakan bagian dari sekian banyak pilar yang akan ikut memformat kehidupan kehidupan jangka panjang atau eskatologis (ukhrawi).
Hijrah sebagaimana yang dikenal dalam sejarah kenabian (Muhammad) adalah rangkaian dari misi kerasulannya sebagai figur mujaddid (reformer, pembaru) moral kemanusiaan. Ia telah melakukan tranformasi kehidupan besar-besaran, dari sosio-kultural yang otoritatif (zalim, musyrik) menuju tatanan masyarakat madani (civil society), adil dan penuh kerahmatan. Jika ditilik dari segi termenologis, kata hijrah berasal dari bahasa arab, yang artinya pindah atau perpindahan. Dengan demikian, hijrah berarti perjalanan dengan niat religius.
Perjalanan itu dimaksudkan untuk membuka era baru yang selama ini kehilangan makna, dan menghadapi segala penindasan. Sehingga hijrah dimengerti sebagai perubahan dari tatanan semula yang kurang beradab menjadi beradab, baik menyangkut masalah keyakinan maupun masalah kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Hijrah mengadung pesan moral yang sangat tinggi untuk merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial (QS. 2:218). Pesan hijrah diantaranya adalah telah melahirkan sendi-sendi kehidupan yang berprinsip pada tauhid (liberty). Semula orang Arab menganggap bahwa benda patung adalah Tuhan mereka, yang dianggap mampu memberikan kepastian dan keselamatan hidup. Dengan kedatangan Muhammad, masyarakat Arab berubah keyakinan menjadi monotheisme, meski tidak semua penduduk mempercayainya.
Di samping itu, pesan moral hijrah adalah adanya pengakuan prinsip equality (persamaan). Kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat, tidak pernah menomorduakan warganya, lantaran sentimen agama, kelompok, ras dan budaya. Semua warga memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperhatikan sebagaimana yang lain, selama tidak saling mengganggu dan memusuhinya.
Kesaksian hijrah ditunjukkan dengan sikap moral yang luhur bahwa betapa pentingnya sikap tasamuh (toleransi) dalam kehidupan sosial. Kemauan bertasamuh merupakan sikap moral yang sadar dan terbuka. Kemauan ini berarti menuntut keberanian dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Seruan moral selanjutnya adalah adanya negara hukum. Sebagai sebuah perangkat kehidupan masyarakat, hukum merupakan jantung dari sendi-sendi kedamaian dan keadilan. Rasa kedamain dan keadilan merupakan tujuan kehidupan manusia dalam membangun cita-cita masyarakat, bangsa dan negara. Jadi hijrah merupakan kemauan dalam menegakkan hukum untuk melindungi segala kedzaliman yang terjadi. Tujuan ini adalah melindungai jiwa dan agama sekaligus mengurangi penderitaan kaum tertindas akibat perbuatan yang melanggar hukum (QS. 3:195, 4:100). Seruan ini dipraktekkan Muhammad selama dalam proses kenabiaannya. Dengan ketegasannya itu ia mengatakan bahwa ‘’jika Fathimah (putrinya) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya”, seruan ini benar-benar tegas dan lugas tidak memangdang status sosial apapun.
Tidak heran kalau kebanyakan pakar melihat bahwa semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang berlebihan. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.
Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.
Dari sekian banyak ilmuan Barat di atas mengakui bahwa Muhammad tidak hanya menjadi panutan umat muslim, tetapi merupakan manusia pilihan yang memiliki integritas moral kemanusiaan yang sangat luhur dan bijak. yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan.
Dengan demikian, hijrah merupakan tahap paling peting dalam perjalanan spiritual manusia kepada jalan ilahi (ketentraman dan kedamaian). Begitu juga, implikasi sosialnya sangat luas dalam membersihkan bentuk-bentuk kemunkaran dan kedzaliman menuju proses pembersihan diri demi tegaknya agama, sebagai pandangan hidup dalam memformat sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan ketatanegaraan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
SEBAGAI sebuah agama, Islam adalah ajaran yang menekankan bentuk kepasrahan totalitas. Seperti namanya, sebuah kata dalam bahasa Arab bahwa makna Islam yaitu sikap pasrah kepada Allah secara keseluruhan, karena menaruh kepercayaan kepada Allah Swt.
Dalam kitab suci al-qur’an ditegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Dijelaskan di dalam al-Qur’an, bahwa manusia boleh memilih untuk berpihak kepada Sang Pencipta (Allah), dan menerima tantangan moral-Nya. Jika ia memilih jalan ini, jalan menuju Allah, maka Allah dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman, dan menentukannya menuju berbagai jalan untuk menjadikan dirinya pribadi yang lurus dan bersih, bahagia dan selamat.
Islam dan Kenabian
Islam sebagai agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi kesejarahan yang sangat menarik. Menarik bukan saja dari segi doktrin dan risalahnya, namun juga tidak kalah pentingnya adalah dari sudut peristiwa-peristiwa kenabian (profetik) yang dialaminya sebagai rasul terakhir.
Jika dilihat dari sudut ajarannya, Islam adalah agama yang memiliki banyak piranti, diantaranya; dimensi pembaruan (tajdid), pembebasan (tauhid) dan universal (rahmatan lil alamin). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah titah universal, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 21:107). Mengemban misi universalisme Islam, berarti dalam kerasulannya bukan hanya mendemontrasikan aspek-aspek kehidupan yang bersifat ukhrawi (sakral), melainkan juga memberikan tauladan kemanusiaan, bahwa Nabi Muhammad sendiri menekankan betapa pentingya aspek-aspek kehidupan duniawi (profan) yang tidak bisa diabaikan begitu saja (QS. 28:77). Karena aspek yang kedua ini merupakan bagian dari sekian banyak pilar yang akan ikut memformat kehidupan kehidupan jangka panjang atau eskatologis (ukhrawi).
Hijrah sebagaimana yang dikenal dalam sejarah kenabian (Muhammad) adalah rangkaian dari misi kerasulannya sebagai figur mujaddid (reformer, pembaru) moral kemanusiaan. Ia telah melakukan tranformasi kehidupan besar-besaran, dari sosio-kultural yang otoritatif (zalim, musyrik) menuju tatanan masyarakat madani (civil society), adil dan penuh kerahmatan. Jika ditilik dari segi termenologis, kata hijrah berasal dari bahasa arab, yang artinya pindah atau perpindahan. Dengan demikian, hijrah berarti perjalanan dengan niat religius.
Perjalanan itu dimaksudkan untuk membuka era baru yang selama ini kehilangan makna, dan menghadapi segala penindasan. Sehingga hijrah dimengerti sebagai perubahan dari tatanan semula yang kurang beradab menjadi beradab, baik menyangkut masalah keyakinan maupun masalah kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Hijrah mengadung pesan moral yang sangat tinggi untuk merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial (QS. 2:218). Pesan hijrah diantaranya adalah telah melahirkan sendi-sendi kehidupan yang berprinsip pada tauhid (liberty). Semula orang Arab menganggap bahwa benda patung adalah Tuhan mereka, yang dianggap mampu memberikan kepastian dan keselamatan hidup. Dengan kedatangan Muhammad, masyarakat Arab berubah keyakinan menjadi monotheisme, meski tidak semua penduduk mempercayainya.
Di samping itu, pesan moral hijrah adalah adanya pengakuan prinsip equality (persamaan). Kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat, tidak pernah menomorduakan warganya, lantaran sentimen agama, kelompok, ras dan budaya. Semua warga memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperhatikan sebagaimana yang lain, selama tidak saling mengganggu dan memusuhinya.
Kesaksian hijrah ditunjukkan dengan sikap moral yang luhur bahwa betapa pentingnya sikap tasamuh (toleransi) dalam kehidupan sosial. Kemauan bertasamuh merupakan sikap moral yang sadar dan terbuka. Kemauan ini berarti menuntut keberanian dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Seruan moral selanjutnya adalah adanya negara hukum. Sebagai sebuah perangkat kehidupan masyarakat, hukum merupakan jantung dari sendi-sendi kedamaian dan keadilan. Rasa kedamain dan keadilan merupakan tujuan kehidupan manusia dalam membangun cita-cita masyarakat, bangsa dan negara. Jadi hijrah merupakan kemauan dalam menegakkan hukum untuk melindungi segala kedzaliman yang terjadi. Tujuan ini adalah melindungai jiwa dan agama sekaligus mengurangi penderitaan kaum tertindas akibat perbuatan yang melanggar hukum (QS. 3:195, 4:100). Seruan ini dipraktekkan Muhammad selama dalam proses kenabiaannya. Dengan ketegasannya itu ia mengatakan bahwa ‘’jika Fathimah (putrinya) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya”, seruan ini benar-benar tegas dan lugas tidak memangdang status sosial apapun.
Tidak heran kalau kebanyakan pakar melihat bahwa semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang berlebihan. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.
Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.
Dari sekian banyak ilmuan Barat di atas mengakui bahwa Muhammad tidak hanya menjadi panutan umat muslim, tetapi merupakan manusia pilihan yang memiliki integritas moral kemanusiaan yang sangat luhur dan bijak. yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan.
Dengan demikian, hijrah merupakan tahap paling peting dalam perjalanan spiritual manusia kepada jalan ilahi (ketentraman dan kedamaian). Begitu juga, implikasi sosialnya sangat luas dalam membersihkan bentuk-bentuk kemunkaran dan kedzaliman menuju proses pembersihan diri demi tegaknya agama, sebagai pandangan hidup dalam memformat sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan ketatanegaraan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Langganan:
Postingan (Atom)