Senin, 31 Mei 2010

Mengatasi Kredit Bermasalah

Mujtahid

KALAU kita sadari, hampir tidak ada satu pun bagian dari hidup ini yang tidak tersentuh uang (finansial). Setiap aktivitas dan organisme yang bergerak, baik secara personal (individu) maupun sosial (kolektif), pasti membutuhkan finansial. Sedemikian pentingnya, sampai dikatakan bahwa uang merupakan sumber kekuatan dan tumpuan utama yang mampu menggerakkan sendi-sendi sektor publik.
Apalagi di saat percaturan dunia modern seperti sekarang ini, yang ditandai dengan meningkatnya usaha (bisnis) yang begitu luar biasa, maka posisi finansial adalah kunci utama. Sebab, beberapa aspek usaha (bisnis) secara langsung atau tidak, berhubungan dengan sumber-sumber finansial, dan tentu saja pada akhirnya juga berhubungan dengan bank. Bank merupakan sebuah prasarana untuk menabung, mentranfer, dan meminjam bagi para konsumen (nasabah). Dengan adanya bank sebagai lembaga intermediasi, maka ia juga berdampak pada setiap sistem usaha (bisnis) perseorangan atau kelembagaan menjadi lebih efektif dan efesien.
Akhir-akhir ini banyak masalah kredit yang ujung-ujungnya sampai pada penyitaan dan hal itu sangat melelahkan bagi semua pihak. Untuk menyelesaikan masalah itu, cara yang biasanya ditempuh adalah melalui jalur yuridis. Tentu, hal demikian tidak diinginkan oleh siapapun, karena selain bertambah ruwet dan melelahkan, juga menambah biaya yang cukup besar untuk menuntaskan persengketaan tersebut.
Sebagai usaha di bidang jasa, bank selalu ingin memberikan “trust” kepada nasabah. Karena keduanya memiliki citra yang saling terkait, maka dalam operasionalnya diperlukan sebuah perangkat peraturan yang memberikan batasan-batasan bagi para pihak dalam transaksi perbankan. Dengan demikian, bahwa transaksi perbankan adalah hubungan ‘hukum’ antara bank dan nasabah di bidang bisnis, yang di dalamnya kedua belah pihak saling memerlukan. Transaksi tersebut, terjadi atas transaksi di bidang pendanaan dan transaksi di bidang pengkreditan.
Bank sebagai lembaga penyedia dana (pengkreditan) bagi pihak debitur, baik itu berupa kredit investasi, kredit modal kerja, kredit usaha kecil, dan sejenisnya, merupakan transaksi yang berbentuk interpersonal. Karena transaksi interpersonal, maka kedua belah pihak seharusnya mempunyai informasi. Terutama informasi yang dibutuhkan sebagai persyaratan kredit, baik dari pihak nasabah maupun dari pihak bank. Setelah terjadi saling “kesepahaman”, lalu diperkenankan untuk membentuk kesepakatan, dan selanjutnya melahirkan kepercayaan atau kredit (pinjam-meminjam uang). Supaya terjadi ikatan yang sah, pemberian pengkreditan oleh perbankan membutuhkan sebuah persyaratan yang perlu dituangkan ke dalam suatu perjanjian atau akad kredit.
Hingga saat ini, perjanjian kredit bank belum terdapat pengaturan yang transparan bagi para pihak yang mengikatkan diri. Sehingga dalam pelaksanaannya, debitur lebih diarahkan oleh bank untuk menyesuaikan dengan fasilitas-fasilitas kredit yang diberikan bank agar dapat bermanfaat penuh. Fasilitas tersebut, dirumuskan dalam klausula sebagai bentuk prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh kedua belah-pihak. Klausula memiliki urgensi yang sangat besar bagi bank untuk menjamin pengembalian kredit tepat waktu.
Nah, sebagai salah satu perumusan masalah klausula yang erat berkaitan dengan penyelesaian pinjaman adalah klausula default dan ciollateral, artinya dengan dibuktikan adanya kelalaian dan debitur beri’tikad buruk, bank dapat menuntaskan pinjaman dengan jaminan yang tersedia, baik dengan pengimpasan (self-off) atau akta penyelesaian pinjaman.
Melalui adanya perumusan klausula cross default dan cross collateral, maka risiko pemberian kredit yang dilakukan bank dapat terkurangi secara signifikan. Bagi pihak bank, perumusan klausula cross default dan cross collateral, merupakan cara untuk memudahkan dalam menjamin hubungan kontraktual, baik dari satu atau beberapa debitur dengan berbagai fasilitas dan perjanjian kredit yang saling terkait.
Dengan demikian, adanya klausula cross default merupakan sumber atas kelalain/kegagalan debitur atas kejadian-kejadian tertentu yang dapat merugikan bank, dan hal tersebut terkait antara beberapa perjanjian kredit yang menimbulkan hubungan kontraktual antara bank dan debitur. Sehingga kelalaian dari satu perjanjian kredit memberikan hak bagi bank untuk mengakhiri seluruh perjanjian kredit yang saling terkait.
Sementara klausula cross collateral merupakan sumber atas agunan yang diserahkan oleh debitur untuk ‘mengcover’ hutang-hutang debitur yang timbul setelah diikatnya perjanjian kredit sebagai upaya terakhir bila debitur tidak dapat menyelesaikan seluruh kewajibannya atas kelayakan usaha. Collateral yang terkait untuk ‘mengcover’ seluruh kewajiban silang (coss obligations) harus bersifat secured dan marketable, artinya tidak terdapat kelemahan-kelemahan berdasarkan pertimbangan yuridis dan ekonomis serta mudah dicairkan untuk menutup kewajiban-kewajiban yang disyaratkan oleh bank Indonesia atas kredit bermasalah.
Dari dua perumusan klausula tersebut di atas, merupakan upaya penyelesaian yang ditempuh secara non litigasi bagi pihak-pihak yang berselisih sehingga memberikan kemanfaatan bagi kedua belah pihak.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Minggu, 30 Mei 2010

Prinsip-prinsip Ukhuwah Islamiyah

Mujtahid
SALAH satu dimensi ajaran Islam yang autentik untuk diwujudkan dalam praktik kehidupan ini adalah ukhuwah (integritas). Aspek ajaran ini tentu saja telah sering disampaikan oleh para muballigh/da’i ketika menyampaikan misinya mengajak umat untuk bersama-sama dalam membangun ukhuwah sesama komunitas iman, agama, suku, ras yang secara multikultural memang diciptakan berbeda satu sama lain.
Kata ukhuwah, seperti yang tergali dari ajaran Islam ternyata memiliki makna yang tidak sederhana. Kata tersebut bisa saja dimaknai sebagai persaudaraan, atau bersaudara. Ukhuwah berasal dari akar kata akh dengan arti teman akrap atau sahabat. Bentuk jamak dari akh dalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu pertama ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Sementara yang kedua ikhwat, yang biasanya hanya digunakan dalam makna persaudaraan seketurunan, kecuali pada satu ayat al-Hujurat ayat 10.
Dalam wilayah kehidupan sosial, hubungan sesama manusia seringkali memunculkan problem atau konflik serta perpecahan antar sesama umat beragama maupun antar agama. Perpercahan itu sudah ditunjukkan oleh putra nabi Adam Qabil dan Habil. Suatu kenyataan historis kemanusiaan yang boleh jadi karena hidup mereka didorong oleh tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi sekarang ini bahwa kita hidup di suatu negara yang sangat beragam latar belakang agama, suku, etnis, ras serta sampai pada warna partai politik.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam, seperti yang tercover dalam lembar historis, konflik semacam itu telah muncul sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw, baik yang menyangkut urusan teologis, sosiologis atau politik. Menyikapi kenyataan sejarah demikian itu, banyak pihak mulai memikirkan agar mencari format baru untuk senantiasa manusia ini bersatu damai dalam menghadapi kenyataan hidup ini. Ibnu Taimiyyah misalnya, seperti yang dikutip Miftah (2003) menjelaskan, pernah mengusulkan sebuah doktrin yaitu universal chaliphate. Suatu doktrin yang memandang bahwa umat Islam boleh saja berada di wilayah terpisah-pisah dengan negara-negara yang otonom, tetapi umat Islam harus merasakan kesatuan jiwa yang tidak membeda-membedakan satu sama lain.
Oleh karena itu, kita perlu kembali menegaskan bahwa perbedaan pada hakikatnya adalah prasarat mutlak bagi terpenuhinya kesempurnaan iman. Suatu cara pandang yang diadopsi dari prinsip “filsafat proses” yang menegaskan bahwa justru dalam keberbedaan, masing-masing individu bisa belajar banyak dari yang lainnya. Belajar adalah syarat mutlak keberhasilan seseorang dalam memperbaiki dirinya, dan untuk bisa belajar harus ada keanekaan paham. Lewat cara inilah seluruh paham dianggap sebagai modal bagi pembentukan individu sempurna (insan kamil) dan masyarakat sempurna (ummatan wasatha).
Gagasan tentang Islam ukhuwah, merupakan kebutuhan mendesak, seperti situasi Islam keindonesiaan yang terjadi dua sumbu yang saling tarik menarik, yakni sumbu fundamentalisme dan liberalisme. Suhu perbedaan keduanya meski tampak serius, kita tetap harus menjungjung tinggi nilai sportifitas untuk damai dan menghargai secara tulus. Sebab dilihat dari kacamata prosesnya, kita bisa mengambil sinergi yang bisa mengakomodasi semangat keduanya agar tidak saling bertentangan. Maksud dari sinergi itu adalah antara fundamentalisme dan liberalisme seharusnya saling berukhuwah (berintegrasi).
Pertentangan kedua sumbu tersebut, pada satu sisi berguna untuk pembelajaran cara beragama yang dialogis. Dengan munculnya silang pendapat tersebut, masyarakat dapat menilai dengan cukup jernih mana yang lebih tepat dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Namun dari sisi yang berbeda, situasi pertentangan ini akan bersitegang mempertahankan masing-masing pahamnya.
Dengan paradigma Islam ukhuwah, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari ibadah mahdhah seperti haji, zakat shalat dan puasa dengan pisau analisis Islam ukhuwah. Dalam beberapa hal dimensi ritual itu sanggup menunjukkan bahwa semua ibadah pada dasarnya mengajak manusia untuk menyadari pentingnya kebersamaan dan cara pandang tidak menghukumi. Tidak saja menghukumi namun ia juga menunjukkan pentingnya saling relasi, yang merupakan pesan inti dari ibadah tersebut.
Belajar dari cara Rasulullah dalam mendakwahkan ayat-ayat khamr, maka strategi dakwah dalam memberantas kemunkaran harus bertahap, tidak bisa sekali selesai. Prinsip ini kemudian dijadikan sebagai cara untuk merumuskan skema dakwah yang tidak hanya berceramah (tabligh) tapi memprasyaratkan adanya keterlibatan semua umat untuk memberikan ruang sosial yang kondusif bagi mereka yang terbuang, yang melupa dan tertindas.
Gagasan dan ide seperti yang disampaikan alm. Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid dapat menjadi model dalam membangun dakwah yang mengedepankan kesalehan sosial. Kita perlu menawarkan gagasan Islam yang inklusif, seperti halnya yang pernah dipraktikkan di kota Madinah al-Munawwarah. Rasul sangat toleran dan menghargai pluralitas tanpa menindas kelompok kecil dan lemah, para musuh-musuhnya yang sudah menyerah, dan seterusnya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Sabtu, 29 Mei 2010

Membaca Spiritual Rumi Melalui Karyanya

Mujtahid

MESKI telah meninggal tujuh abad yang silam, namun penyair ulung Jalaluddin Rumi masih terasa hangat di peredaraan zaman. Hal ini terbukti dengan sejumlah karya-karya Masterpiece Rumi yang masih diminati banyak kalangan, baik kaum Muslim maupun non Muslim. Daya magnit yang ia tinggalkan, seolah sekeping emas yang dicari-cari banyak orang. Selain itu, reputasi Rumi agaknya sulit ditandingkan dengan penyair-penyair lain.
Sosok Rumi yang begitu populer mampu menyedot perhatian semua klas masyarakat dunia, mulai dari rakyat jelata hingga kalangan istana atau raja. Bahkan, tak sedikit karya-karya Rumi menjadi koleksi perpustakaan kerajaan pada era keemasan Islam (Golden Age of Islam) abad 13 hingga abad pertengahan.
Lebih dari itu, peminat karya sastra Rumi semakin terus meningkat dari waktu ke waktu, kini karya sastra Rumi justru menggemparkan di dunia Barat. Di mana saat-saat orang Barat banyak mengalami “kekeringan” spiritual, warisan karya Rumi bagaikan “hujan” di musim kemarau yang mampu membasahi dan menghidupkan kembali spiritual mereka.
Menurut catatan tabloid Christian Science Monitor tahun 1970 di Amerika, karya ‘penyair sufi’ tersebut menjadi “idola” yang membanjiri dan memenangi pasar karya sastra. Banyak orang terheran-heran mengapa bahasa intuitifnya, humanitas, dan ramalan kosmosnya masih terus berpengaruh secara mendalam dan ditafsirkan tiada henti secara beragam. Tak hanya itu, kini ada kecenderungan para pengagum Barat cenderung mencabut Rumi dari konteks sejarahnya dan merangkulnya sebagai miliknya sendiri.
Sosok Rumi merupakan salah seorang penyair langka. Ia dipuja karena punya bakat dan kemampuan beda. Artinya, kemampuannya yang langka itu sekaligus membedakan dirinya dengan penyair lazimnya. Letak beda dan kekhasannya yaitu ia memiliki empati yang sangat tinggi terhadap manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan. Kemurnian pribadinya mengantarkan sampai menuju puncak ajaran wahdah al wujud (peleburan/manunggaling) dengan Allah swt. Suatu maqam ajaran tasawuf tertinggi.
Karya Rumi itu, kini terus dibaca dan diteliti sejumlah sastrawan dan siapa pun yang meminatinya. Sebuah buku yang ditulis Leslie Wines (2004) berjudul “Menari Menghampiri Tuhan; Biografi Spiritual Rumi”, termasuk bagian dari penelitian terhadap sejumlah karya Rumi yang berserakan di mana-mana. Tak kurang dari sepuluh tema, Wines menyuguhkan tentang sejarah biografi almarhum Rumi secara komprehensif.
Masa hidup Rumi, kata Wines, lebih banyak di perantauan ketimbang di kampungnya sendiri. Dari kecil hingga dewasa, Rumi biasa keluar masuk kota. Dalam benak Rumi, tak ada kehidupan tanpa perubahan. Perubahan adalah tanda kehidupan, begitulah keyakinan Rumi. Karena dengan mau berubah, seseorang akan berpikir dan bertindak maju dan kreatif. Tak hanya masalah duniawi yang maju, tetapi spiritual juga harus semakin kokoh.
Jadi, Rumi terbiasa hidup malang-melintang ditengah sengatan Gurun Sahara. Dengan semangat yang tinggi, Rumi menelusuri perjalanan spiritualnya tanpa menyerah, berkeluh kesah dan tanpa batas. Penjelajahan inilah yang mempertemukan Rumi dengan para tokoh ternama. Ia berusaha banyak belajar dari pengalaman orang lain. Karena belajar adalah wajib dilakukan setiap Muslim, mulai dari lahir sampai akhir hayat. Begitulah doktrin yang dipengangi Rumi.
Kondisi yang nomadis akhirnya mempengaruhi sikap spiritual Rumi. Kehidupan spiritual, kata Rumi, merupakan perjalanan tanpa akhir, suatu pencarian akan kebenaran Ilahi, yang terus menerus disadarinya. Keharusan untuk berpindah-pindah, dan bukannya menancapkan akar yang dalam disuatu tempat, pasti sekali waktu terasa menyakitkan. Bahkan, ia rela berpisah dari istri dan anak-anaknya dalam waktu yang relatif lama demi mencapai kesempurnaan spiritualnya
Hampir semua karya Rumi mengusung dimensi spiritual yang amat tinggi. Pikiran-pikiran Rumi ibarat“ice breaking” (pemecah kebekuan) spiritual yang banyak dialami manusia dewasa ini.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang.

Jumat, 28 Mei 2010

Mengenal Jenis dan Gaya Belajar

Mujtahid

Setiap orang pasti memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar merupakan kebiasaan yang dilakukan seseorang untuk memahami, menghayati, mempraktikkan ilmu yang dipelajari. Munculnya gaya belajar pada diri sesorang, karena dorongan potensi atau kemampuan yang dominan pada dirinya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kebiasaan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jenis Belajar
Menurut M. Gagne, seperti dalam karyanya “The Conditions of Learning”, jenis belajar dapat dikategorikan menjadi lima hal:
1. Belajar Informasi Verbal. Yaitu belajar untuk memperoleh pengatahuan yang dimiliki dengan bentuk bahasa lisan atau tulisan. Misalnya, melalui Cap Nama seperti; buku, majalah, tabloid, dll. dan melalui data/fakta seperti kenyataan yang tertulis dalam Dasar Negara Indonesia (Pancasila), UUD 45, GBHN, dst.
Kalau dihubungkan dengan teorinya Bloom, maka jenis belajar ini lebih mengarah pada pembentukan ingatan atau intelektual yang turut mempengaruhi cara pandang hidup seseorang. Informasi verbal mudah diterima/didapat melalui interaksi komunikasi dengan saluran-saluran yang tersedia seperti yang cakup di atas.
2. Belajar Kemahiran Intelektual. Yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan disekitarnya melalui saluran persep, konsep, kaidah dan prinsip. Persep ialah hasil mental dari pengamatan terhadap objek/benda. Konsep ialah satuan arti yang mewakili sejumlah benda/objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Kaidah ialah pengungkapan dari hubungan antara beberapa konsep. Prinsip ialah kombinasi dari beberapa kaidah, yang lebih tinggi dan lebih kompleks.
3. Belajar pengaturan kegiatan kognitif/intelektual. Yaitu kemampuan untuk mengatur kegiatan aktivitas inteleknya sendiri.
4. Belajar ketrampilan motorik. Yaitu belajar yang melibatkan keterampilan, serangkaian gerakan tubuh secara terpadu.
5. Belajar sikap. Yaitu belajar untuk melatih diri berperilaku/bersikap secara baik melalui pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.

Gaya Belajar
Secara umum, gaya belajar dapat dipetakan sebagai berikut:

1. Gaya Belajar Siswa pada Permulaan belajar (Field Dependence x Field independence)
a. Field dependence yaitu gaya belajar siswa yang mau memulai belajar apabila ada pengaruh atau perintah dari orang lain (orangtua/guru). Model gaya seperti ini berdampak pada kepatuhan terhadap perintah, atau akan melahirkan budaya otoriter.
b. Field independence yaitu gaya belajar yang dilakukan secara mandiri, tanpa harus dipaksa orang lain. Gaya otonom ini atas dasar kepuasan, kebutuhan dan kesadaran yang tinggi bahwa belajar merupakan kewajiban yang harus dilakukannya sendiri.


2. Gaya Belajar Siswa dalam Menerima Pelajaran
a. Gaya Belajar Preceptive yaitu kecenderungan siswa dalam menerima pelajaran/informasi atau mengumpulkan informasi dalam belajar dilakukan dengan beraturan sebab akibat.
b. Gaya belajar Receptive yaitu kecenderungan siswa dalam menerima pelajaran dilakukan dengan menerima informasi tanpa berusaha untuk membulatkan/mengorganisir konsep-konsep informasi yang diterimanya.
3. Gaya Belajar Siswa dalam Menyerap Pelajaran
a. Gaya Belajar Impulsif yaitu cara belajar siswa dalam menyerap pelajaran cenderung dengan cepat-cepat mengambil keputusan tanpa memikirkan secara mendalam untuk memahami konsep-konsep informasi yang telah diterimanya.
b. Gaya Belajar Reflektif yaitu cara belajar siswa dalam menyerap pelajaran melalui pertimbangan, memikirkan semua kosep informasi yang telah diterimanya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan/dipahami.
4. Gaya Belajar Siswa dalam Memecahkan Pelajaran
a. Gaya Belajar Intuitif yaitu cara siswa memecahkan masalah/menjawab pertanyaan dilakukan hanya secara intuisi atau menurut perasaan saja.
b. Gaya belajar Sistematis yaitu cara siswa mengerjakan pertanyaan dengan melihat struktur masalahnya, mengumpulkan bahan, dan menetapkan alternatif jawaban yang paling tepat untuk menjawab masalah.

*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

Kamis, 27 Mei 2010

Menulis Untuk Investasi

Mujtahid

SETIAP penulis pemula, sedikit banyak pasti pernah merasakan rasa minder dan tidak percaya diri. Apalagi, ketika tulisan dibaca banyak orang. Hal ini wajar saja. Namanya juga pemula, segala sesuatu serba amatir, namun setelah lama kelamaan juga akan terbiasa. Bahkan, akhirnya bisa menilai kadar kualitas tulisannya sendiri. Dulu ketika mengawali menulis, saya juga merasakan begitu. Tetapi setelah belajar dan melakukannya terus menerus akhirnya rasa itu mulai berkurang. Yang penting dijaga dalam menekuni menulis adalah bagaimana cara membangkitkan ruh menulis itu.
Hampir setiap penulis, pasti pernah mengalami saat-saat menghadapi keletihan atau kevacuman. Apalagi tulisannya sering tertolak terus oleh media, bagi yang memang tulisannya untuk publikasi media. Nah, yang seperti ini kalau tidak didorong ileh roh menulis yang kuat, bisa-bisa kita berhenti menulis, akhirnya jadi “mantan penulis’.
Pengalaman ditolak media adalah hal biasa yang dialami oleh penulis. Ditolak ataupun diterima oleh media massa merupakan konsekuensi logis yang harus tetap disyukuri, karena kita telah melalukan refleksi otak yang itu justru menyehatkan ruhani dan menunda kepikunan. Yang terpenting adalah membangun motivasi diri agar tetap meluangkan kesempatan menulis untuk menyalurkan ide/gagasan agar menyumbangkan jalan pemecahan untuk orang lain. Karena itu janganlah sampai berhenti menulis, sebab menulis itu bagian dari aktivitas hidup.
Lalu mengapa kita terus-terusan ngotot menulis, sedangkan beberapa tulisan sebelumnya tidak dimuat media. Alasannya yaitu kita harus menerima kegagalan, tetapi butuh keyakinan kuat akan bisa dan tanpa takut. Jadilah diri Anda seperti Napoleon Hill, Patih Gajah Mada, Mbah Surip, Mbah Marijan, mereka ini tergolong orang yang ngotot dan akhirnya sukses menyulap sesuatu yang tidak nyata menjadi kenyataan. Artinya, bekal keyakinan kuat dan dibarengi usaha kreatif itu sangat penting.
Dalam setiap diri sebenarnya sudah ada roh menulis. Tapi roh itu perlu terlebih dahulu dibangunkan, dikelola dan diperkuat. Membangunkan, mengelola dan memperkuat roh menulis memang butuh rangsangan untuk membangkitkan motivasi yang tinggi. Yaitu dengan cara membaca tulisan orang lain, mengunjungi pameran atau toko-toko buku, terlibat pada diskusi-diskusi/seminar.
Banyak keuntungan yang diperoleh jadi penulis. Kalau jadi penulis berarti tergolong manusia langka. Bukan persoalan bakat,-seperti yang sering diomongkan orang- tetapi menulis merupakan aktivitas langka dan unik. Artinya, tidak semua orang bisa melakukannya, bukan karena sulit tetapi lebih disebabkan kebiasan dan keberanian saja. Dalam pandangan psikologis, masalah bakat atau minat hanya sepuluh persen saja, selebihnya adalah usaha berlatih dan kerja keras.
Keuntungan lainnya adalah pekerjaan menulis sama halnya dengan investasi atau menabung. Berbeda dengan menabung di bank, menabung tulisan akan jauh lebih besar manfaatnya. Selain yang ditabung berupa pengetahuan dan keahlian, menulis sebenarnya sama dengan menabung uang. Semakin kita produktif menulis, berati semakin berpeluang saldo tabungan kita bertambah besar. Pengalaman ini sudah pernah saya buktikan bertahun-tahun dan memang buktinya sangat riil.
Selain keuntungan tersebut, bahwa menulis merupakan sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain. Semangat berbagi merupakan ajaran mulia Islam. Bahkan, wahyu yang turun pertama kali memerintahkan agar kita membaca. Maknanya adalah kita diperintah untuk membaca gelaja sosial/alam, yang itu merupakan anugerah ilahi untuk dieksplorasi melalui penelitian atau tulisan. Melalui kerja menulis inilah transformasi peradaban dan kebudayaan ini dapat berkembang secara cepat.


*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

Rabu, 26 Mei 2010

Mengasah Kecerdasan (otak) dengan Menulis

Mujtahid*

GURU selalu mengatakan kepada para muridnya “menulis adalah berpikir”. Para guru yang mencoba membuai mereka itu meyakini bahwa apabila mampu berpikir lebih jelas dan menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, maka menulis dapat mengekspresikan pikiran, unek-unek di atas kertas.
Nasehat guru di atas, bisa menjadi “guru” yang berharga bagi insan yang berjiwa penulis. Dengan sentuhan menulis, pikiran atau otak akan menjadi lebih hidup. Sebab menulis telah melibatkan banyak potensi-potensi psikis yang ada dalam diri manusia. Dan aktifitas seperti ini merupakan salah satu ketrampilan atau keahlian langka yang dimiliki oleh orang lain. Lain halnya dengan bicara, sejak balita manusia sudah dilatih ngomong.
Menulis bukanlah sekadar merangkai huruf, frase dan kata-kata, melainkan cara untuk mengasah otak manusia agar jadi genius. Menulis merupakan pengerahan atas potensi pokok yang ada dalam benak pikiran/otak manusia. Menulis juga sebagai refleksi untuk mengubah dari sesuatu ide atau gagasan menjadi narasi ilmiah yang bisa dibaca oleh banyak orang.
Kecerdasan otak (genius) adalah anugerah tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi, anugerah yang diberikan Tuhan itu tidak pernah ada dalam sekali jadi. Melainkan harus di bentuk dan diproses dengan sungguh-sungguh, berlatih secara terus menerus agar menjadi tumbuh dan berkembang. Seringkali sikap malaslah yang mengalahkan anugerah tersebut, sehingga sedikit saja orang yang dapat dipandang sebagai seorang yang benar-benar genius.
Mark Levy (2005) membuktikan kalau seseorang ingin genius dapat ditempuh melalui menulis. Seperti yang dikemukakan dalam karyanya yang berjudul“Menjadi Genius dengan Menulis.” Mark Levy mengajarkan pengalaman kepada kita tentang bagaimana cara memulai, menata dan mengembangkan cara menulis dengan cepat dan sistematis. Sekalipun berlatar-belakang pebisnis ternama, Levy tidak pernah berhenti menulis. Karena menulis merupakan kebutuhan untuk mengungkapkan pikiran dan pengalamannya kepada orang lain.
Mengapa menjadi genius harus dengan menulis? Karena menulis merupakan suatu aktivitas yang melibatkan banyak “pancaindra” manusia. Aktivitas menulis jelas memerlukan kesadaran tinggi dengan disertai penghayatan yang dalam. Orang menulis tidak bisa sambil tidur atau pun ngelamun, melainkan harus dengan keadaan sadar dan didukung sistematika yang teratur.
Kegiatan menulis selalu diawali dengan memusatkan pikiran terlebih dahulu hingga menggerakkan organ tangan. Inilah bedanya dengan ceramah, cerita atau dongeng. Jadi, keunikan menulis yaitu menyentuh sesuatu elan vital dalam diri manusia.
Menurut Levy ada enam “skenario rahasia” membuat tulisan. Pertama, lakukanlah menulis dengan santai. Artinya, aktivitas menulis jangan sampai menghabiskan energi hingga ketahanan tubuh menjadi lemah dan jatuh pingsan. Justru dengan ketegangan yang tinggi biasanya menulis cenderung kurang mengalir (seret) dan sulit keluar ide-ide yang cemerlang.
Kedua, berlatih menulis dengan cepat secara terus-menurus. Menulis merupakan bentukan ketrampilan yang dilakukan secara terus-menerus. Untuk menulis dengan cepat, Anda harus menyiapkan bahan yang memadahi untuk ditulis, dan reasoning itu sudah ada di benak dan pikiran Anda.
Ketiga, bekerjalah dengan tenggat waktu. Tenggat waktu menjadi sangat penting untuk membiasakan proses menulis. Mulailah dengan latihan menulis selama tiga menit, ambillah buku, majalah, koran atau mengakses media lainnya sebagai rangsangan untuk menghadirkan ide kembali. Tuangkan ide tersebut ke dalam tulisan yang sistematis dan enak dibaca. Setelah tiga menit, lakukanlah dengan menambah waktu yang cukup lama, hingga menjadi bagian dari aktivitas harian Anda.
Keempat, tulislah sesuai dengan yang Anda pikirkan. Kegiatan menulis adalah mentransfer sesuatu yang ada dalam benak pikiran Anda. Walau kadang disertai mengutip, tetapi harus tetap melewati pikiran dan otak terlebih dahulu. Gunakanlah bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, setidak-tidaknya bagi Anda sendiri. Karena hasil tulisan harus bermanfaat, sekalipun untuk diri sendiri. Anda harus memakai logika yang jelas, pilihan kata yang baku, dan sedikit menarik perhatian.
Kelima, ikutilah pemikiran Anda. Pada saat Anda menulis, pikiran dan ide harus dituangkan apa adanya sesuai dengan logika yang benar. Kalau butuh bandingan, pilihlah bandingan yang signifikan dengan fokus pikiran Anda. Carilah hubungan dengan sesuatu yang mungkin telah lebih dulu ditulis orang lain, tetapi cobalah tetap konsisten dengan pikiran yang Anda alami.
Keenam, arahkan kembali perhatian Anda dengan pengubah fokus. Menulis selalu membutuhkan evaluasi, yaitu untuk melihat sampai sejauhmana tingkat ketajaman dan kelemahan dari fokus apa yang hendak ditulis. Bila perlu, komentari tulisan Anda sendiri sebagai bentuk perhatian anda terhadap tulisan yang sudah anda dilakukan. Sebelum menulis, ajukanlah sebuah pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu, agar dapat memompa pikiran dan merangsang gairah untuk menulis Anda.
Dari keenam skenario tersebut, hanyalah sebuah teori saja. Yang penting adalah kita perlu mencoba dan membuktikan apakah dengan menulis mampu membuat otak kita cerdas. Tentu saja, butuh keberanian dan keajegan (istiqamah) agar apa yang dilakukan tidak menambah beban pikiran, yang justru akan menyebabkan stress.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 25 Mei 2010

Relung-relung Sejarah Islam

Mujtahid*

ISLAM adalah agama yang menarik perhatian banyak orang. Islam tidak sekadar doktrin perintah dan larangan, melainkan juga mengandung sumber peradaban yang amat tinggi. Ungkapan HAR. Gibb, misalnya, bahwa “Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap”.
Meski Islam lahir di tanah Arab yang dipengaruhi oleh sistem budaya yang kuat, akan tetapi ia dapat menembus batas kultural, etnis serta geografis ke luar Arab. Kelenturan Islam menjadi daya tarik setiap orang. Misi Islam, selain membebaskan diri dari sekat-sekat kelas sosial, juga memberi kesempatan yang sama antar sesema manusia.
Perjalanan Islam dari konteks Arab (masa awal) hingga kini (masa modern) tetap memperlihatkan karakteristik yang sama. Pedoman al-qur’an dan sunnah, serta rasulnya tetap sama. Mungkin, yang terlihat berubah adalah cara orang menafsirkan doktrin. Sebab, realitas masa lalu berbeda dengan realitas sekarang.
Syed Mahmudunnasir (2006) menghadirkan tiga kajian Islam, yaitu prinsip Islam, aspek sejarah dan doktrin Islam. Ketiga kajian ini memang tidak boleh dipisah-pisahkan satu sama lain. Islam mengalami perkembangan yang pesat hingga ekspansi keberbagai penjuru dunia. Karenanya, kajian sejarah Islam pasti melibatkan aspek prinsip, sejarah dan doktrin.
Selain prinsip dan doktrin Islam, kaum muslim juga harus mengerti aspek sejarahnya. Dengan memiliki kesadaran sejarah yang komprehensif diharapkan pandangan umat islam akan luas, luwes mempraktikkan doktrin dan prinsip ajaran Islam. Sejarah akan selalu bertalian dari satu fase dengan fase berikutnya. Agama Islam akan berdialektika dengan kehidupan zaman yang terus berubah dari sejak Islam turun hingga akhir zaman.
Maju mundurnya umat Islam sangat ditentukan oleh sejarah. Sehingga perjalanan umat Islam sampai kapan pun sesungguhnya tidak terputus dari mata rantai sejarah masa silam. Karena itu, menafsir makna sejarah merupakan keharusan ilmiah bagi umat Islam. Sejarah adalah rekonstruksi realitas masa lalu, kini dan akan datang yang memiliki nilai dan makna yang amat berharga.
Dalam konteks saat ini, kita butuh sebuah kesadaran yang tinggi dalam memperkaya keutuhan sejarah Islam itu. Sebab, jika dilihat dari substansinya, sejarah Islam sarat dengan aspek kronologis dan warisan peradaban yang sangat tinggi. Sejarah Islam memuat rekaman dinamika kehidupan umat Islam dari masa kenabian atau kerasulan, Islam pra modern hingga modern dewasa ini.
Mahmudunnasir melalui ” Islam; Its Concept and History” menyuguhkan tentang pertumbuhan peradaban Islam masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasidun. Pada masa kerasulan merupakan suatu tahapan penting di mana Nabi dan para shahabatnya meletakkan dasar-dasar peradaban Islam di Jazirah Arab, khususnya di Makkah dan Madinah.
Sementara era kekhalifahan, dapat diidentikkan dengan keberhasilannya yang disebut “ekspansi” atau perluasan daerah kekuasaan umat Islam. Namun akhirnya masa lebih dipengaruhi oleh suhu politik yang semakin memanas sehingga tidak dapat dibendung, sampai akhirnya membawa pada ‘skisme’ (perpecahan) di kalangan umat Islam sendiri.
Selanjutnya, dikupas mengenai perkembangan peradaban Islam masa Banu Umaiyyah dan Abasiyah. Peradaban Islam pada masa ini disebut juga dengan sistem dinasti (kerajaan) yang secara turun temurun kekuasaan didasarkan pada keturunan raja.
Banyak bentuk-bentuk kemajuan yang diperoleh dari kedua sistem dinasti tersebut, seperti lahirnya ilmuan-ilmuan muslim atau filosof muslim; lahirnya fatwa-fatwa hukum Islam (mazhab), munculnya aliran-aliran dalam Islam; khawarij, murjiah, syi’ah, jabariyah, qadariyah, mu’tazilah dan asy-Ariyah.
Di samping itu, upaya kodifikasi hadits yang dilakukan pada dinasti Umar ibn `Abd Aziz telah memperlihatkan kemajuan berpikir yang menangkap pesan Islam harus merujuk pada bukti-bukti otentik. Penerjemahan karya-karya Persia dan Yunani di masa al- Ma’mun, yang di wujudkan dengan pendirian laboratorium Bait al- Hikmah juga merupakan karya terbesar sepanjang sejarah perabadan umat Islam. Dan masih banyak lagi dinamika sejarah umat Islam yang monumental setelah itu.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Senin, 24 Mei 2010

Agama dan Eksistensi Tuhan

Mujtahid

KESADARAN masyarakat Barat dalam menelusuri eksistensi Tuhan tak pernah mengalami titik akhir. Tidak saja menggunakan kerangka agama sebagai sarana pencariannya, tetapi sains merupakan cara mutakhir untuk menapaki jati diri Tuhan yang sebenarnya dengan menguji dan meneliti kreasi-Nya melalui hasil penciptaan di alam semesta ini.
Berbagai karya dari sarjana, intelektual, dan ilmuan Barat telah menjadikan “sains” sebagai sebuah mediasi efektif untuk menemukan nilai kebenaran sejati yang tiada tara, yakni Tuhan. Dengan ketajaman rasio dan metodologi yang mumpuni, mereka dapat mencari keberadaan sang khalik dengan jalan dan sudut pandang sains yang dimilikinya.
Ian G Barbour misalnya, melalui karyanya memaparkan sebuah pergulatan ‘komunitas elit intelektual’ yang selama ini tak pernah berhenti ingin “menemukan” Tuhan. Sebuah pergolakan positif tentang hadirnya kembali kesadaran “ber-Tuhan” dengan memakai pendekatan kolaboratif yaitu agama dan sains sebagai basis mediatornya. Selama ini, Tuhan cenderung dipahami dari sisi normatif, yang akhirnya Tuhan itu terkesan ‘melangit’ sehingga jarang berbenturan dengan apa yang ada di ‘bumi’. Padahal semua yang tampak di muka bumi ini sesungguhnya bagian dari ‘wajah Tuhan’ itu sendiri.
Sains dengan segala objektifitasnya melahirkan suatu pandangan tentang ‘konsep Tuhan’ yang nampaknya lebih mudah dipahami oleh manusia. Walaupun secara tekstual (wahyu), Tuhan secara jelas dapat ditemukan dan harus diyakini, tetapi nuansanya agak kurang memuaskan jika tanpa ditopang oleh sarana ilmiah (sains). Karena saat ini, bahwa konsep Tuhan itu tidak sekadar hanya cukup dirasakan secara batini, melainkan juga bisa diterima dan memuaskan secara akal sehat.
Tak kalah menariknya, kini ada sebuah pesepsi dan apresiasi baru, bahwa eksistensi Tuhan adalah kekuatan supranatural yang tidak bisa digantikan dengan apapun sepanjang hidup dan zaman. Sains yang dulu dianggap mampu menggantikan Tuhan (agama), belakangan ini ia justru berubah menjadi sebuah bentuk ‘ancaman’ bagi keselamatan manusia. Atas dasar inilah Tuhan merupakan sosok yang terus-menerus tak pernah dilupakan manusia.
Secara kodrati, manusia diciptakan dan dididik oleh Tuhan. Manusia ditugasi hanya untuk memikirkan sesuatu ciptakan-Nya dan bukan malah memikirkan yang mencipta. Karena itu, Barbour merekomendasikan bahwa agama atau risalah Tuhan, merupakan sumber ajaran yang sejatinya menjadi pegangan, pedoman dan orientasi hidup serta sebagai jalan keselamatan. Hampir tak ada satu pun agama di dunia ini, yang mengajarkan bahwa Tuhan itu menyesatkan makhluknya, melainkan justru membimbingnya ke jalan yang lurus dan terhormat. Kalau toh manusia tersesat, itu merupakan kesalahannya sendiri karena tidak mau terikat oleh agama.
Barbour menegaskan bahwa agama dan sains terjadi suatu hubungan integralistik. Baik agama maupun sains, keduanya selalu melengkapi satu sama lain. Agama tidak bisa meyingkirkan sains, dan sains juga tidak bisa meninggalkan agama. Seperti kata fisikawan besar, Albert Einsten yang terkenal dengan semboyan “Religion without science is blind; science without religion is lame” Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh.
Merujuk pada ungkapan Albert Einsten tersebut, kini perkembangan sains mutakhir, gagasan mengenai Tuhan mulai kembali mendapat tempat. Seperti yang terungkap pada kerangka teoritisasi mutakhir melalui fisika kuantum, astrofisika, biologi molekuler, rekayasa genetika, hingga neurosains mempunyai implikasi teologis yang semakin positif.
Peta perkembangan mutakhir ini, kata Barbour, bahwa ada sebuah keinginan sains memberi kesempatan Tuhan agar ‘dirujukkan’ ke dalam hakikat-Nya. Dan fenomena ini disambut antusias oleh para ‘teolog progresif’, khususnya di kalangan Kristen. Melalui teolog progresif inilah lahir sebuah teologi baru yang disebut teologi proses. Yakni suatu pandangan utama, yang seperti, diformulasikan oleh Charles Hartshorne sebagai hasil pengaruh dari filsafat proses Alfred Whitehead.
Sebagai guru besar fisika dan teologi Carleton College Amerika, Barbour menyerukan agar terjadi sebuah integrasi sains dan agama berdasarkan teologi proses tersebut. Karena itu, melalui hasil-hasil temuan sains mutakhir kini menjadikan bukti dan landasan kuat eksistensi Tuhan. Dan berdasarkan teologi proses, dari hasil-hasil pencapaian sains mutakhir tersebut dijadikan sebagai jalan untuk mengintegrasikan sains dan agama.
Dari kaca mata teologi proses, bahwa Tuhan sesungguhnya telah “menghadiahkan” ilham pada makhluknya agar bertindak secara mandiri dengan kemampuan energi kreatifnya. Manusia memiliki qudrah (kreasi) guna menelusuri misteri yang terkandung di alam jagad raya ini. Antara kreasi Tuhan dan kreasi manusia sejatinya sama, akan tetapi jika terjadi benturan maka kreasi manusia harus di “rujukkan” kembali pada kreasi pertama (Tuhan).
Apa yang ditawarkan Barbour merupakan konsepsi teologi proses untuk melihat kesejatian hubungan antara sains dan agama. Sains yang diidentikkan dengan rasio tak selamanya bersebrangan dengan agama. Karena Tuhan sendiri yang menciptakan rasio dan sekaligus agama. Keeratan relasional antara sains dan dan agama semakin menunjukkan eksistensi Tuhan benar-benar tidak pernah menciptakan sesuatu ini bertolakbelakang.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 23 Mei 2010

Jalan Memahami Islam

Mujtahid

SEJAK dulu, umat Islam dalam memahami ajaran Islam tak pernah surut. Segala potensi dan metodologis digunakan untuk memberi jalan kemudahan mengenal Islam dari dalam. Singkatnya, banyak jalan bagaimana memahami Islam secara utuh dan komprehensif.
Islam adalah denyut nadi yang mensejarah sepanjang peradaban manusia. Sampai kapan pun, Islam tak pernah kering dari perhatian orang. Studi-studi agama menempatkan Islam sebagai kajian menarik yang dilakukan setiap orang. Lebih dari itu, kini Islam di Barat menjadi perhatian orang-orang yang tengah kehilangan pegangan hidup yang pasti. Tidak sedikit, orang Barat tertarik mempelajari Islam, bahkan memeluknya sebagai pegangan hidup.
Intensitas pengkajian terhadap Islam sungguh di luar dugaan. Tidak saja di pesantren-pesantren, sebagai basis mendalami ajaran Islam, melainkan di perguruan tinggi ramai mempelajari Islam. Meski ajaran Islam terkesan doktriner dan final, tetapi justru membuat banyak orang tertarik melakukan pengkajian terhadapnya. Cara pandang seseorang pun bisa berbeda, orang awam berbeda dengan kaum cendikiawan, orang kaya berbeda dengan orang miskin, politikus berbeda dengan ekonom, dan begitu seterusnya.
Memang, dari dulu ajaran Islam tetap sama. Namun setiap kepala berbeda mengartikulasikan Islam. Hal ini karena Islam mengandung nilai universalitas yang cukup memberi peluang setiap pemeluknya untuk berbeda. Meski berbeda memahami Islam, semangat untuk menghayati dan mengamalkan Islam justru semakin dinamis. Hal ini bisa terlihat dari semangat banyaknya organisasi Islam yang tak pernah sepi dari upaya kreatif memahami Islam.
Kita mengajak pembaca untuk melakukan sebuah refleksi baru mengenai apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai “reinterpretasi ajaran Islam”. Tugas ini merupakan suatu keniscayaan, sebagai salah satu upaya dalam rangka peningkatan kualitas dakwah dan pendidikan Islam, baik dilingkungan formal, informal, maupun nonformal.
Salah satu tugas dakwah dan pendidikan Islam yang paling berat adalah “mengislamkan orang-orang Islam”. Tantangan ini semakin gamblang ketika penelitian Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa orang Islam yang masuk ke nusantara ini cenderung bercorak kefiqhian. Realita sejarah seperti itu, disadari atau tidak, telah membentuk karakter Islam tersendiri. Sehingga oleh Nurcholis Madjid menyebutnya dengan Islam Indonesia, sebuah ciri khas Islam lokal.
Islam perlu dihadirkan kembali sesuai dengan sejatinya. Berbagai alternatif memahami Islam banyak ditampilkan cendikiawan muslim. Apalagi Islam masuk ke nusantara banyak melewati babakan sejarah panjang dengan berbagai motif budaya lokal yang kental. Tidak ada cara lain kecuali menerjemahkan kembali Islam sebagai ajaran murni sesuai dengan petunjuk kitab suci. Pendek kata, perlu semacam recoveri strategi dalam memahami Islam yang betul-betul otentik dari sumber aslinya.
Memahami ajaran Islam membutuhkan rujukan aslinya. Dari sumber itu baru dapat dipahami secara korelatif, integratif dan berkesinambungan. Dengan melibatkan berbagai pendekatan (interdisipliner), secara utuh Islam dapat dipahami lebih terbuka dan kontekstual sesuai dengan tingkat peradaban umat manusia.
Aktualisasi ajaran Islam adalah penting. Hal ini seperti pesan Qur’an maupun hadits yang menyuruh umat Islam agar selalu mengerahkan ‘aql atau pemikiran dan sekaligus menyesuaikan perkembangan dan perubahan zaman.
Islam sebagai agama sekaligus doktrin, setidaknya ada tiga hal yang pertu dipetik, yakni Islam sebagai sumber kekuatan dan keyakinan spiritual, Islam sebagai wawasan dan pandangan hidup (world view) dan Islam sebagai komitmen hidup dan perjuangan. Pemahaman seperti inilah akan memberikan jawaban terhadap persolaan di tengah tantangan kehidupan manusia dewasa ini. Islam menjadi petunjuk yang selalu up to date sepanjang masa.

*) Mujtahid, dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Sabtu, 22 Mei 2010

Menuju Rektualisasi Ajaran Islam

Mujtahid*

ISLAM adalah agama monoteisme yang mengandung ajaran paling lengkap. Sampai-sampai HAR. Gibb menyatakan “Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap”. Pernyataan di atas, berarti Islam merupakan agama yang aktual, relevan dengan segala urusan manusia.
Islam tidak pernah sepi dan padam dari pandangan hidup (way of life). Islam diturunkan memang bertujuan agar menjadi pegangan dan keyakinan hidup manusia di muka bumi ini. Karena sifat dasarnya yang demikian, maka kaum pemikir Muslim, bahkan sebagian non Muslim- tertarik mempelajari Islam. Akhirnya, berbagai metodologis muncul hanya semata-mata untuk memudahkan memahami Islam.
Untuk memaknai Islam memang butuh pendekatan atau metode yang tepat agar proses mempelajari Islam dan penghayatan dan pengamalannya dapat aktual. Umat Islam perlu menengok kembali keberagamaannya dengan cara memahami Islam secara up to date. Dengan begitu, Islam menjadi lebih bermakna bagi kehidupan, baik secara individu maupun komunitas sosial.
Kehadiran Islam di muka bumi ini membawa misi atau tujuan tertentu bagi manusia. Ajaran Islam memuat banyak pesan normatif serta mengandung sarat nilai-nilai ilahiyah yang permanen maupun immanen. Sebab, Islam adalah sumber peradaban manusia. Dari hakikat inilah, seharusnya umat Islam lebih kreatif mempelajari ajaran Islam dengan tiada henti.
Dewasa ini, Islam baik secara doktriner maupun institusional, menjadi kajian menarik. Pengkajian itu ada yang secara bersifat formal maupun nonformal. Secara formal, seperti dilakukan di dunia akademis (pendidikan), sedangkan nonformal seperti lewat pengajian-pengajian dakwah kultural di majelis, kampung, masjid dan tempat-tempat lain.
Beberapa kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa Islam merupakan salah satu lahan studi agama-agama di pelbagai universitas-universitas yang membuka studi konsentrasi agama. Selain itu, kini terlihat hampir setiap bidang keilmuan di dunia akademis Islam selalu mengkaitkan dengan perspektf Islam. Jadi, dengan ramainya orang memahami Islam, baik secara personal maupun kolektif, berarti sangat positif menambah angin segar terhadap perkembangan Islam.
Dulu, dalam masyarakat kita, kalau ingin mempelajarai Islam secara mendalam harus masuk ke sebuah pesantren. Nah, sekarang Islam tidak lagi identik dengan pesantren, tetapi setiap lembaga-lembaga pendidikan telah menempatkan Islam sebagai materi pokok yang wajib di pelajari oleh setiap peserta didik Muslim, mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Meski sudah empat belas abad ajaran Islam dilahirkan, ia tetap memerlukan pemahaman yang cerdas dan kritis. Sebab, tanpa pemahaman yang cerdas dan kritis akan mengakibatkan ummat Islam terjerembab kepada pemahaman dan pengamalan yang keliru.
Kehadiran Islam sesungguhnya cocok bagi siapa saja. Tidak mengenal perbedaan tempat, status, usia maupun jenis kelamain. Siapa saja boleh mempelajari Islam asal tujuannya baik dan benar. Anjuran belajar seperti yang terungkap dalam salah sastu hadits ditujukan kepada semua manusia dengan tidak mengenal perbedaan.
Menyadari bahwa Islam sampai kapan pun, bisa dipelajari dengan metode berbeda, maka Islam harus relevan dengan perubahan zaman. Karenanya, reinterpretasi ajaran Islam merupakan keharusan ilmiah yang tidak boleh surut dari perhatian umat Islam. Sebab, hal ini menjadi tanggungjawab setiap seorang Muslim. Jika dapat dilakukan, maka kualitas dakwah dan pendidikan Islam akan jauh lebih baik.
Hingga kini, tantangan terberat tugas dakwah dan pendidikan Islam adalah bagaimana cara mengislamkan orang-orang Islam. Aneh rasanya, tetapi bukan tanpa sebab. Pemikir-pemikir ternama menyuguhkan bukti bahwa Islam masuk ke wilayah ini memang cenderung bercorak fiqh. Seperti yang diakui oleh Van Bruinessn dan Nurcholish Madjid, bahwa kedatangan Islam ke Nusantara sangat toleran dengan budaya lokal, bahkan sebagian jaran tercampur (sinkritisme) dengan sistem kepercayaan nenek moyang. Jadinya, Islam selain cenderung sangat kefiqhian, juga terkontaminasi dengan budaya lokal.
Melihat corak Islam yang demikian ini, memunculkan ghirah penulis untuk menghadirkan kembali Islam yang sesuai dengan ajaran pokoknya. Meski sudah sering dilakukan pemikir Muslim sebelumnya, namun pekerjaan mempelajari Islam adalah tugas yang tak pernah berhenti.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang

Jumat, 21 Mei 2010

Kawin Beda Agama dalam Perspektif Islam

Mujtahid*

PERKAWINAN adalah ekspresi percintaan dua insan yang paling beradab. Namun dalam konteks Indonesia dua insan yang punya keyakinan berbeda seringkali tidak dapat mewujudkan impiannya. Atas dasar beda agama, mengakibatkan tali percintaan mereka kandas ditengah jalan.
Larangan tentang kawin lintas agama memang sempat menjadi perdebatan para ulama’ sejak zaman dulu. Sumber larangan sekaligus sebaliknya sesungguhnya berakar dari doktrin (teks al-qur’an). Dari situlah para mufassir, fuqaha’ (ahli fiqh) dan majelis Ulama Indonesia memulai menimbang dan menfatwakan pengharaman kawin beda agama.
Menyikapi penafsiran tersebut, Suhadi (2006) melakukan penelitian dengan pendekatan dekonstruksi konsep kawin lintas agama dengan meminjam teori kritik nalar Islam Arkoun. Hasil penelitiannya mengangkat wacana agama yang lebih damai, humanis dan sekaligus membela kepentingan agama dan manusia.
Menurut Suhadi, larangan praktik kawin lintas agama sering diwarnai suhu politik agama. Masalah kawin lintas agama, umat Islam telah lama terkungkung dalam apa yang disebut sebagai “nalar politik-agama”. Suasana demikian ini hingga berakibat tidak melahirkan nalar religi yang positif.
Untuk konteks Indonesia, larangan kawin beda agama digulirkan sejak tahun 1970-an. Berbegai keputusan yang sifatnya memberikan pedoman bagi masyarakat Islam Indonesia mencapai pada puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa MUI pada 1 Juni 1980. Setelah keputusan ini ditetapkan, juga diikuti oleh ormas-ormas Islam dan para ahli hukum Islam Indonesia.
Ideologi dan kepentingan yang ada pada larangan kawin lintas agama semakin transparan dalam pelacakan Atho Mudzhar yang menyingkap bahwa sebenarnya dikeluarkannya fatwa MUI itu didorong oleh keinsyafan akan adanya persaingan (soal kuantitas pemeluk) agama.
Dasar inilah secara tersirat menjadi ide mengapa sampai MUI mengeluarkan fatwa larangan kawin lintas agama. Atho Mudzhar dalam penelitiannya menemukan bahwa karena persaingan itu sudah dianggap rawan bagi pertumbuhan masyarakat muslim, maka kawin lintas agama harus ditutup sama sekali.
Bertambahnya jumlah pemeluk agama lain menimbulkan kekhawatiran tersendiri dikalangan Islam politik dan memberi kontribusi bagi munculnya ketegangan hubungan antaragama. Dalam kacamata pemerintah, hubungan antaragama memiliki peran besar dalam
Pada masa Orde Baru, pemerintah sangat jeli melihat potensi ketegangan masalah ini. Kekhawatiran akan memanasnya pasar konversi agama ini pernah menjadi pendorong pemerintah untuk mengumpulkan kelompok antaragama di Jakarta pada November 1967 agar semua agama membuat pernyataan untuk tidak mengincar umat agama resmi lain dalam upaya mengajak orang tersebut masuk agamanya.
Kawin lintas agama yang seringkali menyeret muslim pindah agama telah menimbulkan ketakutan tersendiri dikalangan ulama. Sehingga para ulama merasa dirinya harus menjaga agar jumlah umat Islam tidak semakin berkurang dengan cara melarang kaum muslim kawin beda agama. Ketakutan para elit Islam semakin nyata karena fatwa MUI itu sebagai tindakan preventif yang terlembagakan dalam sistem pemerintahan yang notabene-nya mengakomodasi semua golongan umat Islam.
Alasan yang melatari pelarangan kawin lintas agama itu disebabkan oleh ideologi dan kepentingan agama. Fatwa MUI di atas merupakan konstruksi awal sebagai upaya preventif mengurangi perpindahan agama. Kepentingan ini dibangun dalam suasana perebutan jumlah pemeluk agama, khususnya antara Islam dan Kristen.
Konstruksi larangan kawin lintas agama yang bermula sebagai diskursus sipil, kemudian bergeser menjadi diskursus kekuasaan, setelah berlangsungnya kontestasi antara Islam politik dan Kristen politik untuk menjadikan negara sebagai lokus kontestasi.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Kamis, 20 Mei 2010

Transnasionalisasi Masyarakat Sipil

Mujtahid*

MASYARAKAT sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universal manusia yang tidak melihat pada perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideologi, agama, dan identitas primordial lainnya.
Kehadiran masyarakat sipil diidentifikasi sebagai pilar utama yang mendukung kelancaran proses transisi demokrasi serta mampu mengurangi akibat sifat negatif dari isu global. Peran masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi terlihat dari kesadaran yang kuat dalam memberdayakan individu dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya dan menggerakkan proses politik global ke arah yang lebih partisipatoris.
Sebagai pilar demokrasi, peran masyarakat sipil mengedepankan nilai-nilai edukatif yang menjunjung tinggi organisasi masyarakat sipil melalui pemberian informasi yang akuntable dan tranparan. Karena dengan meningkatnya partisipasi publik dapat meningkatkan awareness rakyat terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung.
Menurut Andi Widjajanto, organisasi masyarakat sipil dapat memunculkan isu-isu krusial dan temporal yang perlu didiskusikan, misalnya isu lingkungan, hak asasi manusia dan kemiskinan yang nantinya dapat disuarakan kepada pemerintah agar membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Selain itu, dapat digambarkan bahwa masyarakat sipil juga dapat memobilisasi rakyat untuk memaksa pemerintah lebih transparan dalam menjalankan pemerintahan serta melakukan pemantauan terhadap implementasi dan akibat yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan yang diambil ditingkat global.
Peran masyarakat sipil dalam sebuah negara baru dapat optimal jika tersedia sistem sipil yang mampu mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan kelompok masyarakat secara santun (civilized) dan tersedia aturan main yang menjaga keseluruhan proses dalam koridor dinamika sosial yang tidak mengabaikan hak-hak fundamental individu dan komunitas.
Peran civil society merupakan salah satu pilar penting dalam transisi demokrasi yang dapat terukur karena aktivitas-aktivitas yang dilakukannya mampu membawa rakyat akar rumput ke arah yang lebih partisipatoris. Menurut Linz dan Alfred Stepan, untuk mempetegas peran civil society sebagai pilar utama demokrasi dengan memetakan peranan yang dimiliki oleh masyarakat sipil dalam arena-arena demokratisasi. Mereka membedakan transisi dan konsolidasi demokrasi dalam proses demokratisasi, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam berbagai arena pada tahapan konsolidasi demokrasi.
Masyarakat sipil mempunyai kemampuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dan membuat suara dari “bawah” lebih terdengar, dengan memunculkan diskusi baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan sebagai masalah-masalah politis seperti kekerasan dan hak penduduk asli terhadap tanah leluhurnya.
Manifestasi masyarakat sipil yang paling terlihat dan berpengaruh di antara bentuk masyarakat sipil yang lain adalah lembaga swadaya masyarakat atau organisasi nonpemerintah yang lebih dikenal dengan Organisasi Masyarakat Sipil.
Dalam tahapan demokratisasi yang terkait dengan aktifitas donor, organisasi civil society dapat berperan ganda, yaitu sebagai “penyalur” bantuan dan pemberi bantuan itu sendiri. Suatu permasalahan di tingkat lokal bisa menyebar dengan cepat serta menjadi sebuah permasalahan yang mendapat perhatian masyarakat di tingkat global. Isu demokratisasi dan transisi pemerintahan suatu negara ke bentuk yang lebih demokratis menjadi salah satu isu populer di tingkat global.
Fenomena demokrasi serta menguatnya kesadaran sipil pada tingkat global merupakan aspek terpenting dalam perjalanan demokrasi terutama di dunia ketiga yang kebetulan menjadi proyek “mercu suar” dan program PBB. Pada tingkat dunia, melalui fungsi akuntabilitas demokratik, organisasi masyarakat sipil juga dapat mendorong otoritas ditingkat global agar lebih bertanggungjawab terhadap publik atas tindakan dan kebijakan yang telah diambilnya.
Membangun demokrasi suatu bangsa bukannya tanpa rintangan dan halangan. Sebab dari sejumlah pengalaman banyak negara, demokrasi merupakan jalan berliku dan penuh duri yang membutuhkan terobosan manajemen gerakan dari aktor organisasi masyarakat sipil.
Untuk menggerakkan organisasi masyarakat sipil, sendi-sendi demokrasi dapat dibangun di atas kepentingan kolektif dengan mempertimbangkan aspek-aspek pluralitas. Warna keragaman itu harus dijaga karena di dalamnya terdapat perbedaan partai, suku, agama, status pendidikan dan sosial, demi percepatan proses pembangunan suatu bangsa.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Rabu, 19 Mei 2010

Prestasi Pendidikan = Prestasi Bangsa

Mujtahid*

SELAIN perbaikan bidang ekonomi, politik, hukum dan sosial-budaya, pemerintah mencanangkan perbaikan mutu pendidikan. Perubahan pendidikan telah ditandai beberapa hal, seperti adanya standar nasional pendidikan, penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, penambahan biaya operasional pendidikan, serta ada beberapa kebijakan daerah yang berani “menggratiskan SPP sekolah”.
Memang, membagun sektor pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future.
Menurut Dedi Supriadi (2004), pendidikan adalah alternatif utama untuk membangun kualitas masa depan bangsa. Karena dengan pendidikan, prestasi dan keunggulan daya saing di era global saat ini akan mudah dirancang dan kemudian bisa diwujudkan secara realitis. Meski sulit untuk memprediksi perkembangan globalisasi masyarakat atau bangsa ke depan, tetapi pendidikan jangan sampai pernah terjadi diskontinuitas.
Untuk membangun prestasi bangsa, kualitas pendidikan harus berani mengambil paradigma inklusif-progresif. Sebuah gagasan yang selangkah lebih maju ketimbang Ki Hajar Dewantoro, yang menitiktekankan pada aspek keterbukaan, keluasan pemikiran dan kualitas metodologis, di samping tetap menghargai nilai-nilai luhur bangsa yang relevan harus perlu dipertahankan sebagai warisan sejarah.
Di saat percaturan global yang semakin keras, seperti hadirnya teknologi informasi batas-batas negara secara fisik-geografik menjadi tidak penting lagi. Hal ini membawa implikasi bahwa pendidikan nasional harus mampu mempersiapkan bangsa ini menjadi komunitas yang terberdayakan dalam menghadapi kehidupan global yang semakin lama semakin menggantungkan diri pada teknologi informasi. Kondisi ini pada akhirnya juga berakibat pada sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengutamakan pada pola kehidupan atas dasar prinsip interdependensi.
Interdependensi kehidupan menuntut adanya saling percaya (mutual trust) di antara sesama manusia. Proses pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai kepada seluruh lapisan masyarakat agar memiliki sikap hidup yang toleran, saling percaya satu sama lain, sehingga pada akhirnya bangsa kita memiliki kemampuan untuk hidup dalam berbagai bentuk pluralitas kehidupan.
Pemikiran soal pendidikan tidak pernah kering dari akar rumput. Ide-ide baru yang relevan dengan pendidikan sesungguhnya telah banyak bermunculan. Bahkan, inovasi-inovasi yang terlontar oleh para pakar dan ilmuan merupakan representasi persoalan bersama yang khususnya dihadapi bangsa ini. Gagasan cerdas demi kemajuan bangsa ini jangan sampai pernah redup dari dinamika pendidikan saat ini.
Jadi, pendidikan adalah investasi yang luar biasa untuk menanamkan kesadaran kepada generasi anak bangsa supaya memiliki keunggulan (kualitas, mutu) di masa yang akan datang. Tanpa pendidikan, tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa ini. Mungkin akan menjadi bangsa yang tidak berperadaban, bermoral serta tidak punya rasa kemanusiaan.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara membangun sebuah kualitas pendidikan? Untuk membangun kualitas pendidikan, harus dimulai dari jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak/Pendidikan Anak Usia Dini, peningkatan Mutu Sekolah Dasar (SD), hingga jenjang Perguruan Tinggi (PT). Selain itu, perlu pembenahan dan perbaikan delapan standar nasional pendidikan.
Seperti yang terjadi saat ini, banyak pendidikan/sekolah yang kehilangan muridnya, tingginya jumlah anak putus sekolah, dan lain-lain merupakan persoalan pendidikan. Kondisi ini akan menjadi beban bangsa ke depan yang harus dipikul oleh dunia pendidikan. Sementara di berbagai negara tetangga sudah terjadi persaingan kualitas pendidikan yang sangat tajam.
Perbaikan kualitas merupakan keharusan dalam sistem pendidikan nasional. Agar pendidikan tetap relevan dengan tuntutan jaman. Pendidikan juga berhadapan dengan perubahan AFTA, APEC, yang jika ia tidak diberdayakan akan semakin tertinggal jauh dengan negara-negara lain. Kerisauan soal standar nilai pendidikan masih menjadi perhatian yang cukup mengenaskan, bahkan dapat dibilang dilematis.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 18 Mei 2010

Kawasan Hubungan Internasional

Mujtahid*

DEWASA ini, hubungan internasional (HI) sebagai disiplin ilmu sedang mengalami perkembangan cukup pesat. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari beberapa Perguruan Tinggi ternama di Indonesia, menempatkan HI sebagai salah satu pilihan disiplin ilmu yang sangat diminati masyarakat.
Pasca Perang Dunia II, melalui lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mendorong adanya kesadaran bersama untuk menciptakan perdamaian dunia. Sekalipun dalam tataran praksisnya masih sering terlihat kecurigaan antar kawasan, khususnya Blok Barat dan Blok Timur.
Seiring dengan tingkat kemajuan bangsa-bangsa di dunia, posisi HI semakin dibutuhkan kalangan ahli politik dan pemimpin negara. Sebab, kemajuan bangsa selain dapat membawa ekses positif juga timbul efek negatif dalam hal hubungan. Tak jarang muncul sebuah sikap rasa kecurigaan antar negara. Inilah bagian yang menjadikan HI kini semakin banyak dipelajari guna melihat dari dekat apa dan bagaimana yang seharus terjadi antar bangsa.
Dari awal sejarahnya, terutama sebelum perang dunia I, bahasan HI pada umumnya terbatas pada sejarah diplomasi, hukum internasional, dan ekonomi internasional. Kemudian sejak tahun 1930-an ada semacam perubahan mengenai politik internasional, geografi politik, dan opini publik mulai banyak mendapat perhatian. Di Amerika Serikat beberapa universitas mulai menyusun kurikulum dan kadang-kadang memberikan gelar kesarjanaan yang tinggi dalam bidang hubungan internasional. Hal yang sama juga di Inggris, dan beberapa negara maju lainnya.
Selepas perang dunia II dan pembentukan persarikatan bangsa-bangsa (PBB) telah memberikan dorongan baru kepada ilmu pengetahuan ini, bahkan telah menyebabkan timbulnya gagasan pemerintahan dunia (world goverment), sejarah juga membuktikan tahun 1940-an dunia mengalami Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Hal itu dapat dibuktikan dengan menjamurnya Program Studi atau jurusan HI diberbagai universitas luar dan dalam negeri. Di Indonesia juga kini berkembang pesat, baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS).
Sebagai dasar memahami teori hubungan internasional, terlebih dahulu mengkaji politik luar negeri sebagai kebijakan suatu negara terhadap negara lain dalam mencapai kepentingan tertentu. Hal ini misalnya mengenai ekonomi-politik internasional yang menjadi kajian dalam studi hubungan internasional. Sebagai akibat berkembangnya berbagai persoalan dalam sistem internasional, maka studi ini mempelajari hubungan ekonomi internasional dengan politik internasional menjadi sangat penting dipelajari.
Hubungan internasional pasca perang dingin, mengangkat tema-tema tentang persoalan ekonomi, pembangunan, lingkungan, hak asasi manusia, demokratisasi, konflik etnik, dan berbagai problem sosial lainnya.
Menghadapi persaingan antar negera saat ini dengan beragam isu-isu global, yang ditandai dengan semakin meningkatnya ketergantungan hubungan antarnegara tidak dapat dielakkan lagi. Tidak ada satu negara pun yang tidak tergantung pada negara lain. Dengan begitu, pengetahuan tentang hubungan internasional menjadi cukup penting bagi siapa saja, terutama orang yang memegang kebijakan tingkat tinggi di pemerintahan.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Senin, 17 Mei 2010

Memahami Tugas Kepala Sekolah

Mujtahid*
KEPALA sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1999 dikemukakan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Paradigma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada kepala sekolah seperti dalam konteks saat ini, akan lebih mudah melakukan pengembangan terhadap berbagai potensinya yang ada. Akan tetapi pengembangan itu memerlukan peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam berbagai aspek manajerialnya, agar dapat tercapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban sekolahnya.
Ada dua strategi utama yang harus diperankan oleh kepala sekolah, yaitu strategi manajerial dan strategi substansial. Strategi manajerial yaitu strategi pengembangan sekolah yang berhubungan dengan masalah internal dan eksternal sekolah.
Dalam strategi manajerial internal, pertama kepala sekolah harus membinan komunikasi dan koordinasi antar personalia yang ada dalam mini society sekolah sebaik-baiknya, dengan demikian terjadi good rapport (hubungan baik), sehingga sumber daya yang tersedia dapat dikelola secara proporsional. Kedua, menempatkan human resource yang tepat; the right man in the right place. Termasuk dalam strategi manajerial intern ini adalah membentuk sinergi kerja yang harmonis antara pimpinan, staf, guru, siswa dalam mengemban visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Pimpinan hendaknya memberikan bimbingan akomodatif terhadap staf sehingga jika terjadi konflik dapat segera ditangani. Atmosfir akademik akan terjadi lebih kondusif jika pimpinan juga dapat menumbuhkan rasa saling menyayangi dan menghargai, rasa ikhlas dari setiap sanubari warga sekolah untuk mengembangkan kreativitas, sehingga program pendidikan dapat dilakukan secara inovatif dan efektif.
Strategi manajerial eksternal, kepala sekolah berupaya menfokuskan pada hubungan sekolah dengan faktor pendukung di luar sekolah, yaitu melaui koordinasi dan sinkronisasi program sekolah dengan orang tua, dewan pendidikan, komite sekolah, masyarakat dan pemerintah. Membina hubungan baik dengan masyarakat diluar gedung sekolah adalah penting, karena dengan hubungan baik ini ternabangun partisipasi aktif sehingga akan memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam pengembangan sekolah untuk mencapai tujuan yang dicitakan. Adapaun terkait dengan pemerintah, kepala sekolah perlu memiliki power sharing sebagai jalan untuk menjembatani antara keinginan sekolah dengan pemerintah.
Sementara strategi substansial yaitu strategi pengembangan sekolah yang berbasis pada kesatuan visi, misi dan tujuan sekolah yang dijabarkan dalam program pendidikan dan diaplikasikan dalam bentuk muatan kurikulum, serta kegiatan intra dan ektra kurikurer bagi siswa.
Orientasi visi, misi, dan tujuan pembelajaran di sekolah harus berpedoman pada amanah yang diemban oleh lembaga pendidikan, tidak hanya kecakapan akademik melainkan juga pendidikan itu berorientasi pada kecakapan hidup yang integratif, memadukan potensi generik, dan spesifik guna menghadapi problem kehidupan. Melalui strategi substansial ini, sekolah diharapkan menunjukkan spesifikasi dan keunggulan yang secara khusus dimiliki.
Tugas Kepala Sekolah
1. Sebagai Educator (pendidik)
Kepala sekolah sebagai pendidik, harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan disekolahnya. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberi nasehat kepada warga sekolah, memberi dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, dan seterusnya. Kepala sekolah juga harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat nilai, yaitu pembinaan mental, pembinaan moral, pembinaan fisik, pembinaan artistik.
Sebagai edukator, kepala sekolah wajib menjalankan tugasnya yaitu: 1) mengikutsertakan para guru dalam kegiatan ilmiah, serti workshop, pelatihan, seminar, penataran, guna men ingkatkan pengetahuan dan ketrampilan guru. 2) Menggerakkan tim evaluasi hasil belajar peserta didik untuk lebih giat bekarja, dan hasilnya diumumkan secara terbuka. 3) menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah.

2. Sebagai Manajer
Tugas kepala sekolah sebagai yaitu: 1) memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif untuk meningkatkan tenaga profesional di lingkungan sekolah. 2) memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya. 3) mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan pada setiap kegiatan.

3. Sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan dan pendokumentasian seluruh program sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk mengelola kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi personalia, administrasi sarana dan prasarana, administrasi kearsipan, dan administrasi keuangan.
Untuk menjalankan tugas sebagai administrator, kepala sekolah kini harus bisa mengembangkan layanan berbasis teknologi modern guna memudahkan pengelolaan administrasi. Sehingga administrasi sekolah betul-betul tampak profesional dan berjalan secara efektif dan efesien.

4. Sebagai Supervisor
Kepala sekolah sebagai supervisor harus memerhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) hubungan konsultatif, kolegial, bukan hirarkhis, 2) dilaksanakan secara demokratis, 3) berpusat pada guru, 4) dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga guru, dan 5)merupakan bantuan profesional.
Tugas kepala sekolah sebagai supervisor yaitu memberi masukan kepada tenaga kependidikan yang masih dirasa perlu dibenahi, dibina dan ditingkatkan kemampuan dan ketrampilannya. Tindakan ini untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati melaksanakan pekerjaannya.



5. Sebagai Leader
Kepala sekolah sebagai leader membutuhkan karakteristik khusus, yaitu 1). memiliki kepribadian mantap, seperti (jujur, percaya diri, tanggungjawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang stabil dan teladan). 2) Memiliki keahlian dasar, seperti (memahami kondisi tenaga kependidikan, tahu kondisi dan karakteristik peserta didik, menyusun program pengambangan tenaga kependidikan, menerima masukan, saran kritik dari pihak lain, dll.). 3) memiliki pengalaman dan pengetahuan profesional, serta 4). Memiliki pengetahuan administrasi dan pengawasan.

6. Sebagai Innovator
Sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki staregi yang tepat untuk menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang innovatif.
Kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin bagaimana ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, adaptabeldan fleksibel. Sebagai innovator juga harus mampu mencari, menemukan dan lemaksanakan berbagai pembaruan di sekolah.

7. Sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif, dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan pusat sumber belajar (PSB).

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 16 Mei 2010

Menghapus Kekerasan Terhadap Anak

Mujtahid*

MASIH banyak anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah, yang merupakan pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada dibawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orangtua pun merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak.
Paradigma yang keliru tersebut kini terus berkembang, sehingga baik di rumah maupun di sekolah banyak diajarkan bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru, atau orang dewasa yang lain. Sikap anak tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan.
Alfie Kohn (2006) menemukan banyak kasus terjadinya tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan diskriminatif terhadap anak. Anehnya, sikap perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar bahwa seolah-olah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. Padahal mengasuh anak merupakan tugas yang teramat mulia, karena anak adalah anugerah ilahi dan amanah yang patut kita jaga.
Cara pandang yang keliru tersebut harus diubah sesuai paradigma baru dengan pola pengasuhan anak yang benar. Apabila orangtua menginginkan munculnya pribadi-pribadi unggul di masa depan, diharuskan kepada orang tua dan pendidik untuk menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Sebab pendidikan tidak identik dengan kekerasan dan tidak sekedar memberikan instruksi atau komando, melainkan harus memberikan hati dan jiwa kedewasaan yang sarat dengan cinta dan kasih sayang.
Sebagai seorang psikolog terkemuka Amerika Serikat, Alfie Kohn memaparkan bagaimana cara mencintai anak. Karena apa yang mereka lakukan (cinta bersyarat) atau mencintai anak karena siapa mereka (cinta tidak bersyarat). Cinta bersyarat artinya, anak-anak harus mendapatkannya dengan bertindak dalam cara-cara yang kita anggap tepat atau melakukan sesuatu dengan standar kita. Cinta tidak bersyarat, dalam hal ini cinta tidak bergantung pada bagaimana mereka bertindak, apakah mereka berhasil atau bersikap baik atau yang lainnya.
Mencintai anak tanpa syarat akan menghasilkan pengaruh positif dan bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan secara moral, tetapi juga merupakan sesuatu yang cerdas dan mendidik. Anak-anak perlu dicintai sebagaimana mereka apa adanya dan karena siapa mereka. Karena apabila hal itu terjadi, maka mereka dapat menerima diri sendiri secara mendasar sebagai orang baik, bahkan ketika mereka membuat kesalahan atau gagal. Karena cinta tanpa syarat ini adalah apa yang diperlukan anak-anak untuk berkembang.
Apabila orangtua menggunakan hukuman, penghargaan dan strategi lainnya untuk memanipulasi perilaku anak, mereka mungkin merasa disayang hanya jika mereka menuruti permintaannya. Pengasuhan bersyarat dapat menjadi konsekuensi dari pengontrolan, sebaliknya pengontrolan dapat membantu menjelaskan pengaruh merusak dari pengasuhan bersyarat, namun pengontrolan yang berlebihan secara umum terbukti jelas menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental anak dan keberhasilan mereka di sekolah..
Dalam pola pengasuhan anak yang “otoriter”, orang tua yang seperti itu lebih sering menuntut daripada menerima dan memotivasi. Orangtua jarang memberi penjelasan atas aturan yang diterapkan. Orangtua seringkali mengharapkan kepatuhan mutlak dan menggunakan hukuman sesukanya, daripada memberi kebebasan kepada anak untuk berpikir sendiri.
Saatnya kita mengajak kepada semua orangtua agar mengubur dalam-dalam tujuan ambisius dan menuruti keinginannya dengan memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Sebagai solusinya yaitu orangtua harus membangun hubungan yang hangat dan kuat dengan anak, serta memperlakukannya dengan hormat, meminimalkan pengontrolan dengan paksa, dan bila perlu memberi penjelasan yang mendidik.
Mengasuh anak dengan paksa maupun memberi hukuman tidak akan membuahkan hasil positif, karena ada beberapa dugaan dan alasan yang rasional berikut. Pertama, konsekuensi hukuman seringkali membuat marah siapapun yang menerima hukuman. Kedua, hukuman merupakan contoh penggunaan kekuasaan, misal hukuman fisik yang diberikan kepada anak-anak adalah kekejaman yaitu penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, hukuman pada akhirnya tidak efektif. Seperti yang ditunjukkan Thomas Gardon, “Akibat yang tidak dapat dihindari dari penggunaan kekuasaan yang terus menerus untuk mengontrol anak-anak ketika mereka masih kecil adalah bahwa Anda tidak pernah belajar bagaimana cara mempengaruhi, semakin anda bergantung pada hukuman, maka semakin sedikit pengaruh nyata yang akan Anda miliki dalam kehidupan mereka”.
Keempat, hukuman mengikis hubungan orangtua dengan anak-anak. Karena dengan menghukum, penghukum dianggap sebagai musuh, dan membuat anak-anak kesulitan untuk menganggap orangtua sebagai kawan yang penuh perhatian, yang sangat penting bagi perkembangan anak yang sehat. Kelima, hukuman mengalihkan perhatian anak-anak dari persoalan yang sebenarnya dan membuat anak-anak menjadi lebih egois.
Dari kelima model hukuman tersebut di atas, penting menjadi pelajaran bagi semua orangtua, guru dan siapa saja yang terlibat dalam mengasuh dan membimbing anak. Dengan begitu, diharapkan kekerasan pada anak tidak terjadi lagi, karena salah proses pengasuhan.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Sabtu, 15 Mei 2010

Pemberdayaan Komite Sekolah

Mujtahid *
Pendahuluan
Sejak tahun 2002, secara resmi konsep Komite Sekolah digulirkan oleh menteri pendidikan nasional. Sebagaimana telah kita ketahui, proses kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Salah satu landasan hukum yang melahirkan Kepmendiknas tersebut antara lain adalah UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2001 – 2005. Bab VII tentang Pendidikan dalam UU tersebut, antara lain mengamanatkan bahwa untuk melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan perlu dibentuk ”dewan sekolah” di setiap kabupaten/kota, yang kemudian lebih dikenal dengan nama generik ”dewan pendidikan”. Kemudian di setiap satuan pendidikan dibentuk “komite sekolah/madrasah”.
Lahirnya Kepmendiknas tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sesungguhnya tidak terlepas dari perubahan paradigma pelaksanaan urusan pemerintahan di negeri ini sejak kelahiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hampir semua urusan pemerintahan di negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali tiga urusan, yakni urusan politik luar negeri, keuangan, dan agama.
Dengan demikian, pendidikan termasuk urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk melaksanakan urusan dalam bidang pendidikan, komponen masyarakat tidak boleh tidak harus diajak bicara, harus ikut dilibatkan, mulai dari memberikan masukan dalam perencanaan dan juga dalam pengawasan dan penilaian program pendidikan. Itulah sebabnya dalam pelaksanaan urusan pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional, termasuk Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabu-paten/Kota harus melibatkan komponen masyarakat sebagai mitra kerja sama. Termasuk satuan pendidikan, kepala sekolah juga harus menjalin hubungan dan kerja sama dengan komponen masyarakat yang bergabung dalam komite
Dengan diterbitkannya UU 25 Tahun 2000 tentang Propenas (program Pembangunan Nasional) dinyatakan bahwa ada tida tantangan besar dalam pendidikan di Indonesia. Yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai (2) mempersiapkan SDM yang kompetan dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memerhatikan keragaman, memerhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dari beberapa pakar pendidikan mensinyalir bahwa ada lima pokok persoalan yang harus dipecahkan bersama yaitu mutu pendidikan, efesiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan.

Konsep Komite sekolah
Berdasarkan lampiran nomor II dalam keputusan Mendiknas No. 044/2002, Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, efesiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pra-sekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur luar sekolah.
Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (PP No. 17 Tahun 2010)
Sejak digulirkannya otonomi pendidikan, bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Komite sekolah berada ditengah-tengah mereka untuk menjembatani kepentingan di dalam dan luar sekolah. Keberadaan komite sekolah dan dewan pendidikan diatur dalam keputusan Mendiknas No. 044/2002.

Peran Serta Masyarakat
Apakah masyarakat memang memiliki peran dalam urusan pendidikan? Kalau ya, apa saja peran tersebut? Dalam Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, peran serta masyarakat telah dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai peran dalam bentuk (a) penyediaan sumber daya pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan pendidikan, (c) penggunaan hasil pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan, (e) pengawasan pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya; dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan peran yang dapat ditunaikan oleh masyarakat dalam urusan pendidikan.
Siapa masyarakat siapa saja yang akan melaksanakan peran yang begitu berat tersebut? Pertanyaan ini dapat dijawab dalam rumusan Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran serta masyarakat secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat nasional, dewan pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota, komite sekolah, dan atau organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari dewan pendidikan tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, serta komite sekolah diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang paling dominan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Tugas Dewan Pendidikan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 dijelaskan dengan lebih gamblang bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai fungsi memberikan pertimbangan kepada birokrasi pendidikan. Pelaksanaan fungsi ini tidak akan dapat dilakukan jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak memiliki data dan informasi atau bahan yang digunakan untuk memberikan pertimbangan itu. Oleh karena itu, dalam Pasal 192 (4) dijelaskan tentang tugas untuk memperoleh data dan informasi yang akan diserahkan sebagai bahan pertimbangan. Pasal ini menyebutkan bahwa: ”Dewan Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan”. Dalam ayat berikutnya, Pasal 192 (5) disebutkan bahwa ”Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 192 (4) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman, pertemuam, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik”.

Tujuan Komite Sekolah
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam menyeleng-garakan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Peran dan Fungsi
UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 54 diamanatkan bahwa: 1) peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Kelanjutan dari pasal 54 dia atas, mengatur bahwa peran dewan pendidikan dan komite sekolah yaitu:
1. Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
2. Dewan pendidikan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunya hubungan khierarkis.
3. Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Adapun secara khusus peran komite sekolah sebagai berikut:
1. Pemberi pertimbangan (Advisory agency) dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (Supporting agency) baik yang terwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (ekskutif) dan dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Sementara itu, komite sekolah juga berfungsi sebagai berikut:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan upaya kerjasama dengan masyarakat (perseorangan/oraganisasi/dunia kerja/dunia usaha) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai: a) kebijakan dan program pendidikan. b) rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS). c). Kreteria kinerjasatuan pendidikan. d) kreteria tenaga pendidikan; e). kreteria fasilitas pendidikan; f) hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
6. Menggalang dana masyarakat untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Struktur Organisasi Komite Sekolah
Pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Dikatakan transparan, karena komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai tahap pembetukan panitia persiapan, hingga penyampaian hasil pemilihan. Dikatakan akuntabel, karena panitia persiapan mempertanggungjawabkan kinerja dan penggunaan dana kepanitiaan. Sedang dikatakan demokratis, karena proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat/atau dengan pemungutan suara.
Keanggotaan komite sekolah meliputi: Orang tua/wali murid berdasar jengajang kelas; para tokoh masyarakat (ketua RT/RW, kepala dusun, ulama, budayawan, pemuka adat dsb); anggota masyarakat; pakar pendidikan; organisasi profesi tenaga pendidikan; perwakilan siswa bagi tingkat SMP/ MTs, SMA/SMK/MA berdasarkan jenjang; perwakilan forum alumni yang telah dewasa.

Implementasi Komite Sekolah
Komite sekolah diharapkan menjadi wadah pemecahan masalah bersama yang dihadapi penyelenggara pendidikan. Penyelenggara pendidikan dan komite sekolah saling bekerjasama secara sinergis untuk membangun kualitas layanan pendidikan. Peran dan dukungan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam menentukan kebijakan dan program sekolah.
Dengan diberlakukannya otonomi pendidikan seperti sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan di sekolah memerlukan prinsip keterbukaan, demokratis, tercapainya hasil guna daya guna, cepat tanggap, partisipasi, berwawasan ke depan, penegakan hukum, akuntabilitas, keadilan, dan profesionalisme.
Komite sekolah berperan menjembatani kepentingan di antara masyarakat dan penyelenggara pendidikan. Komite sekolah diharapkan mampu membantu kinerja kepala sekolah guna meningkatkan kualitas/mutu pendidikan.

Daftar Pustaka
Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan; Kebijakan otonomi Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Pantjastuti, Sri Renani, dkk. 2008. Komite Sekolah, Sejarah dan Prospeknya di Masa Depan. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Reneka Cipta.
Armida S. Alisjahbana, 1999, “Manajemen Otonomi Daerah: Implementasi Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Solusi dan Evaluasi Kritis Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Pasundan, Bandung 20 Juli 1999.
----------, 1999, “Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan oleh ISEI Cabang Bandung dan LPEM FE-UI, Bandung 25 Maret.
----------, 1998, “Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung 24 Oktober.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/ U/2002 Tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Jumat, 14 Mei 2010

Membangun Otonomi Pendidikan

Mujtahid*

KEHADIRAN otonomi daerah yang diikuti dengan otonomi pendidikan merupakan salah satu bagian untuk memeratakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan otoda tersebut mengharuskan adanya reorientasi dan perbaikan sistem manajemen penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah pelaksanaan konsepsi school based management dan community based aducation.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah mengharuskan adanya konsepsi di atas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, tetapi hasilnya sampai saat ini belum memuaskan. Usaha itu misalnya, pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai latihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan masih banyak lagi.
Namun berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatkan yang berarti, dan masih adanya kesenjangan peningkatan mutu pendidikan. Di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang sangat pesat, tetapi di lain sisi ada yang masih memprihatinkan apalagi sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil masih jauh dari harapan.
Sejak digulirkannya reformasi dengan diundangkannya UU Otoda, UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintaahn Daerah, dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (yang disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004), maka lahirlah desentralisasi dalam tata kelola pemerintahan.
Tetapi bentuk otonomi dalam bidang pendidikan berbeda dengan otonomi bidang lainnya, karena dalam Otonomi Pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru langsung kepada sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Salah satu model otonomi pendidikan ini dikenal dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Manajemen Berbasis Sekolah (school based management), sebagai konsep dasar pendidikan masa kini, merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.
Sementara itu, community based education merupakan konsepsi yang memberikan keleluasan kepada masyarakat agar ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi layanan pendidikan. Misalnya, ‘swasta’ merupakan salah satu bentuk community based education.
Selain memberikan rasa memiliki bagi masyarakat terhadap sekolah yang dibinanya, Community based education juga menciptakan iklim keterbukaan, dan memberikan kontrol bagi sekolah dalam mengelola sumber daya dan mutu pendidikan yang diinginkan.
Untuk melaksanakan otonomi daerah, school based management dan Community based education, pemerintah telah melaksanakan serangkaian kebijakan untuk mendukung pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan ini, eluruh kegiatan proyek pembangunan diarahkan untuk mendukung capacity building daerah kabupaten/kota dan bermuara langsung pada kegiatan pendidikan di sekolah.
Sumber daya pendidikan diarahkan untuk dapat digunakan langsung oleh sekolah dalam bentuk grant (imbal swadaya), Dana Bantuan Operasional (DBO), Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMN), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), Perpustakaan, Laboratorium dalam upaya memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk meningkatkan kinerjanya.
Kehadiran MBS di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu pembaruan dalam rangka peningkatan kualitas dan demokratisasi pendidikan serta disambut baik oleh pelaku dan penyelenggara pendidikan, namun di sisi lain masih mengundang kritik dan permasalahan yang harus menjadi perhatian utama pengelola pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota maupun pada level pemerintah pusat.
Upaya untuk menghindari hal ini memang cukup rumit, karena pelaku-pelaku penyimpangan telah menyelinap sedemikian rupa dengan ‘lihainya’ dalam berbagai posisi yang dilewati dana penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, setiap adanya upaya penyaluran dana yang bersifat bantuan tersebut selalu mengundang perhatian dan kekhawatiran dari banyak pihak.
Melalui MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah pusat. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah.
Fasilitasi ini berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik daerah maupun pusat.
Kehadiran konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah atas berbagai perubahan yang terjadi selama ini. Paling tidak ada beberapa kebutuhan mendesak untuk kembali mengkaji ulang fungsi sekolah sebagai pusat pembelajaran selama ini, seperti peningkatan mutu, keefektifan pelayanan, pembenahan sarana pembelajaran, dan kemitraan dengan komunitas luar sekolah (pakar pendidikan, tokoh masyarakat, pebisnis, dan lain-lain).


*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maliki Malang

Kamis, 13 Mei 2010

Menggugah Kembali Esensi Pendidikan

Mujtahid*

SECARA filosofis, pendidikan adalah proses pemanusian manusia. Disebut pemanusian, karena dalam diri manusia terdapat banyak potensi berharga yang jika tidak dikembangkan menurut fitrahnya, maka ia tidak akan jadi manusia seutuhnya. Potensi yang diberikan oleh Tuhan tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa melalui proses rekayasa edukasi yang memadahi dan sistematis.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana bertujuan untuk mengangkat derajat manusia pada wilayah kemanusian yang luhur. Pendidikan memiliki dimensi yang sangat kompleks dan universal, mulai dari aspek fisiologis, psikologis hingga merambah dimensi spiritual, serta nilai-nilai moral-etis (akhlak).
Saat ini kita perlu menegaskan kembali betapa pentingnya membuka makna substansial dan fungsional pendidikan dalam konteks yang dinamis. Sebab berbicara tentang pendidikan, berarti berbicara mengenai hakikat manusia secara substansi dan fungsional, yaitu sebagai pengemban amanat untuk mengelola alam semesta ini.
Pendidikan harus menyentuh dimensi substansi dan fungsi tersebut. Tanpa kedua dimensi itu, maka pendidikan sulit untuk menembus “pintu gerbang” yang mengantarkan manusia memiliki karakter dan jiwa yang utuh. Dalam konteks seperti saat ini, musuh nyata pendidikan adalah melawan dekadensi moral, kemerosotan spiritual dan rendahnya mutu pengetahuan serta kemampuan (skill) bagi warga pembelajar.
Ketika pendidikan telah menjelma sebagai institusi formal, misi luhur untuk menjalankan dimensi substansi dan fungsional manusia tersebut ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan sebagian institusi pendidikan, kini mudah terjebak pada pragmatisme dan praktik komersialisme. Wajah pendidikan seperti ini justru akan melahirkan dehumanisasi bagi generasi penerus.
Sesuai dengan kompleksitas akar budaya Indonesia, pendidikan kita sangat dipengaruhi oleh ideologi dan nilai budaya yang kuat dan beragam. Dalam analisa penulis, pendidikan belum sepenuhnya menyentuh hal yang substansial seperti yang dikehendaki oleh ideologi bangsa maupun tingkat nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Buktinya, tujuan pendidikan gagal membentuk budi pekerti para peserta didik, serta renggangnya relasi antara nilai budaya dengan kesadaran lingkungannya.
Padahal dari segi materi pelajaran yang diajarkan di sekolah, muatan mengenai wawasan ideologi bangsa dan budaya daerah sudah kenyang disampaikan. Proses pembelajaran belum sepenuhnya mampu menyentuh hakikat substansial dan fungsionalnya secara luas.
Padahal pendidikan merupakan kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Ketika globalisasi menjadi bagian dari kehidupan manusia, persoalan-persoalan baru muncul dengan aneka ragam bentuknya. Tantangan semacam itu harus direspons secara apresiatif dengan cara merenovasi sistem pendidikan atau pembelajaran yang adaptif terhadap perubahan (change). Pendidikan anti terhadap kemapanan atau status quo, kalau tidak ingin dicap sebagai out of date (ketinggalan zaman).
Suparlan merekomendasikan bahwa apabila pendidikan kita tidak ingin ketinggalan zaman, maka harus ada perubahan paradigma yang berwawasan kekinian (up to date). Dalam kaca mata historis memang dibenarkan untuk melihat masa lalu sebagai pelajaran, tetapi kita jangan sampai lupa menaruh perhatian masa kini dan mendatang sebagai tujuan yang jauh lebih penting.
Melalui wawasan pendidikan yang terbuka, toleran, inovatif dan futuristik seperti inilah cita-cita besar bangsa yang berbudaya, unggul, dan berdaya saing (kompetitif) dapat diharapkan. Sehingga tugas bersama, baik pemerintah dan masyarakat harus mengimprovisasi semua kelemahan dan kekurangan selama ini. Mulai dari segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan sebagai bahan perbaikan selanjutnya.
Pendidikan harus mencari terobosan baru guna menjalankan fungsinya sebagai agent of change bagi kehidupan manusia agar lebih maju yang terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sebab secara filosofis, antara kebodohan dan kemiskinan merupakan dua persoalan substansial kita yang hingga saat ini tetap jadi musuh setia, utama, bahkan bebuyutan bagi dunia pendidikan.
Dengan wawasan pendidikan yang luas, sistem pendidikan yang kita bangun tidak hanya terjebak pada aspek rutinitas, alami dan salah kaprah. Akan tetapi pendidikan yang kita format butuh sebuah terobosan baru dengan usaha dan kerja keras dan cerdas dalam menyikapi pelbagai perubahan dan perkembangan yang selalu berkembang, serta bersikap proaktif dan antisipasif dalam pengembangannya.
Secara normatif, khususnya bagi kaum muslim, diingatkan supaya kita senantiasa berlomba-lomba (kompetisi) dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat), memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilaksanakan untuk hari esok. Pesan moral inilah yang harusnya menjadi inspirasi sebagai kebangkitan kita untuk memperbaiki kekurangan sistem yang ada dalam pendidikan. Setiap keputusan dan kebijakan yang akan kita tentukan, maka harus memperhatikan masa depan, mempunyai pandangan yang progesif, dan realistik
Untuk menegaskan kembali akan pentingnya sebuah esensi pendidikan kiranya perlu kita sadari bagi semua pelaku pendidikan, baik konseptor maupun praktisi, agar selalu merekonstruksi secara terus menerus dan jangan sampai berhenti mengerjakan sesuatu yang terbaik bagi masa depan pendidikan. Kita wajib mengeksplorasi konsep dan ide-ide segar yang artikulatif, inspiratif dan inovatif bagi terselenggaranya mutu pendidikan yang sesuai konteks zaman
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang