Rabu, 22 Desember 2010

Dari Civil Society menuju Global Society

Mujtahid

DARI sejumlah pengalaman banyak negara, demokrasi merupakan jalan berliku dan penuh duri yang membutuhkan terobosan manajemen gerakan dari aktor organisasi masyarakat sipil. Dalam konteks Indonesia misalnya, kebekuan demokrasi selama bertahun-tahun hanya mampu dilawan dan dipecahkan lewat peran masyarakat sipil.
Peran civil society (masyarakat sipil) dimungkinkan dapat menembus lintas batas sektoral yang menghadangnya. Sebab tantangan serius bagi civil society, baik secara domestik maupun global, pasti akan berhadapan dengan “kekuasaan” dan “kekuatan kapital” yang itu merupakan musuh internal dan eksternal suatu bangsa.
Saat ini negara-negara maju menginginkan bagaimana caranya agar civil society mefungsikan peran-peran organisasi sosialnya; seperti media, perguruan tinggi, ormas, kelompok agama, kelompok adat, ikut berpartisipasi melakukan check and balance terhadap power negara dan tekanan kapital yang meruntuhkan pilar-pilar demokrasi.
Dengan mengefektifkan organisasi sosial tersebut, sendi-sendi demokrasi dapat dibangun di atas kepentingan bersama, walaupun harus berbeda partai, suku, agama, status pendidikan dan sosial, demi memajukan pembangunan bangsa.
Harus diakui bahwa sampai saat ini, organisasi civil society di Indonesia masih lemah dan memiliki kapasitas terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena sebagian besar dari organisasi tersebut belum mandiri, khususnya ketika bersinggungan dengan pendanaan, yang ujung-ujungnya sering ketergantungan dengan “agen asing” dari yang memberikan bantuan itu.
Dalam pandangan Andiwidjayanto (2007), dikatakan bahwa betapa derasnya arus perubahan sosial, budaya dan politik terjadi ditingkat global yang ikut mempengaruhi dinamika kehidupan nasional. Akibat fenomena ini, maka organisasi masyarakat sipil seharusnya mengadopsi sebuah prinsip atau jargon “think globlly, act locally”.
Prinsip di atas mengajarkan bahwa dalam bentindak pada level lokal, seseorang harus pula memahami bagaimana kekuatan global (pengaruh eksternal) mempengaruhi realitas keadaan lokal (internal). Prinsip ini hendak mengatakan bahwa upaya menghadapi masalah-masalah lokal tanpa mengetahui dan memahami kekuatan proses tingkat global yang semakin meningkat merupakan kesalahan taktik.
Menurut Rajesh Tandon, mantan ketua CIVICUS: World Alliance for Citizen Parcipation, mengusulkan bahwa para aktivis sosial perlu berpikir secara global dan bertindak secara lokal, karena kenyataan globalisasi telah merasuk ke dalam jantung tatanan nasional kita.
Saat ini, terdapat sejumlah aktor global civil society actor, termasuk keorganisasi internasional seperti Amnesty International dan Greenpeace, juga ornop international otonom seperti human right watch. Jejeringan masyarakat sipil telah berkembang di sekitar area-area isu spesifik yang menjadi perhatian sebagian besar masyarakat di dunia.
Gerakan-gerakan transnational civil society movements terus melakukan proses pemantauan terhadap power dan praktik sistem negara-bangsa. Mereka telah menentang hukum internasional dan terpenting menentang geopolitik negara-negara kaya dunia yang dianggap hanya memenuhi ambisi mereka sendiri.
Liberalisasi kapital dan perkembangan teknologi membawa dampak positif dan negatif terhadap eksistensi masyarakat sipil. Masalah tatanan dunia global terletak pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pusat-pusat kekuasaan, yakni negara, institusi multilateral, dan perusahaan internasional serta modal keuangan telah melampaui batas teritorial negara. Padahal, partisipasi demokrasi dan kesepakatan sosial tetap berdasarkan batasan teritorial dalam sebuah negara.
Dengan menggerakkan partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan global, maka menjadi alternatif untuk menjadikan sistem global lebih demokratis, membatasi hegemoni negara dalam praktikan hukum rimba di dalam forum internasional serta mengusahakan keterbukaan proses pengambilan keputusan di hadapan publik dunia.
Kehadiran masyarakat sipil global diyakini akan memperbaiki sistem karena adanya keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Samuel Huntington misalnya, menyatakan bahwa demokratisasi, khususnya yang ia sebut sebagai demokratisasi gelombang ketiga, disuburkan oleh kehadiran masyarakat sipil.
Peran masyarakat sipil di Indonesia, seperti yang pernah dibahas oleh AS. Hikam dan Buchori dalam sebuah forum diskusi, dinyatakan bahwa civil society sangat mempengaruhi pada debirokratisasi dan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan masyarakat. Hal serupa juga digambarkan oleh Eldridge, bahwa organisasi civil society mampu mengembangkan kapasitas self-management di antara kelompok-kelompok yang seringkali sangat dirugikan.
Proses transnasionalisasi masyarakat sipil harus disertai dengan inisiasi suatu cara pandang baru yang dapat menghubungkan poros warga dengan poros negara dan atau poros pasar. Cara pandang baru tersebut harus meletakkan poros masyarakat akar rumput sebagai batu penjuru yang akan menopang bekerjasama suatu proses tranformasi global.
Masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universal manusia yang tidak melihat pada perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideologi, agama, dan identitas primordial lainnya.
Untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi di atas kepentingan nasionalisme, membutuhkan apresiasi yang positif dari siapapun, mulai dari kaum awam, intelektual hingga kaum pejabat-birokrat ditingkat pemerintahan.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar